Advertisement
Penggunaan Bahasa Jawa hingga Perlindungan Online Jadi Pondasi

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA --Isu perlindungan anak di era digital serta pentingnya pendidikan inklusif menjadi sorotan utama dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Layak Anak (Raperda DIYLA). Regulasi ini digadang sebagai terobosan karena akan menjadi payung hukum pertama di Indonesia yang mengatur provinsi ramah anak.
Raperda tersebut tidak sekadar membahas perlindungan hukum, melainkan menekankan sinergi berbagai pihak, mulai dari pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, hingga forum anak, untuk menciptakan lingkungan yang aman sekaligus ramah bagi tumbuh kembang generasi muda.
Advertisement
Anggota Pansus DPRD DIY, RB Dwi Wahyu, menilai aspek budaya Jawa harus mendapat perhatian serius. Menurutnya, bahasa dan sastra Jawa memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak. Ia menyebut, jika Raperda ini mampu menghidupkan kembali bahasa ibu tersebut, maka generasi mendatang akan memiliki pondasi etika dan tata krama yang lebih kuat.
“Bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang mengandung etika dan tata krama. Jika Raperda ini bisa menghidupkan kembali bahasa dan sastra Jawa, maka karakter anak-anak kita akan terbangun kuat. Bahasa itu awal dari sebuah peradaban, sehingga perlu ditegaskan dalam implementasi regulasi,” kata Dwi Wahyu saat Public Hearing Pansus BA 27 Tahun 2025 tentang Raperda DIYLA, belum lama ini.
BACA JUGA
Lebih lanjut, pihaknya menekankan bahwa arah regulasi ini diharapkan mampu melahirkan kebijakan yang benar-benar ramah anak. “Kami berharap anak-anak di Jogja tumbuh menjadi generasi unggul, berkarakter luhur, serta siap berperan dalam pembangunan masa depan,” ungkapnya.
Dari kalangan pemerhati anak, peringatan datang terkait ancaman dunia digital. Santi, perwakilan lembaga layanan korban kekerasan, menegaskan bahwa media sosial bisa menjadi pintu masuk kekerasan seksual berbasis online jika tidak diawasi dengan ketat. Ia juga menyoroti keterbatasan fasilitas rehabilitasi bagi anak korban.
“Pembatasan penggunaan media sosial perlu diperhatikan serius, karena banyak kasus anak menjadi korban kekerasan seksual berbasis online. Sampai saat ini, lembaga rehabilitasi pun masih sangat terbatas,” ucap Santi.
Pandangan lain disampaikan perwakilan Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Eka Setya. Ia menekankan bahwa pendidikan inklusi tidak hanya ditujukan bagi anak difabel, melainkan juga perlu melibatkan anak non-difabel agar tercipta ruang empati sejak dini. Menurutnya, regulasi ini harus memastikan difabel mendapat kesempatan setara dalam lingkungan pendidikan maupun sosial.
“Pendidikan inklusi jangan dipersempit hanya untuk anak berkebutuhan khusus, tetapi juga untuk anak non-disabilitas agar tumbuh empati sejak dini. Kami berharap Raperda ini benar-benar memberi ruang bagi anak-anak disabilitas di DIY,” jelas Eka.
Dengan berbagai masukan tersebut, DPRD DIY berkomitmen memperkuat posisi Jogja sebagai provinsi ramah anak. Raperda ini diharapkan tidak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga instrumen nyata dalam mewujudkan generasi emas 2045 yang unggul, inklusif, dan berakar pada budaya lokal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Jembatan Kaca Tinjomoyo Resmi Dibuka, Ini Harga Tiketnya
Advertisement
Berita Populer
- Ratusan Perajin Batik di Jogja Bergabung Jadi Anggota Kopdes Merah Putih
- Bayi Perempuan Hidup Dibuang di Jalan Rongkop Gunungkidul
- Starting Eleven Persipal vs PSS, Super Elja Ubah Racikan Pemain di Lini Tengah
- Peringatan Dini BMKG DIY! Waspada Hujan Lebat Disertai Angin Sore Ini
- Bertandang ke Markas Persipal, PSS Sleman Unggul 2 Gol di Babak Pertama
Advertisement
Advertisement