Advertisement
Bawaslu Kulonprogo Nilai Perlu Ada Tambahan Pengawas Kalurahan

Advertisement
Harianjogja.com, KULONPROGO - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Kulonprogo memaparkan hasil survei yang dilakukannya. Survei tersebut terkait evaluasi dan rekomendasi pengawasan Pemilu di tingkat kabupaten serta pengawas ad-hoc. Dalam survei tersebut ada lima segmen yang menjadi responden.
BACA JUGA: BPS Sleman Siapkan Data untuk Pemberitaan
Advertisement
Ketua Bawaslu Kulonprogo, Marwanto mengatakan lima responden yang terlibat dalam survei terdiri dari pengurus partai politik atau tim kampanye pasangan calon, instansi pemerintah daerah secara vertikal, KPU kabupaten dan mantan penyelenggara adhoc, pengurus organisasi masyarakat serta masyarakat umum. Secara garis besar yang menjadi pertanyaan dalam survei yakni evaluasi kinerja Bawaslu Kulonprogo dalam mengawasi pesta demokrasi 2024, pelibatan masyarakat dalam pengawasan dan rekomendasi pengawas Pemilu di tingkat kabupaten dan pengawas ad hoc.
"Penambahan jumlah personel untuk pengawas Pemilu ad hoc menguat dalam survei tersebut," katanya kepada wartawan, Kamis (18/9/2025).
Menurutnya dalam survei tersebut yang paling kuat disuarakan responden adalah pengawas di tingkat desa. Adapun pertanyaan dalam survei tersebut terkait format ideal jumlah personel pengawas di tingkat kabupaten dan ad hoc. Marwanto mengungkapkan, hasilnya 75 responden memandang perlu ada penambahan personel pengawas Pemilu.
"Namun, yang menarik adalah keinginan yang kuat dari responden untuk menambah jumlah personel pengawas di tingkat kalurahan/desa," lanjutnya. Dia menjelaskan, seperti diketahui, saat ini regulasi menentukan bahwa jumlah personel pengawas di tingkat kalurahan/desa hanya berjumlah satu orang. Marwanto membeberkan dari hasil survei menyatakan sebanyak 41,5 persen responden merekomendasikan jumlah personel pengawas kalurahan/desa menjadi 3 orang, sementara 35,8 persen menjawab 2 orang.
Marwanto menyadari, jumlah personel pengawas tingkat kalurahan/desa yang saat ini satu orang memang dirasa sangat memberatkan, terutama di desa/kalurahan dengan wilayah yang luas dan jumlah pemilih yang banyak.
“Idealnya memang ada pengkategorian terkait jumlah personel pengawas di tingkat desa/kalurahan. Misal, bagi kalurahan yang terdiri 1-5 TPS, jumlah pengawas bisa hanya satu. Kemudian jika di desa tersebut ada 5-15 TPS jumlah pengawas dua, dan seterusnya,” ujarnya.
Eks Anggota Bawaslu RI Periode 2012-2017, Nasrullah berujar, idealnya pengawas pemilu di tingkat kabupaten ke bawah lebih konsentrasi untuk menangani pelanggaran administratif. Sementara pelanggaran pidana diserahkan pada kepolisian dan kejaksaan.
“Fokus saja pengawas pemilu itu mengurusi pelanggaran administratif. Praktiknya Sentra Gakkumdu itu kurang efektif. Sering mentok di pembahasan Gakkumdu, dan tidak lanjut ke proses pengadilan,” jelasnya.
Sementara itu, Dosen UIN Sunan Kalijaga, Gugun El-Guyanie menambahkan, dinamika hukum kepemiluan di Indonesia sejak awal reformasi lebih banyak diwarnai oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mencontohkan seperti yang terakhir keluar putusan MK nomor 135 tahun 2025, yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal. "Putusan tersebut berimplikasi pada penguatan penyelenggara pemilu (termasuk Bawaslu) di tingkat kabupaten. Karena dengan ada dua kali pemilu dalam lima tahun, pengawas di tingkat kabupaten harus permanen dan perlu dikuatkan eksistensinya,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Pemkab Boyolali Bangun Pedestrian Mirip Kawasan Malioboro Jogja
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement