Advertisement
Mengenal Aktivitas Tobong Gamping, Ikon Baru di Gunungkidul
Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL– Tobong gamping menjadi pembicaraan di Gunungkidul karena akan menggantikan patung pengendang di Bundaran Siyono di Kalurahan Logandeng, Playen. Meski demikian, aktivitas pembuatan gamping melalui pembakaran di tobong sudah jarang terlihat.
Keberadaan tobong gamping yang masih ada, salah satunya di Kalurahan Piyaman, Wonosari. Produksi gamping masih berlangsung hingga sekarang.
Advertisement
Adapun prosesnya batu kapur yang sudah dipecah dimasuKkan ke tungku pembakaran setinggi lima meter dan lebar empat meter yang dikenal dengan nama tobong. Pebakaran menggunakan kayu dan ban bekas. Agar tidak menimbulkan kebakaran, ada pekerja khusus yang bertugas menyirami kayu-kayu dengan air agar api tidak keluar dari tobong.
Salah seorang pekerja tobong gamping, Supardal, 66, mengatakan, sudah lam bekerja sebagai pembuat gamping di Dusun Pakeljaluk. Usaha ini sudah berlangsung secara turun temurun.
BACA JUGA: WHO Isyaratkan Pandemi Berakhir, Ini Update Capaian Vaksinasi DIY
Namun setelah gempa di 2006 lalu, banyak pengusaha yang gulung tikar. Hal ini tak lepas dengan munculnya pabrik-pabrik penggilingan batu kapur. “Tentunya ada dampaknya karena peminat gamping jadi berkurang. Praktis, usaha produksinya ikut berkurang,” katanya.
Dia menjelaskan, butuh waktu untuk membuat gamping. Batu putih yang sudah dipecah menjadi ukuran kecil ditata dalam tobong dengan posisi mengerucut.
Di bagian bawah ada perpaian untuk membakar, agar api tetap stabil maka prosesnya dibantu menggunakan blower. “Memang tidak sebentar pembakarannya karena butuh waktu sekitar sehari semalam. Tandanya gamping sudah matang akan muncul asap putih di bagian atas tobong,” ungkapnya.
Batu gamping yang dihasilkan biasanya untuk bahan bangunan yang dicampur menggunakan semen dan pasir. Selain itu, dulunnya juga dimanfaatkan dalam proses pengecatan rumah atau pagar.
Salah seorang pemilik tobon gamping, Paliyo mengatakan, sudah mengoperasikan tobong sejak lama. Ia tidak menampik proses ini bisa menimbulkan polusi.
Meski hampir setiap hari menghirup debu baik dari pembakaran maupun gamping, ia mengaku pernapasannya tidak terganggu. “Agar tetap bugar saar sering minum jamu tradisional, salah satunya daun sambiloto yang direbus kemudian diminum supaya badan tetap bugar,” katanya.
Dia mengakui, dari proses produksi gamping, dalam kurun waktu sekitar sepuluh hari dapat meraup keuntungan sebesar Rp500.000. Adapun gamping banyak dijual ke luar daerah karena di Gunungkidul sudah jarang yang membutuhkan.
“Saya tetap bertahan karena kalau tutup maka warga tidak bekerja lagi,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
KPK Ungkap Mantan Kepala Bea Cukai Jogja Lakukan Pencucian Uang Capai Rp20 Miliar
Advertisement
Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia
Advertisement
Berita Populer
- Termasuk Jogja, BMKG Ingatkan Sebagian Besar Wilayah Indonesia Waspada Cuaca Ekstrem
- Stok dan Jadwal Donor Darah di Jogja Hari Ini, Jumat 19 April 2024
- KPU Buka Layanan Konsultasi bagi Paslon Perseorangan di Pilkada Kota Jogja
- Pencegahan Kecelakaan Laut di Pantai Selatan, BPBD DIY: Dilarang Mandi di Laut
- Perekrutan Badan Ad Hoc Pilkada DIY Dibuka Pekan Depan, Netralitas Jadi Tantangan
Advertisement
Advertisement