Advertisement
Pasar Kumandhang di Kaki Gunung Merapi Jadi Ajang Pertemuan Lintas Elemen
![Pasar Kumandhang di Kaki Gunung Merapi Jadi Ajang Pertemuan Lintas Elemen](https://img.harianjogja.com/posts/2025/02/10/1203633/pasar-kumandhang.jpg)
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN--Pasar Kumandhang yang terletak di Padukuhan Lojajar, Kalurahan Margorejo, Tempel, Kabupaten Sleman mulai diaktifkan sebagai ruang pertemuan lintas elemen masyarakat. Melalui pasar ini, masyarakat tidak hanya melakukan aktivitas jual - beli namun juga kegiatan seni lain seperti pentas wayang.
"Thok thek thok thek thok thek…"
Advertisement
Bunyi dari beberapa alu yang menghantam lesung kayu tiba-tiba mengubah suasana di tengah terik matahari menjadi sedikit khidmat. Angin semilir dari arah Gunung Merapi yang turun sejauh 16 kilometer ke Padukuhan Lojajar terlempar ke sana ke mari oleh daun-daun pepohonan.
Seorang perempuan berpakaian serba hijau tampak menari di depan barisan orang berpakaian adat Jawa. Angin-angin tadi menerpa rok dan pakaiannya. Mereka berjalan pelan menuju ke arah panggung.
Tiba di depan panggung, perempuan yang berumur sekitar 45 tahun ini berbalik badan dan berpindah tempat ke arah sumber suara gejog lesung.
Di bawah tenda dengan puluhan peserta acara, asap kemenyan di dekat kelir wayang membubung. Baunya yang khas menguar ke penjuru lapangan dibawa angin. Tak lama kemudian, lagu Lir-ilir mengalun.
“Dalam kepercayaan masyarakat Jawa ada ungkapan bahwa manusia lahir dengan membawa sesuker atau kotoran karma yang dipercaya membelenggu anak Sukerta. Maka perlu ada ruwatan,” kata Ki Suwondo, Minggu (9/2/2025).
Sebagai seorang dalang kawakan, Ki Suwondo terbiasa memimpin prosesi ruwatan. Kali ini dia bekerja sama dengan panitia Ruwatan di Kaki Merapi menggelar ruwatan di Pasar Kumandhang. Selain melestarikan tradisi, acara tersebut menjadi penanda aktifnya pasar rakyat tersebut.
Ruwat berasal dari kata merawat. Ia bergandengan dengan praktik memelihara atau menjaga. Sebagian orang memaknainya dengan pembersihan. Secara ilmiah, kata Ki Suwondo ruwatan menjadi sarana untuk mendidik seorang anak agar tumbuh menjadi pribadi yang memiliki nilai-nilai kebijaksanaan.
Dia membagi tahap kehidupan manusia menjadi dua, yaitu usia 0 hingga 5 tahun dan 6 hingga dewasa. Pada tahap pertama, seorang anak dapat dianggap sebagai seorang pangeran yang mendapat perlakuan serba istimewa. Tahap kedua, Ki Suwondo menggunakan kata budak untuk menggambarkan tahap perkembangan anak di mana orang tua mulai mengajarkan tanggung jawab, kedisiplinan, dan kepatuhan.
Nilai-nilai yang orang tua ajarkan kepada anak akan menjadi bekal dalam mengarungi rimba kehidupan, sebagi kompas moral. Ruwatan juga menjadi pengingat bahwa manusia telah mendapat senjata ampuh yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
“Senjata itu namanya ‘Istiqomah atau eling’. Setiap orang harus eling. Eling saya punya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Eling urip kudu nyambut gawe. Eling nyolong ikut ora apik, hukum karmanya ada,” katanya.
Mengaitkan dengan aktivasi Pasar Kumandhang, Ki Suwondo berharap tradisi ruwatan menjadi pendorong semangat untuk terus mengupayakan kesejahteraan diri. Hal ini dapat ditandai dari aktivitas jual - beli di pasar yang semakin ramai.
Menurut dia, masyarkat di era modern memiliki tantangan hidup yang bermacam-macam. Sulitnya pekerjaan dan mahalnya biaya hidup sering mendikte masyarakat kiwari menjadi lebih pragmatis. Masyarakat akhirnya kehilangan memori sejarah yang membawa api semangat dalam mengaruhi kehidupan.
“Akhirnya kita lupa yang melahirkan kita siapa. Kita digiring untuk memiliki kultur yang sama dengan kelompok luar. Fenomena itu saat ini masuk tahap akut. Tapi saya tidak bisa memaksakan situasi atau arus. Generasi sekarang itu mengandalkan ilmu dan logika,” ucapnya.
Ki Suwondo menitikberatkan identitas sebagai pusat refleksi diri. Identitas yang melekat dalam diri seseorang sejak ia dilahirkan yang mengandung nilai-nilai luhur perlahan luntur. Manusia akhirnya menjadi wadah kosong yang mudah didikte sebab tak memiliki pegangan dan pondasi.
“Ini peran sebagai kami orang tua untuk mentranfsormasi ilmu yang dalam tanda kutip klenik agar dapat dikaji secara ilmiah. Ini bukan hanya tugas tokoh masyarkat namun juga pemerintah. Tinggal niatnya ke mana, bendera asing atau bendera kita sendiri. Identitas itu harga diri,” lanjutnya.
Ketua Pelaksana Acara Ruwat di Kaki Merapi, Budi Sardjono mengatakan acara ruwatan kali ini menjadi ruang untuk membuka wacana dan mengedukasi masyarakat bahwa tradisi ruwatan masih ada dan akan terus dilakukan.
“Kalau ada acara ruwatan itu lakon dalam pentas wayang harus Murwakala. Dalang juga tidak sembarangan. Biasanya dalang senior dan sudah pengalaman meruwat,” kata Budi dengan tegas.
Budi memiliki pandangan yang sama dengan Ki Suwondo. Menurut dia, zaman modern di mana teknologi merangseng masuk dan menjadi kebutuhan sehari-hari manusia dengan segala dinamiknya memunculkan persoalan ihwal identitas.
“Banyak hidup orang tidak menentu dan orang banyak kebingunan menentukan arah. Ki Suwondo nanti akan memberikan wejangan mengenai hal ini,” katanya.
Budi menambahkan ruwatan di Pasar Kumandhang juga menggunakan air yang berasal dari tujuh tempuran atau pertemuan antarsungai di Kabupaten Sleman dan sekitarnya. Air ini menjadi simbol pembasuhan yang membersihkan kotoran.
Dalam acara ini, rambut anak-anak Sukerta baik anak tunggal, gedono-gedini, pandawa lima, pendawi lima, uger-uger lawang, hingga kembar sepasang akan dipotong. Pemotongan ini menjadi simbol penghilangan atau pemutusan halangan hidup.
Pemilik Pasar Kumandhang, Tomon Haryowirosobo mengatakan Pasar Kumandhang berdiri pertama-tama untuk mengakomodir para pedagang di Pasar Klitikan Jogja. Pasar yang relatif baru ini memiliki beberapa kios yang siap disi.
Selain menjadi ruang pertemuan penjual - pembeli, Pasar Kumandhang juga mempertemukan tiap elemen masyarakat dalam kegiatan-kegiatan budaya. Arah pengembangan pasar ini menuju pada pasar seni.
Tomon menjelaskan ruang publik untuk bertemu setiap elemen masyarakat di Kabupaten Sleman minim. Dia menginginkan ruang di mana setiap orang bisa saling bertukar pikiran dan emosi. Dia menggunakan istilah nguda rasa. Melepaskan emosi dan melebur menjadi satu warna.
“Ruwatan dalam filosofi jawa memang dibangun untuk meningkatkan semangat hidup orang Jawa. Membersihkan diri ada simbol kain mori sebagai baju dan rambut sebagai simbol badan. Ini akan kita udar [lepas] semua,” kata Tomon.
Pasar ini nantinya akan memiliki kios untuk menjual karya seni seperti lukis. Ada juga kursus tari, lukis, hingga teater yang ditawarkan. Sebulan sekali, Tomon berencana menggelar pentas wayang atau kethoprak.
Maka begitulah Tomon berupaya menghadirkan ruang untuk menakar ulang dan meneguhkan identitas sebagai seorang manusia di tengah zaman modern, di tengah gelombang ideologi, dan di tengah terpaan krisis identitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
![alt](https://img.harianjogja.com/posts/2025/02/10/1203756/kepala-daerah-antara.jpg)
Retret Kepala Daerah Dipastikan Tak Pakai Pembicara Luar Negeri
Advertisement
![alt](https://img.harianjogja.com/posts/2025/01/27/1202297/liburan-garut.jpg)
Liburan ke Garut, Ini Lima Tempat Wisata Alam Tersembunyi yang Layak Dinikmati
Advertisement
Berita Populer
- Pelari Menikmati Serunya Rute Ikonik Lereng Merapi
- Jadwal Terbaru KRL Jogja-Solo Senin 10 Februari 2025, Berangkat dari Stasiun Tugu, Lempuyangan dan Maguwo
- Jadwal Terbaru Kereta Bandara Xpress Senin 10 Februari 2025, Berangkat dari Stasiun Tugu, Wates dan YIA
- Jadwal SIM Keliling Ditlantas Polda DIY Senin 10 Februari 2025
- Jadwal Terbaru Bus Damri dari Bandara YIA Kulonprogo ke Jogja Senin 10 Februari 2025
Advertisement
Advertisement