Mengenal Agus Tempe, Pria Jogja yang Ingin Menularkan Keahlian Bikin Tempe kepada Semua Orang
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Bagi Agustinus Priyanto, tempe adalah makanan sehat yang seharusnya bisa dibuat semua orang Indonesia. Dia meyakini tempe bisa diproduksi dari berbagai kacang-kacangan, dan tak hanya kedelai.
Pria 66 tahun kelahiran Jogja itu memang sudah karib dengan tempe. Hal itu pula yang membuatnya lebih dikenal dengan panggilan Agus Tempe. Nama itu juga yang akhirnya ia sematkan pada akun Instagram-nya untuk memopulerkan pembuatan tempe lokal.
Advertisement
BACA JUGA: Pemkot Tertibkan Skuter di Sepanjang Malioboro & Tugu Jogja
Meski diklaim sebagai makanan Indonesia, tempe tidak seluruhnya menggunakan kedelai dari dalam negeri.
"Tempe pakai bahan kedelai, tapi utamanya malah impor. Sementara, tempe itu kan enggak harus dari kedelai, bisa dari biji-bijian apa saja," ujar Agus ketika ditemui Harian Jogja di sebuah pasar sehat bernama Pasar Wiguna yang ada di Jogja, belum lama ini.
Tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap tempe membuat impor kedelai terus dilakukan. Sayangnya, kedelai yang diimpor itu kebanyakan hasil rekayasa genetik (genetically modified organism/GMO). Mengetahui tempe di pasaran kebanyakan mengandung kedelai rekayasa genetik, Agus pun mencoba membuat sendiri tempe dari bahan-bahan lokal.
Baginya, tempe tak harus dari kedelai. Lantaran kedelai lokal tak cukup memenuhi kebutuhan di pasaran, ia mencari alternatif bahan baku tempe. Hasilnya, tempe dari kacang koro pedang, kacang tolo, kacang tanah, bahkan kacang hijau pun berhasil ia buat dan rasanya tak kalah nikmat.
Ketertarikan Agus terhadap makanan organik, terutama tempe, tumbuh ketika dia mendampingi petani di Aceh pada 2008. Saat itu, dia mendampingi korban konflik di Aceh agar bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui sistem pertanian organik.
"Mulai dari situ timbul kecintaan terhadap makanan organik, terutama tempe. Saya kemudian ikut banyak komunitas makanan organik untuk menambah ilmu," kata dia.
BACA JUGA: Minibus Ini Beroperasi Tanpa Setir, Pedal Gas dan Rem
Sepulang dari Aceh, pria yang lama tinggal di Bekasi itu kemudian melakukan pendampingan warga di Majalengka, Jawa Barat. Di sana, ia pun turut mengajarkan pembuatan tempe lokal.
Namun menurutnya, warga setempat kurang tertarik untuk melanjutkan produksi tempe lokal. Di saat yang bersamaan, dia mengikuti sebuah pasar organik yang diselenggarakan oleh Komunitas Organik Indonesia di Jakarta pada 2012. Saat itu, Agus membuat tempe lokal dari kacang koro untuk dipamerkan.
Rupanya, di acara itu banyak yang berminat terhadap tempe koro buatannya. Para pembelinya memesan ulang untuk dibuatkan tempe koro yang menurut mereka lebih sehat daripada tempe kedelai impor. Sejak itu, Agus kemudian menyeriusi produksi tempe lokal hingga saat ini.
Tak hanya produksi tempe dengan berbagai kacang-kacangan, Agus juga melakukan inovasi untuk memadukan rempah dan herbal menjadi tempe herbal. Dia yang tertarik dengan rempah alami Indonesia kemudian mulai memasukkan campuran kunyit, kencur, dan kayu manis ke dalam fermentasi tempe. Selain rempah, ia juga mencampur ganggang laut atau spirulina ke dalam tempe.
"Kita tahu aroma rempah itu kuat sekali, tetapi begitu dicampur ke tempe, aromanya jadi lembut, nggak nyegrak [menyengat]. Paling dominan yang aroma spirulina, itu kan amis ya, tapi begitu jadi tempe amisnya hilang sama sekali," terangnya.
Tak berhenti sampai di situ, Agus pun memproduksi terasi vegan yang berasal dari tempe. Berbagai produk olahan ini pun ia sampaikan ke masyarakat. Ia ingin semua orang bisa membuat tempe, dan lebih jauh lagi membuat olahannya.
Agus lantas membuka kelas pembuatan tempe secara daring sejak awal 2020. Lantaran bertepatan dengan pandemi, kelasnya laris manis hingga akhir tahun. Lewat grup di sebuah aplikasi perpesanan, ia mengajar pembuatan tempe selama dua minggu dengan tarif bervariasi.
"Saya ingin semua orang Indonesia bisa bikin tempe. Awalnya saya bikin kelas tidak berbayar. Lalu saya bikin kelas dengan tambahan kit, sehingga bisa dipraktikkan. Pokoknya, yang ikut kelas saya, harus bisa bikin tempe sampai jadi," kata dia.
Kini tarif kelasnya untuk dua minggu pendampingan mulai dari Rp400.000. Agus menyebut saat ini muridnya justru didominasi WNI yang tinggal di luar negeri.
"Yang terutama, mereka yang ikut kelas saya itu pasti sudah perhatian dengan apa yang dia konsumsi, makanya dia ingin mengonsumsi makanan sehat salah satunya tempe," ujarnya.
BACA JUGA: Omicron Indonesia Terbanyak Berasal dari Turki dan Arab Saudi
Selain membuka kelas daring, sejak Agustus 2020 lalu, Agus terlibat pendampingan warga di Dusun Kepek 1, Banyusoco, Playen, Gunungkidul. Di sana, dia mendampingi warga dalam bidang pertanian, terutama pembuatan tempe lokal, dengan harapan warga setempat bisa kembali menggalakkan penanaman kedelai di Gunungkidul.
"Sekarang masih dalam masa pengubahan mindset. Tempe di sana tadinya dijual Rp1.000 dapat 4 biji, kan enggak dihargai itu tenaganya. Makanya saya ajak warga di sana untuk meningkatkan nilai jualnya, meskipun masih susah juga untuk mengubah pola pikir mereka," kata dia.
Meski demikian, secara perlahan ia berharap warga setempat bisa mulai menyadari potensi komoditas lokal yang ada. Dengan begitu, bukan tak mungkin jika Gunungkidul bisa berkembang menjadi sentra kedelai lokal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Bawaslu Minta Seluruh Paslon Fokus Menyampaikan Program saat Kampanye Akbar
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- 20 Bidang Tanah Wakaf dan Masjid Kulonprogo Terdampak Tol Jogja-YIA
- Jelang Pilkada 2024, Dinas Kominfo Gunungkidul Tambah Bandwidth Internet di 144 Kalurahan
- Angka Kemiskinan Sleman Turun Tipis Tahun 2024
- Perluasan RSUD Panembahan Senopati Bantul Tinggal Menunggu Izin Gubernur
- Gunungkidul City Run & Walk 2024: Olahraga, Pariwisata, dan Kebanggaan Daerah
Advertisement
Advertisement