Advertisement

KDRT Bukan Aib, maka Bicarakan!

Lajeng Padmaratri
Senin, 14 Februari 2022 - 12:07 WIB
Arief Junianto
KDRT Bukan Aib, maka Bicarakan! Ilustrasi. - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA--Topik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seolah tak pernah habis dibicarakan. Pro-kontra pun mewarnai bergulirnya topik ini. Keberanian korban untuk bicara dinilai menjadi kunci untuk memutus mata rantai kekerasan ini.

Baru-baru ini, media sosial diramaikan oleh perdebatan mengenai KDRT. Sebagian menganggapnya sebagai aib, sementara sebagian yang lain tegas menyatakan bahwa KDRT merupakan bentuk kriminalitas.

Advertisement

Polemik itu bermula ketika salah seorang ustazah, Oki Setiana Dewi menyampaikan dalam sesi ceramahnya bahwa seorang istri yang dipukul oleh suaminya berarti tengah menutup aib sang suami.

Sontak pernyataan tersebut memicu reaksi publik. Meski pada akhirnya sudah memberikan klarifikasi dan permohonan maafnya, Oki dianggap tidak peka terhadap korban, sementara KDRT selama ini merupakan masalah serius yang bahkan bisa mengancam nyawa seseorang.

Mengacu pada UU No.23/2004 tentang Penghapusan KDRT, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Setelah menjadi trending topik di media sosial, banyak pihak yang meminta korban KDRT untuk tidak ragu melapor ke keluarga atau aparat. Sebab, jika dianggap sebagai aib, maka dikhawatirkan akan semakin banyak kasus kekerasan yang tidak terungkap dan korban berjatuhan.

Dyar, 25, adalah salah satu perempuan muda yang menyayangkan jika KDRT dianggap sebagai aib. Menurutnya, KDRT harus dilaporkan dan korban harus mendapat perlindungan.

"Perlu speak up dong. Ada hal-hal dalam rumah tangga yang memang enggak boleh diumbar ke luar, tetapi kekerasan itu bukan aib. Enggak perlu menormalisasi kekerasan," ucap Dyar kepada Harianjogja.com, Rabu (9/2/2022).

Menurut warga Kulonprogo ini, KDRT bahkan bukan hanya berkaitan dengan kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan verbal. Jika dilakukan oleh pasangan dalam rumah tangga, hal ini bisa menimbulkan dampak yang besar.

Kepada korban KDRT di luar sana, dia berharap mereka bisa berani untuk mencari perlindungan. "Kalau sudah ada anak ya yang pasti mengamankan anaknya dulu," ucap dia.

Meski belum berumah tangga, Dyar mengaku sudah mulai mempelajari mengenai kehidupan berumah tangga dan upaya meminimalkan KDRT. Bahkan, dia mengungkapkan bahwa sudah meminimalisir kekerasan sejak dalam pacaran.

"Sekarang misalnya dengan banyak mengobrol soal berita-berita menyoal KDRT, apa pandangannya soal pasangan abusif, apakah dia tipe yang mendukung menghukum istri dengan cara dipukul atau enggak," kata dia.

Selain itu, cara Dyar mengurangi potensi kekerasan dalam pacaran yang bisa berlanjut dalam rumah tangga ialah dengan mulai mengamati bagaimana perilaku pasangannya saat marah. "Apakah kasar atau masih normal. Aku juga mewanti-wanti, sekali dia berani kasar, aku akan susah memaafkan," terangnya.

Efek Memori

Shinta (bukan nama sebenarnya), 32, juga menyampaikan pendapatnya mengenai KDRT. Sebagai perempuan yang sudah menikah, dia mengaku sangat mengantisipasi terjadinya KDRT meski sejauh ini ia bersyukur tidak pernah mengalaminya bersama pasangannya.

Seperti Dyar, dia juga telah mengantisipasi potensi KDRT sejak masa pacaran. Seperti mengenal perilaku pasangan secara mendalam, melihat bagaimana saat dia marah, dan memperbaiki komunikasi yang bisa mencegah konflik.

Hal itu ia lakukan lantaran pernah melihat kedua orang tuanya terlibat dalam KDRT sebelum akhirnya memutuskan bercerai. Memori itu terekam di otaknya dan ia tak ingin mengulang peristiwa itu bersama pasangannya.

Dia bahkan mengaku pernah hampir dipukul oleh pacarnya yang lalu sebelum ia menikah. Beruntung, ia telah memutuskan hubungan itu dan memulai pernikahan yang membuatnya bahagia tanpa ancaman kekerasan.

"Di video ustazah itu, dia bilang kalau laki-laki yang diceritakan itu bertaubat karena istrinya menyimpan aibnya. Nah, pengalamanku, itu enggak terjadi. Aku malah putus, terus orang tuaku juga bercerai," kata dia.

Sebagai korban kekerasan dalam pacaran dan menyaksikan orang tuanya terlibat KDRT, dia mengaku saat itu tak langsung melapor dan menyimpannya sendiri. Meski begitu, Shinta sebenarnya berharap memiliki keberanian untuk melapor kepada teman atau keluarga yang lain mengenai peristiwa itu.

"Enggak enak banget punya orang tua KDRT, ngeri melihatnya. Kalau sekarang begitu dewasa, aku berharap enggak akan kejadian lagi. Semoga banyak perempuan di luar sana yang juga berani cerita atau melapor kalau jadi korban, karena KDRT itu bukan aib," ujarnya.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021 menyatakan bahwa kekerasan yang paling banyak terjadi kepada perempuan merupakan KDRT. Dari 299.991 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020, sebesar 17,8% di antaranya merupakan kasus KDRT.

Yudha, 28, turut mengakui realitas itu. Namun, sebagai seorang laki-laki sekaligus suami dalam sebuah rumah tangga, dia berupaya keras meminimalkan hal itu terjadi.

"Sebenarnya miris ya, perempuan banyak menjadi korban kekerasan oleh pasangannya sendiri dalam rumah tangga. Enggak cuma dipukul, banyak juga yang sampai meninggal. Tapi, sebenernya korbannya juga enggak cuma perempuan, laki-laki pun bisa menjadi korban. Meski begitu, semuanya tetap tidak dibenarkan," kata dia.

Menurutnya, untuk mengurangi potensi KDRT, antaranggota keluarga perlu berlandaskan rasa sayang dan saling menghormati. Selain itu, komunikasi juga harus terus terjalin sehingga meminimalkan konflik.

"Kalau masih ada rasa sayang dan hormat sama pasangan, baik dari laki-laki dan perempuan, itu menurut saya nggak mungkin terjadi kekerasan. Itu saja yang terus coba saya lakukan selama ini," kata dia.

Gunung Es

Staf Humas Rifka Annisa Women Crisis Center (RAWCC), Nurmawati menyatakan selama lima tahun terakhir lembaga tersebut menangani 1.009 kasus KDRT.

RAWCC mengklasifikasikan 886 kasus sebagai kekerasan terhadap istri dan 123 kasus adalah kekerasan dalam keluarga. "Data ini sebenarnya masih sangat sedikit, karena fenomena kasus KDRT itu seperti gunung es, sehingga yang tampak di permukaan dan yang melaporkan itu sangat sedikit dibanding yang tidak melaporkan," kata dia saat diskusi virtual RAWCC bertajuk KDRT, Aib Rumah Tangga atau Kriminalitas? akhir pekan lalu.

Dia menyayangkan adanya pernyataan bahwa KDRT merupakan aib rumah tangga yang berpotensi menghambat korban berani melapor. Sebab, selama ini saja sudah banyak pertimbangan korban untuk melaporkan kasus KDRT yang menimpanya.

Jumlah Kasus Kekerasan pada Istri

2016 : 5.784

2017 : 5.167

2018 : 5.114

2019 : 6.555

2020 : 3.221

Sumber: Catahu Komnas Perempuan 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Data Pembeli LPG 3 Kilogram Capai 41,8 Juta

News
| Sabtu, 11 Mei 2024, 08:17 WIB

Advertisement

alt

Menilik Jembatan Lengkung Zhaozhou Tertua di Dunia

Wisata
| Jum'at, 10 Mei 2024, 10:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement