Advertisement

Komunitas Djokjakarta 1945 Selalu Punya Cara Merawat Ingatan Sejarah

Lajeng Padmaratri
Sabtu, 13 Agustus 2022 - 03:37 WIB
Arief Junianto
Komunitas Djokjakarta 1945 Selalu Punya Cara Merawat Ingatan Sejarah Komunitas Djokjakarta 1945 dalam sejumlah pentas teatrikal. - Instagram djokjakarta1945

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA — Sebagai kota yang sarat sejarah, Jogja menyimpan banyak cerita perjuangan meraih kemerdekaan bangsa ini. Sejarah itu kini kian diwarnai oleh komunitas Djokjakarta 1945 yang terus merawat ingatan masyarakat agar tidak melupakan masa lalu.

Komunitas dengan slogan Tiada Sekarang Tanpa Dahulu ini aktif mengajak masyarakat untuk terus nguri-uri sejarah, khususnya peristiwa sejarah di Jogja. Sekumpulan pencinta sejarah itu memiliki sejumlah kegiatan mulai dari diskusi hingga menampilkan teatrikal kolosal tentang peristiwa sejarah.

Advertisement

"Kami ini hobi sejarah, dan karena kami harus menampilkan kesenian dan kebudayaan, maka kami tampilkan sejarah melalui dialog, fragmen sederhana, hingga kolosal," ujar Eko Isdianto, Ketua Djokjakarta 1945 ketika ditemui Harianjogja.com seusai pentas teatrikal di Museum Benteng Vredeburg, belum lama ini.

Djokjakarta 1945 sudah berdiri sejak 2013. Anggota yang bergabung kini sudah mencapai 80 orang. Mereka bergabung karena ketertarikan terhadap sejarah, bahkan Eko menyebut tidak ada anggota yang berlatar belakang studi sejarah.

"Saya sendiri buka usaha di rumah, meskipun sempat kerja di bank. Yang lain ada yang supplier elektronik, ojek online, desainer, hingga guru seni budaya. Enggak ada yang punya background sejarah, tetapi gimana caranya kami buat semuanya pada senang sama sejarah," ujar dia.

BACA JUGA: Komunitas Ini Punya Cara Kenalkan Wayang dengan Cara yang Menyenangkan

Salah satunya adalah dengan menampilkan sejarah lewat pentas teatrikal. Sejumlah momen besar yang biasa ditampilkan Djokjakarta 1945 ialah Serangan Umum 1 Maret, Jogja Kembali, Serbuan Kotabaru, dan masih banyak lagi.

Komunitas ini membatasi peristiwa sejarah di Jogja dalam kurun waktu 1943 hingga 1950 untuk ditampilkan. Untuk periode itu saja, Eko merasa peristiwa sejarahnya sudah terlalu banyak untuk dipelajari.

"Tetapi enggak cuma Jogja. Bulan lalu kami ke Manado, mengisi teatrikal kolosal dengan teman-teman Kodam XIII/Merdeka. Kami tampilkan peristiwa penyerbuan markas militer Belanda dan pengibaran bendera merah putih pada 14 Februari 1946. Biar mereka gumregah dan bersemangat lagi," kata dia.

Bukan hanya menampilkan sejarah dengan asal-asalan, komunitas ini sungguh-sungguh dalam menggodok naskah dan membuat cerita berdasarkan literasi sejarah yang ada. Mereka mengakses berbagai sumber literasi untuk bahan riset, seperti naskah jadul, diorama di museum, hingga sumber hidup seperti veteran pelaku sejarah.

Bahkan, mereka punya idealisme agar jangan sampai membuat kesalahan dalam menampilkan sejarah. Sebab, mereka tak ingin orang lain justru meniru kesalahan yang mereka buat di masa depan.

"Kalau dokumentasi punya kami yang salah dipakai orang 10 tahun mendatang, itu mereka mencontohnya juga jadi salah. Jadi jangan sampai salah. Termasuk kostum baju Belanda aja enggak mau asal-asalan, walaupun harganya mahal kita kumpulkan satu per satu," ucap dia.

Eko menyayangkan jika masih ada film tentang sejarah yang dibuat sutradara ternama tetaou masih salah dalam menampilkan fakta sejarahnya, meskipun sekadar kostum semata.

Baginya itu eman-eman. Mereka meyakini jangan sampai menampilkan sejarah namun risetnya terburu-buru dan tidak jelas sumbernya.

Demi menampilkan sejarah yang sebenarnya, komunitas ini bahkan mengoleksi baju dan senjata khas pejuang zaman itu. Mereka memiliki baju pejuang sekitar 70 setel, baju loreng 12 setel, seragam tentara Jepang 10 setel, hingga senjata, properti karung goni, dan masih banyak lagi.

"Senjata ini replika autentik, kami bikin khusus untuk media edukasi ke penonton. Kami peragakan apa yang dulu pernah dipakai," kata dia.

Selain itu, Djokjakarta 1945 juga punya idealisme untuk tidak hanya menampilkan pejuang di garda depan. Mereka meyakini perjuangan merebut kemerdekaan berkat andil dari banyak pahlawan, termasuk dari pahlawan logistik seperti dapur umum.

"Kalau di komunitas kami jadi memahami pertempuran dari berbagai sisi, nggak cuma di garis depan. Banyak pendukun seperti logistik, dapur umum, kurir surat, itu jangan dihilang-hilangkan dan harus juga diekspos," tuturnya.

Merti Museum

Selain teatrikal kolosal, Djokjakarta 1945 juga punya visi dan misi untuk melestarikan sejarah. Mereka memiliki program 3M yaitu Merti Museum dan Monumen. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melestarikan monumen atau tetenger di sekitar mereka.

"Misal kita melihat tetenger yang kotor, itu kami bersihkan. Bantu bersihin koleksi museum, ngecat pesawat di Museum Dirgantara juga," terang Eko.

Tak sendirian, komunitas ini juga beberapa kali mengajak komunitas lain. Salah satunya komunitas Paguyuban Onthel Cibuk Lor (Pocil) yang meskipun merupakan komunitas sepeda, tetapi mereka geret untuk peduli sejarah.

Lebih jauh, Djokjakarta 1945 punya visi ingin mempertahankan predikat Kota Jogja sebagai Kota Perjuangan. Selain 3M dan teatrikal, misinya diwujudkan dengan mengisi seminar sejarah dan roadshow mengajar ke sekolah dan kelompok pemuda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Lowongan Kerja: Kemensos Buka 40.800 Formasi ASN 2024, Cek di Sini!

News
| Sabtu, 20 April 2024, 16:27 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement