Mengenal Aktivitas Tobong Gamping, Ikon Baru di Gunungkidul

Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL– Tobong gamping menjadi pembicaraan di Gunungkidul karena akan menggantikan patung pengendang di Bundaran Siyono di Kalurahan Logandeng, Playen. Meski demikian, aktivitas pembuatan gamping melalui pembakaran di tobong sudah jarang terlihat.
Keberadaan tobong gamping yang masih ada, salah satunya di Kalurahan Piyaman, Wonosari. Produksi gamping masih berlangsung hingga sekarang.
Advertisement
BACA JUGA: TelkomClick 2023: Kesiapan Kerja Karyawan dalam Sukseskan Strategi Five Bold Moves di Tahun 2023
Adapun prosesnya batu kapur yang sudah dipecah dimasuKkan ke tungku pembakaran setinggi lima meter dan lebar empat meter yang dikenal dengan nama tobong. Pebakaran menggunakan kayu dan ban bekas. Agar tidak menimbulkan kebakaran, ada pekerja khusus yang bertugas menyirami kayu-kayu dengan air agar api tidak keluar dari tobong.
Salah seorang pekerja tobong gamping, Supardal, 66, mengatakan, sudah lam bekerja sebagai pembuat gamping di Dusun Pakeljaluk. Usaha ini sudah berlangsung secara turun temurun.
BACA JUGA: WHO Isyaratkan Pandemi Berakhir, Ini Update Capaian Vaksinasi DIY
Namun setelah gempa di 2006 lalu, banyak pengusaha yang gulung tikar. Hal ini tak lepas dengan munculnya pabrik-pabrik penggilingan batu kapur. “Tentunya ada dampaknya karena peminat gamping jadi berkurang. Praktis, usaha produksinya ikut berkurang,” katanya.
Dia menjelaskan, butuh waktu untuk membuat gamping. Batu putih yang sudah dipecah menjadi ukuran kecil ditata dalam tobong dengan posisi mengerucut.
Di bagian bawah ada perpaian untuk membakar, agar api tetap stabil maka prosesnya dibantu menggunakan blower. “Memang tidak sebentar pembakarannya karena butuh waktu sekitar sehari semalam. Tandanya gamping sudah matang akan muncul asap putih di bagian atas tobong,” ungkapnya.
Batu gamping yang dihasilkan biasanya untuk bahan bangunan yang dicampur menggunakan semen dan pasir. Selain itu, dulunnya juga dimanfaatkan dalam proses pengecatan rumah atau pagar.
Salah seorang pemilik tobon gamping, Paliyo mengatakan, sudah mengoperasikan tobong sejak lama. Ia tidak menampik proses ini bisa menimbulkan polusi.
Meski hampir setiap hari menghirup debu baik dari pembakaran maupun gamping, ia mengaku pernapasannya tidak terganggu. “Agar tetap bugar saar sering minum jamu tradisional, salah satunya daun sambiloto yang direbus kemudian diminum supaya badan tetap bugar,” katanya.
Dia mengakui, dari proses produksi gamping, dalam kurun waktu sekitar sepuluh hari dapat meraup keuntungan sebesar Rp500.000. Adapun gamping banyak dijual ke luar daerah karena di Gunungkidul sudah jarang yang membutuhkan.
“Saya tetap bertahan karena kalau tutup maka warga tidak bekerja lagi,” katanya.
BACA JUGA: Finnet Dukung Digitalisasi Sistem Pembayaran Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Geser Rusia, Amerika Kini Jadi Pemasok Minyak Mentah Terbesar Eropa
Advertisement

Deretan Negara di Eropa yang Bisa Dikunjungi Bagi Pelancong Berduit Cekak
Advertisement
Berita Populer
- Kapolres Kulonprogo Dicopot dari Jabatannya, Buntut Penutupan Patung Maria
- Pemda DIY Siapkan 3 Langkah untuk Kawal Pembayaran THR Tepat Waktu
- Danramil Rongkop Terlibat Kecelakaan di Jalan Imogiri, 1 Meninggal Dunia
- Tok! Pilihan Lurah di Gunungkidul pada 2024 Dipastikan Ditunda
- Tagihan LPJU Gunungkidul Nyaris Rp1 Miliar Per Bulan
Advertisement