Advertisement

Ini Cara dan Biaya Pembakaran Sampah dengan Teknologi Carbonizer, Sudah Diterapkan di Kota Jogja

Lugas Subarkah
Sabtu, 12 April 2025 - 09:27 WIB
Sunartono
Ini Cara dan Biaya Pembakaran Sampah dengan Teknologi Carbonizer, Sudah Diterapkan di Kota Jogja Gatot membersihkan komponen carbonizer di RW 11 Ngupasan, beberapa waktu lalu. - Harian Jogja/Lugas Subarkah

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Warga RW 11 Kelurahan Ngupasan mengembangkan teknologi carbonizer untuk pembakaran sampah. Teknologi ini diklaim lebih sederhana dan ramah lingkungan dibanding insenerator yang umum dipakai untuk pembakaran sampah.

Carbonizer itu terletak di sebelah barat Museum Sonobudoyo, sudut barat laut Alun-Alun utara yang kemudian masuk gang kecil arah utara. Alat ini berada di dalam sebuah ruangan berukuran sekitar 2,5x3 meter di sisi utara gang, ditutup pintu besi berteralis.

Advertisement

Lokasi tersebut, dulunya merupakan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) bagi warga RW 11 Kelurahan Ngupasan. Namun sejak TPA Piyungan tidak bisa beroperasi normal pada 2022 lalu, truk pengangkut sampah di TPS itu tidak lagi datang untuk mengangkut sampah.

Warga pun kemudian berinisiatif untuk memodifikasi lokasi tersebut untuk menjadi tempat pembakaran sampah. Warga berotong-royong membersihkan dan mengumpulkan uang swadaya untuk mengembangkan carbonizer.

BACA JUGA: Optimalkan TPS3R dan Insinerator, Pemkot Jogja Optimistis Mampu Olah 235 Ton Sampah per Hari

Operator Carbonizer, Gatot, menjelaskan carbonizer ini dioperasikan setiap hari kecuali Jumat. “Karena membutuhkan waktu yang lama untuk pembakaran. Kalau hari jumat kami harus jumatan sehingga diliburkan,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Dengan kapasitas sekitar 50-70 kg, pembakaran membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat jam, tergantung kondisi sampahnya. Kalau banyak sampah dalam kondisi basah maka pembakarannya lebih lama, kalau kebanyakan kering lebih cepat.

Adapun sampah yang dibakar di carbonizer yakni semua sampah yang bisa terbakar termasuk plastik, kayu, diapers dan lainnya. “Tapi kalau logam, kaleng, kaca itu tidak bisa. Sampah organik dan anorganik bisa dibakar,” katanya.

Output sampah setelah dibakar akan menjadi arang. Arang tersebut bisa diolah kembali menjadi briket. Namun untuk menjadikannya briket diperlukan mesin briket, yang saat ini belum dimiliki. “Arang kecil-kecil itu bisa dipadatkan lagi menjadi briket. Dipadatkan manual bisa, tapi tidak sepadat kalau di-press,” ungkapnya.

Carbonizer ini menggunakan pelet kayu untuk bahan bakar. Dalam sekali pembakaran, dibutuhkan setidaknya 50 kg pelet kayu. Adapun harga pelet kayu sebesar Rp1.800 per kg. Maka untuk sekali pembakaran setidaknya diperlukan biaya operasional Rp90.000.

BACA JUGA: Belum 100 Hari Kerja, Hasto Wardoyo Pastikan Puluhan Depo Sampah Kota Jogja Sudah Kondusif

Pelet kayu dianggap sebagai bahan bakar yang paling pas dari segi harga maupun tingkat suhu yang dibutuhkan. Sebelumnya ia pernah menggunakan gas dan oli bekas untuk bahan bakar. Namun dari sisi harga gas terlalu mahal dan dari sisi suhu yang dibutuhkan oli bekas tidak bisa memenuhi.

Carbonizer ini dikembangkan oleh Ayus Dodi Kirana. Ia merupakan teknisi yang sudah mengembangkan sebanyak tiga carbonizer di wilayah DIY, yakni di RW 11 Ngupasan, SMPN 5 Jogja dan di Bank Sampah Amanah, Bantul. “Sekarang juga sudah ada pesanan lagi untuk wilayah Sleman, khususnya untuk para pengepul sampah yang residunya tidak diambil selama ini,” katanya.

Ia mengembangkan carbonizer ini karena prihatin sistem pengelolaan sampah di DIY awalnya hanya berupa pemindahan sampah dari satu tempat ke tempat lainnya, tanpa ada pengelolaan yang optimal untuk meniadakan atau menjadikan sampah bernilai jual.

“Manajemennya lebih ke transportasi sampah, cuma dipindah saja. Nah kami melihat harus ada metode yang mengelola sampah selesai di tempat. Kami menggunakan metode carbonizer. Jadi sampah dibakar secara tidak langsung, emisi gas yang ditimbulkan sangat minim sekali. Itu sudah diuji di beberapa laboratorium lingkungan hidup,” ungkapnya.

Teknologi ini menurutnya bersifat komunal, sehingga cocok untuk dikelola di wilayah kecil di tengah kepadatan penduduk. Ini dikarenakan kapasitas carbonizer yang tidak cukup besar untuk menampung wilayah yang luas.

Carbonizer mengadopsi metode yang secara ilmiah disebut pyrolysis. Alat ini disebut carbonizer karena outputnya menjadi karbon atau arang. “Kalau insenerator outputnya abu. Jadi perbedaan insenerator dengan carbonizer adalah output dan cara membakarnya,” paparnya.

Pembakaran menggunakan carbonizer tidak membakar sampah secara langsung dengan api, melainkan menggunakan perantara seperti oven. Dengan suhu sekitar 500-600 derajat celcius, tidak ada udara di dalam tabung pembakaran. “Sehingga yang keluar adalah emisi gas yang sangat rendah kadar racunnnya,” ungkapnya.

Adapun arang yang dihasilkan merupakan 10-15% dari berat sampah yang dimasukkan. Rendahnya emisi juga dipengaruhi oleh bahan bakar yang digunakan. Ketika menggunakan pelet kayu, emisi karbon yang muncul adalah carbon netral yang bisa diserap oleh tanaman di sekitarnya.

Selain menjadi briket, arang yang dihasilkan direkomendasikan untuk digunakan sebagai media tanam. “Karena sifat arang itu seperti spon. Dia bisa menyimpan air dan unsur hara di sekitarnya. Tanaman kalau dikasih arang di sekitarnya tidak mudah kekurangan air,” kata dia.

Sementara jika untuk bahan bakar, disarankan arang hasil pembakaran dari bahan-bahan kayu, ranting dan daun. Arang dari bahan-bahan tersebut akan menghasilkan api yang lebih baik kualitasnya dan lebih awet.

Sederhana

Dibanding insenerator, carbonizer menurutnya lebih sederhana. Insenerator memiliki banyak syarat yang terkadang tidak dipenuhi produsen, sehingga berimbas pada kurang ramah lingkungan. “Insenerator yang benar harusnya dibakar dua kali, 900 derajat di ruang pertama, sebelum keluar cerobong dibakar lagi 1.200 derajat,” katanya.

Dua kali pembakaran dengan suhu tinggi tersebut bertujuan untuk mengurai sulfur, dioxin dan fura. “Prakteknya di lapangan insenerator tidak ada yang memenuhi syarat itu. Sehingga yang terjadi malah menyebar tiga emisi itu,” ungkapnya.

BACA JUGA: Selain Kelola Sampah, Bank Sampah di Sosromenduran Lakukan Pelatihan dan Edukasi Masyarakat

Sementara dengan carbonizer, tiga polutan tersebut tidak muncul. Kemudian insenerator juga membutuhkan biaya yang lebih mahal. “Pyrolisis termasuk sistem yang paling sederhana dengan emisi rendah. Maka kami menyarankan dipakai di tengah masyarakat,” ujarnya.

Meski demikian bukan berarti carbonizer tidak membutuhkan biaya besar pula. Ia mengaku untuk mengembangkan carbonizer ini membutuhkan waktu sekitar tiga tahun. “Selama tiga tahun itu kita riset sampai kita yakin bisa kita rilis,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Lokasi Pembangunan Subway Bawah Tanah Runtuh di Korea Selatan, Pencarian Korban Dihentikan

News
| Sabtu, 12 April 2025, 22:37 WIB

Advertisement

alt

Daftar 37 Negara Bebas Visa untuk Paspor Indonesia

Wisata
| Rabu, 09 April 2025, 23:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement