Advertisement

Mitigasi Krisis Iklim Butuh Aksi Anak Muda

Arief Junianto
Minggu, 11 September 2022 - 20:17 WIB
Arief Junianto
Mitigasi Krisis Iklim Butuh Aksi Anak Muda Diskusi bertajuk Kolaborasi Jurnalis dan Kalangan Muda Merespons Perubahan Iklim yang digelar pada Sabtu (10/9/2022) - Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA — Upaya memperbaiki kondisi iklim yang terus memburuk saat ini akan sangat bergantung pada perilaku masyarakat dan pembuat kebijakan. Kalangan muda dan jurnalis juga berperan srategis memitigasi perubahan iklim.

Benang merah itu terangkum dalam diskusi bertajuk Kolaborasi Jurnalis dan Kalangan Muda Merespons Perubahan Iklim yang digelar secara tatap muka di Jogja, Sabtu (10/9/2022).

Advertisement

Pakar Klimatologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Emilya Nurjani menyatakan perubahan iklim acap kali hanya dikaitkan dengan kondisi di atmosfer yang memburuk sehingga menyebabkan cuaca ekstrem.

Padahal kata dia, apa yang terjadi dengan perubahan iklim sangat dipengaruhi dengan kondisi di daratan yang melibatkan manusia dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Dia menyoroti, musnahnya lahan hutan menjadi perkebunan atau proyek infrastruktur yang masif belakangan ini seiring gencarnya proyeknya infrastruktur dan perkebunan monokultur pemerintah yang telah berakibat serius pada perubahan iklim. Belum lagi kebijakan lain di sektor transportasi yang juga berdampak buruk pada perubahan iklim.

BACA JUGA: Tidak Hanya DIY, Hujan Juga Akan Terjadi di Provinsi Lain Hari Ini

Memang menurut dia, penyebab perubahan iklim memang tak semata disebabkan manusia. Ada faktor alami yang berperan seperti gunung meletus atau aktivitas Matahari.

Namun, di luar itu, ulah manusia menjadi faktor penyebab paling signifikan. "Sekarang C02 terlalu banyak [yang terlepas ke atmosfer akibat ulah mannusia]. Gas karbon yang lepas ratusan tahun lalu itu masih bisa tersimpan," ujar dia, Sabtu dalam diskusi yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan Yayasan Indonesia Cerah (YIC).

Aktivitas manusia memicu perubahan iklim secara ekstrem. Dia memaparkan grafis suhu rata-rata tahunan selama 30 tahun (periode 1981-2010). Variasi naik turun suhu setiap tahun selalu terjadi. Namun terjadi penyimpangan yang ekstrem dari nilai rata-rata suhu tahunan.

Misalnya pada rentang 2001-2006, kenaikan ekstrem suhu mencapai hingga 27 derajat Celsius. Padahal rata-rata suhu normal pada 1981-2010 adalah 24,6 derajat Celsius.

Dampaknya kata dia, bisa dirasakan saat ini. Seperti cuaca yang tak menentu, tren bencana, krisis pangan dan lainnya. "Misalnya sekarang di Jogja, musim hujan datang lebih awal pada September," kata dia.

Selain perlunya masyarakat mengkritisi kebijakan yang memicu prubahan iklim, tiap individu kata dia bisa melakukan banyak hal untuk turut memitigasi perubahan iklim, seperti menanam pohon, karena merupakan langkah paling sederhana untuk menyerap karbon. Selain itu ada beberapa hal yang bisa dilakukan.

Antara lain menghemat energi; makan lebih banyak sauran dan kurangi konsumsi daging dan susu; mengurangi perjalanan menggunakan persawat karena sejumlah besar bahan bakar fosil digunakan untuk pesawat, sehingga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan; Mengurangi pembuangan makanan. Saat membuang makanan, maka sumber daya dan energi yang digunakan untuk menanam, memproduksi, mengemas dan mengangkutnya ikut terbuang. Ketika makanan membusuk di tempat pembuangan sampah atau landfill, gas metana juga mengakibatkan efek rumah kaca.

BACA JUGA: Subsidi Gaji Rp600.000 Cair Besok, Ini Cara Cek dan Syarat Penerimanya

Aktivis lingkungan dari Marine Buddies Yogyakarta, Yuris Orchita Hapsari mengatakan, anak-anak muda perlu terlibat dalam upaya memitigasi perubahan iklim. Sejatinya kata dia, anak-anak muda punya potensi besar dalam merespons perubahan iklim.

Dia merujuk hasil survei Yayasan Indonesia Cerah (YIC) tahun lalu yang mengungkapkan kepedulian anak-anak muda pada isu lingkungan dan perubahan iklim. Sebanyak 82% dari total 4.020 responden menyatakan mengetahui soal isu lingkungan dan sebanyak 62% menyatakan manusia bertanggung jawab atas persoalan lingkungan.

"Selama ini kami cemas dengan apa yang akan terjadi dengan kami nanti kalau perubahan iklim terus terjadi. Mungkin karena kami sekarang terpapar banyak informasi soal perubahan iklim," kata mahasiswi Kehutanan UGM itu.

Menurut dia, peduli tanpa aksi nyata sama saja tidak ada artinya. Dia memberikan tips apa yang bisa dilakukan anak-anak muda untuk merespons krisis iklim.

Pertama-tama, anak muda bisa mengungkapkan pendapat dan keresahan mereka, bisa dengan teman atau berkelompok. Anak-anak muda kata dia juga bisa turut andil mengkritisi dan memberi masukan ke pemerintah agar menerapkan kebijakan ramah lingkungan. Tips lainnya melakukan gaya hidup ramah lingkungan, belajar atau terjun dalam karier terkait lingkungan dan bergabung dalam komunitas peduli lingkungan.

"Di komunitas Marine Buddies misalnya, kami membuat konten edukasi soal lingkungan, ikut bersih-bersih pantai dan mempromosikan bijak nyampah," kata dia.

Pembicara lainnya, Ketua Bidang Pengembangan Isu Wilayah Barat SIEJ, Dedek Hendry mencontohkan bagaimana kekuatan media terutama media alternatif mengadvokasi isu perubahan iklim di Bengkulu.

"Di Bengkulu ada isu produktivitas kopi Bengkulu menurun. Ternyata terkait dengan perubahan iklim. Framing-nya [bingkai pemberitaan] mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," ujar Dedek Hendry.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Badan Geologi Menyebut Ketinggian Tsunami Akibat Erupsi Gunung Ruang Diprediksi hingga 25 Meter

News
| Kamis, 18 April 2024, 12:57 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement