Advertisement
Status Daerah Inklusif Jangan Hanya Jadi Jargon

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Dialog tata kelola pembangunan kota dan kabupaten inklusif yang diselenggarakan, Selasa (23/10/2018) diharapkan dapat membentuk kota atau kabupaten inklusif baru, yang tidak hanya sebatas jargon.
Project Manager Program Peduli Pilar Disabilitas Pusat Rehabilitasi Yakkum, Rani Ayu Hapsari mengungkapkan pembangunan kota/kabupaten inklusif sudah diinisiasi 10 kota/kabupaten, yaitu Bone, Gowa, Klaten, Sleman, Kulonprogo, Situbondo, Sukoharjo, Sumba, Sumba Barat, dan Jogja.
Advertisement
Dengan kegiatan ini pula diharapkan dapat diketahui praktik baik apa yang sudah dilakukan di kota/kabupaten tersebut dan apa yang masih perlu dibenahi. Nantinya diharapkan menjadi contoh untuk pembelajaran daerah lain.
Untuk diwilayah DIY, Rani mengatakan sudah ada Kota Jogja, Sleman dan Kulonprogo yang sudah memenuhi kriteria inklusif. Pada tingkat desa dari kabupaten/kota tersebut sudah dapat mewadahi penyandang disabilitas.
“Yang sudah ada itu dapat menjadi percontohan dan nantinya wilayah lain dapat mereplikasi. Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah itu sebenarnya bisa menjadi payung hukum, daerah bisa mengembangkan inovasi untuk teman-teman disabilitas,” kata Rani, Selasa (23/10/2018).
Saat ini yang harus diperhatikan pengawasan ketika sudah ada UU Disabilitas, apakah sudah menjamin pemenuhan hak disabilitas atau belum. Termasuk dalam masalah kesempatan kerja dan pendidikan, yang dirasa banyak sekolah menyebut inklusif namun pada praktiknya belum terlihat. “UU itu implementasinya harus dikawal,” ujar dia.
Asisten Deputi Pemberdayaan Disabilitas dan Lanjut Usia Kementerian Koordinator Pembangunana Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Ade Rustama mengungkapkan UU yang sudah ada tersebut sudah menjadi isu lintas sektor, sudah banyak kementerian dan lembaga konsen dengan isu disabilitas. “Dengan adanya otonomi daerah, titik tumpu daerah untuk melakukan praktik baik,” ujarnya.
Dikatakan dia, kota inklusif ada beberapa kunci penting, yaitu persoalan akses, persoalan ruang partisipasi, dan tidak diskriminasi. Menurut dia, memang sudah ada kota dan kabupaten yang bergerak ke arah situ.
Inklusif tidak hanya masalah fisik tetapi nonfisik bagaimana perlakuan masyarakat terhadap disabilitas. Penting memahamkan khususnya para pengambil kebijakan agar dalam menyusun kebijakan harus memperhitungkan dimensi disabilitas. Kendala saat ini banyak yang berpikir untuk fasilitas disabilitas membutuhkan biaya yang mahal, padahal jika itu nyaman digunakan disablitas, dipastikan akan nyaman juga digunakan masyarakat umum.
Penting pula memberikan ruang terhadap penyandang disabilitas, termasuk akses di dunia pendidikan maupun akses pemenuhan terhadap bidang kesehatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Sempat Rusak Akibat Gempa Magnitudo 5,0, Kini Masjid Al-Hidayah Bandung Jadi Ramah Gempa
Advertisement

Amerika Serikat Keluarkan Peringatan Perjalanan untuk Warganya ke Indonesia, Hati-Hati Terorisme dan Bencana Alam
Advertisement
Berita Populer
- Ini Jadwal SPMB 2025 SMA/SMK Negeri DIY, Ada Pendaftaran Gelombang 1 dan Gelombang 2
- Dimas Diajeng Sleman 2025, Mahasiswa UNY dan UGM Jadi Pemenang
- Gudang CV Keiros di Bantul Terbakar, Kerugian Capai Rp4,5 Miliar
- Rektor UGM hingga Pembimbing Akademik Digugat ke PN Sleman karena Masalah Ijazah
- Kasus Penipuan Tanah dengan Korban Mbah Tupon, Menteri ATR Sebut Belum Tergolong Mafia Tanah
Advertisement