Advertisement

Prevalensi Kanker Tinggi, Jogja Didorong Jadi Kota Paliatif

Sunartono
Jum'at, 14 Desember 2018 - 05:17 WIB
Kusnul Isti Qomah
Prevalensi Kanker Tinggi, Jogja Didorong Jadi Kota Paliatif Ketua Himpunan Perawat Onkologi (Himponi) DIY Christantie Effendy dalam diskusi tentang pasien paliatif, Kamis (13/12/2018). - Harian Jogja/Sunartono

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA - Himpunan Perawat Onkologi (Himponi) DIY mendorong Jogja agar bisa menjadi kota paliatif sehingga pasien paliatif bisa meningkat kualitas hidupnya.

Penyakit kanker menyumbangkan angka cukup besar bagi pasien paliatif seiring prevalensi kanker di DIY tertinggi di Indonesia. Pasien paliatif merupakan layanan kepada pasien yang penyakitnya sudah tidak bereaksi dengan pengobatan kuratif.

Advertisement

Ketua Himpunan Perawat Onkologi (Himponi) DIY Christantie Effendy mengatakan keperawatan paliatif merupakan pelayanan diberikan kepada pasien yang penyakitnya sudah dianggap tidak bereaksi terhadap pengobatan. Pasien jenis ini berhak mendapatkan pelayanan namun sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup sesuai kemampuannya.

Tetapi yang terjadi di tengah masyarakat, keluarga pasien paliatif justru melakukan pengobatan sampai pada titik darah penghabisan. "Kadang sampai menjual apa saja yang dimiliki demi kesembuhan pasien paliatif, budaya ini tidak cocok dengan WHO. Pada kondisi paliatif perawatan harus diarahkan pada peningkatan kualitas hidup pasien," ungkapnya dalam diskusi tentang pasien paliatif di salah satu resto di Sagan, Terban, Gondokusuman, Kota Jogja, Kamis (13/12/2018).

Himponi mendorong agar Jogja bisa menjadi kota paliatif, sehingga masyarakat, aparatur sipil negara (ASN) hingga tenaga medis kesehatan mendapatkan pengetahuan yang cukup soal paliatif. Ia meyakini, melalui cara perawatan dengan meningkatkan kualitas hidup pasien paliatif akan dapat mengurangi pembengkakan penggunaan anggaran BPJS. Karena proses pengobatan tidak menggunakan peralatan bermacam dengan biaya yang tinggi. Selain itu pasien yang sudah memasuki fase paliatif menjadi lebih bersemangat di sisa hidupnya tanpa harus memikir tindakan beragam pengobatan.

"Jogja harus didorong jadi Kota Paliatif, kalau ada regulasinya akan lebih baik. Butuh campur tangan banyak pihak termasuk fasilitas dan tenaga kesehatan harus siap. Karena kalau masyarakat sudah siap memahami apa yang harus dilakukan dengan kondisi paliatif maka dokter, perawat dan rumah sakit harus siap juga," ucapnya.

Ia menambahkan dari seluruh rumah sakit di DIY hanya RSUP Sardjito yang memiliki instalasi khusus paliatif. Ia menyadari, beberapa rumah sakit mungkin sudah ada yang melakukan tindakan paliatif terhadap pasien namun tidak menggunakan label pada unit atau instalasi khusus. Christantie menilai label keberadaan instalasi atau unit paliatif itu seharusnya ada, apalagi bagi rumah sakit yang ingin mendapatkan akreditasi dari Joint Commission International (JSI).

Salah satu kota di Indonesia yang sudah sadar terhadap pasien paliatif adalah Surabaya. Di kota ini beberapa rumah sakit sudah banyak yang memberikan layanan langsung datang ke rumah pasien paliatif hingga sudah memiliki taman khusus paliatif.

"Sehingga yang paliatif ini mendapat dukungan secara psikologis," ujarnya.

Christantie menilai Jogja atau DIY secara umum memiliki prevalensi kanker tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Riskesdas 2013, DIY berada di urutan tertinggi dengan prevalensi 4,1 per 1.000 penduduk. Pasien paliatif di DIY 60% didominasi dari pasien kanker dengan beragam usia. seperti kanker serviks, nasofaring. Selain itu, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), jantung, stroke, gagal ginjal dan AIDS juga menyumbang data pasien yang banyak masuk fase paliatif.

Dari sisi usia kalangan tua termasuk tinggi menjadi pasien paliatif, mengingat Jogja menjadi incaran bagi pensiunan untuk hidup menetap menjalani masa tua. Namun dari kalangan anak maupun remaja juga cukup banyak menjadi pasien paliatif yang lebih banyak karena kanker.

"Dengan menjadi kota paliatif, masyarakat akan jadi lebih paham apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan ketila kondisi sudah paliatif. Pengambilan keputusan jadi lebih baik buat pasien maupun keluarga. Sehingga kalau sudah sadar ini kondisinya paliatif jadi tidak belanja dokter kemana-mana," katanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Kejagung Tetapkan 5 Tersangka Baru Kasus Korupsi Timah, Bos Maskapai Penerbangan Terlibat

News
| Sabtu, 27 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement