Kreasi Tiwul di Gunungkidul, Ada Rasa Kopi, Nangka hingga Coklat yang Laris Diburu Wisatawan
Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Stigma tandus, miskin, dan terbelakang yang tersemat pada Kabupaten Gunungkidul barangkali berawal pada 1963 di mana daerah paling timur DIY ini dihantam krisis pangan. Istilahnya, zaman gaber. Gaber merupakan ampas tepung tapioka atau bungkil ketela pohon yang dikeringkan. Gaber yang saat ini menjadi campuran pakan ternak ini pernah menjadi bahan pangan pokok di Bumi Handayani kala itu.
Adapun ketela pohon merupakan tanaman yang dapat beradaptasi dengan lahan kering atau minim air. Karakter ini cocok dengan Gunungkidul di mana wilayah ini tersusun dari perbukitan karst yang sangat mudah meloloskan air.
Advertisement
Tak heran, berbagai olahan pangan berbahan dasar ketela pohon ada di Gunungkidul, mulai dari gaber, gathot, hingga thiwul. Nahas, masih ada anggapan makanan ini, seperti thiwul merupakan santapan masyarakat miskin.
Padahal, makanan tersebut dapat menjadi alternatif pangan pengganti nasi. Dibandingkan dengan nasi putih, thiwul lebih rendah gula dan mengandung serat yang penting untuk melancarkan pencernaan.
Kini upaya mengenalkan thiwul ke masyarakat luas semakin gencar tatkala pelaku-pelaku UMKM mulai melakukan inovasi. Thiwul tak hanya memiliki satu jenis rasa manis gula jawa dan berwarna cokelat, namun juga dapat berwarna hijau dengan rasa pandan atau dicampur buah nangka.
“Aku karo Mbahku kon dolan ning Jawa, cobonen thiwul, kui pangananku biyen. Aku asline wong Jawa,” begitu kata Agus Lambang Kristianto menirukan ucapan pria asal Suriname ketika datang ke toko miliknya pada 2017.
Lambang tak pernah berencana menjadi pelaku usaha yang produknya berbahan dasar ketela pohon. Dia lulusan jurusan perhotelan pada 1997. Meski begitu, setahun baginya cukup untuk merasakan pengalaman bekerja di hotel di Kepulauan Riau. Setelah itu, dia sempat menjajal pekerjaan lain hingga akhirnya menjadi pelaku usaha thiwul.
BACA JUGA: Rekomendasi Makanan Tiwul Enak di Jogja
Pria 51 tahun ini lahir di Kapanewon Wonosari. Dulu, dia tinggal di samping Bangsal Sewokoprojo, Kalurahan Wonosari. Saat ini, bersama istri dan dua anaknya, Lambang tinggal di Kalurahan Duwet.
Depan rumahnya adalah Jalan Baron yang semakin lama semakin ramai seiring perkembangan pariwisata di Gunungkidul. Situasi ini yang juga menjadi pemicu Lambang mendirikan usaha.
Tokonya tak begitu luas, namun ada meja kursi laiknya warung makan dan pernak-pernik barang kuno. Dari luar tampak tapal kuda menempel di dinding, ada juga radio dan telfon lawas, hingga lampu minyak.
Dia sengaja mendesain tokonya semenarik mungkin agar dapat menarik wisatawan asing. Pernak-pernik tersebut pun pernah membawanya ke promosi thiwul miliknya oleh penyanyi, Aura Kasih. Ini hanya satu di antara banyak pengalaman yang pernah dia dapat.
Produk thiwul pertama yang dia buat adalah thiwul manis gula jawa. Thiwul ini tidak jauh beda dengan thiwul yang beredar di pasaran. Ingin tampil beda, dia mencoba mencampur buah nangka ke adonan. Tak butuh waktu lama bagi wisatawan untuk singgah ke toko Lambang hanya untuk menikmati thiwul ini.
Lambang kemudian mencoba melakukan inovasi rasa lain dengan membuat thiwul rasa kopi, pandan, keju, cokelat, pisang, bahkan kornet. Varian rasa terakhir ini tak begitu jadi pilihan. Menurut dia, rasanya hambar-hambar gurih. Jauh dari kesan rasa manis. Hanya, dia tidak memasukkan varian pisang dan kornet di menu.
Berdiri sejak 2014, banyak wisatawan mancanegara menyambangi toko Lambang. Paling sering adalah wisatawan Malaysia. Mereka biasanya mampir setelah berwisata ke destinasi pantai.
Setiap harinya, Lambang hanya membuat tiga boks thiwul semata-mata untuk memajang produk. Biasanya, dia akan membuat thiwul apabila ada pesanan. Wisatawan lebih suka thiwul dalam keadaan panas daripada dingin.
Pembuatannya pun tak memakan waktu berjam-jam. Hanya sekitar 15 menit saja apabila air untuk mengukus sudah dalam keadaan panas. Memang tergolong cepat lantaran Lambang memiliki stok tepung ketela pohon dan bahan campuran lain untuk memberi rasa.
BACA JUGA: Tiwul Gunungkidul Ditetapkan sebagai Kekayaan Intelektual Komunal
Upaya untuk membuat wisatawan menunggu sebenarnya juga strateginya. Wisatawan dapat mengikuti atau bahkan membuat sendiri thiwul tersebut. Singkatnya, dia memanfaatkan rasa penasaran wisatawan.
Sempat ada rombongan yang bertanya banyak hal mulai dari jenis gula yang dia pakai hingga kandungan pengawet. Tak ingin sekadar bicara, Lambang membawa rombongan ini melihat bahan baku dan proses membuat thiwul tersebut. Hasilnya adalah kepuasan dan pujian. Rombongan ini lantas mempromosikan thiwul Lambang ke rekan lain.
“Thiwul itu tidak ada pengawetnya. Perlu segera dimakan. Akhirnya, dari rombongan itu, saya jadi tidak perlu promosi masif,” katanya.
Kualitas Prioritas
Ketela pohon Lambang datangkan dari petani di Gunungkidul, utamanya Kapanewon Tanjungsari. Dia tidak menerima bahan dalam bentuk ketela mentah. Dalam wujud gaplek, pengolahan thiwul menjadi lebih mudah.
Dia akan melakukan sortir terhadap gaplek. Patokannya adalah tingkat kekeringan gaplek. Lambang juga memiliki petani langganan yang secara rutin apabila panen akan memberikan langsung ke pria dua anak ini.
Gaplek tersebut akan Lambang jemur lagi apabila dia rasa perlu dan dia bersihkan dari kotoran lain sebelum digiling menjadi tepung. Gaplek harus benar-benar kering. Bila tidak, tepung akan bau apak dan rasa thiwul pahit.
“500 kilogram tepung itu pasti saya stok. Saya tidak bisa nyetok lama-lama juga, soalnya takut kualitas tepung menjadi buruk. Penyimpanan tepung juga tidak bisa sembarangan. Setelah gaplek digiling, tepung perlu didiamkan tiga hari tiga malam baru disimpan di tong atau wadah dan ditutup rapat,” ucapnya.
Situasi saat ini tidak lebih baik daripada sebelum Pandemi Covid-19. Sebelum pagebluk itu, Lambang dapat menyetok lebih dari 1 ton tepung. Memang lebih banyak, karena dia menyesuaikan dengan derasnya pesanan. Dalam satu hari Minggu saja, dia dapat menerima pesanan 200 – 300 boks thiwul.
Dalam satu hari Minggu itu, Lambang dapat menerima Rp4 jutaan. Empat hari Minggu jadi Rp16 jutaan. Belum ketambahan hari-hari biasa. Situasi itu beda jauh dengan saat ini di mana dalam satu hari Minggu dia rata-rata mendapat pesanan 20 – 30 boks thiwul.
Disinggung ihwal ekspansi, Lambang belum memiliki niat untuk membuka cabang. Padahal, wisata Gunungkidul, utamanya sisi selatan mulai berkembang pesat menyusul keberadaan wisata buatan dan jalur jalan lintas selatan (JJLS).
Dia malah mengaku pernah diajak untuk membuka cabang di Bali dan Kota Solo. Namun, dia menolaknya lantaran ingin mengembangkan tokonya yang berada di Jalan Baron.
Atas upaya inovasi yang Lambang lakukan, dia berkali-kali menjadi pemateri dalam bincang wicara UMKM. Dia juga rajin mengikuti pameran produk UMKM.
“Orang Suriname yang dulu ke sini itu Mas, dia terus membawa thiwul saya pulang. Tidak bisa banyak memang soalnya pakai pesawat. Dia nyebutnya itu motor mabur,” tutup Lambang sembari mempersilakan Harianjogja.com mencicipi thiwul nangka yang masih mengepulkan asap.
Benar juga ucapan Lambang. Hanya dengan mencium bau thiwul nangka yang wangi dan rasanya yang manis ini bisa membuat pelanggan ketagihan. Apalagi bila dimakan dalam keadaan panas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Program Dinas Sosial, Ratusan Warga Lansia di Kabupaten Magelang Diwisuda
Advertisement
Minat Berwisata Milenial dan Gen Z Agak Lain, Cenderung Suka Wilayah Terpencil
Advertisement
Berita Populer
- Kambing dan Domba Diusulkan Masuk Komoditas Program Strategis Pemerintah
- DLH Sebut Curah Hujan Pengaruhi Kualitas Air Sungai
- Bawaslu Bantul Keluarkan 1.173 Imbauan untuk Cegah Pelanggaran Pilkada 2024
- Alasan Mas Marrel Dukung Harda Kiswaya: Bisa Bekerja dan Peduli Lingkungan
- Jenang Yu Jumilah di Pasar Ngasem, Legenda Kuliner Jadul yang Tak Lekang oleh Waktu
Advertisement
Advertisement