Advertisement

Menangkal Hoaks Politik, Menggalang Kerja Kolaboratif

Anisatul Umah
Senin, 10 Oktober 2022 - 19:27 WIB
Bhekti Suryani
Menangkal Hoaks Politik, Menggalang Kerja Kolaboratif Ilustrasi kampanye menangkal hoaks - Ist

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA--Informasi bohong atau hoaks dewasa ini sangat mudah ditemui. Jika tidak hati-hati, mudah percaya, dan mudah menyebarkan, tanpa disadari anda bisa jadi agen penyebar hoaks. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Anisatul Umah.

JOGJAKARTA – “INFO PENTING=Mahkamah Konstitusi memutuskan := NYOBLOS BISA PAKAI E-KTP dan waktunya adalah mulai jam 12.00 siang. BUAT MENGURANGI GOLPUT KARENA TIDAK PUNYA SURAT/FORMULIR C6 ATAU A5. SEKARANG BISA BAWA KTP ELEKTRONIK SAJA SAAT MAU NYOBLOS DI TPS. Tolong sebarkan!!!”

Advertisement

Menjelang hari pencoblosan Pemilu 2019 silam, hoaks ini menyebar cepat lewat media sosial. Tidak sedikit warga percaya memaksakan diri untuk tetap mencoblos bermodalkan e-KTP tanpa formulir A5. Para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kota Jogjakarta pun dibuat repot.

Hoaks tentang e-KTP ini menjadi temuan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Pemilihan yang tidak sah harus diulang. Alih-alih menekan golongan putih (golput), Pemilihan Suara Ulang mengendurkan minat masyarakat untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Partisipasi politik anjlok.

Beberapa anak muda Jogja menjadikan hoaks politik ini sebagai bahan obrolan hangat di angkringan dan warung kopi. Dari sana, terbentuklah organisasi Aksi Menolak Politik Uang, Ujaran Kebencian dan SARA, serta Hoaks (AMPUH).

"Deklarasi pertama Oktober 2021, membangunnya dari 2020. Ini [hoaks] permasalahan yang kami tangkap kemarin sebagai penyelenggara," ujar koordinator Presidium Pemuda AMPUH, Syaifudin Dharma Putra, ditemui di daerah Kapanewon Keraton, Jogjakarta, Sabtu (9/7/2022) malam.

AMPUH lahir oleh ikatan emosional di antara anak-anak muda lewat perbincangan-perbincangan informal. Bukan bentukan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). AMPUH bermitra dengan Bawaslu, tapi jalan sendiri-sendiri. 

Sekretaris Pemuda AMPUH, Muhammad Romzi mengatakan meski baru dideklarasikan pada 2021 namun keresahan ini sudah lama muncul. Terkait hoaks yang banyak berseliweran saat Pemilu.

Sebagai penyelenggara, hoaks terkait mencoblos bisa di mana saja bermodalkan e-KTP cukup merepotkan. Dia mencontohkan, Pakualaman menjadi salah satu lokasi yang melakukan PSU akibat hoaks ini.

Angka Golput bahkan turun hingga 30% saat PSU, di mana pada saat hari H pemungutan, 80% masyarakat hadir menggunakan hak pilihnya. Lalu saat PSU menyusut jadi 50%, bahkan di bawahnya.

"Kami sebagai penyelenggara, saya sebagai PPS dan teman lainnya sering ada diskusi gimana peran pemuda menanggulangi itu [hoaks]. Setelah selesai Pemilu obrolan masih berlanjut. Hoaks e-KTP itu fatal, beberapa tempat harus PSU," sesalnya.

Menjelang 2024 dimana Pilpres akan kembali digelar, Pemuda AMPUH mengharapkan seluruh Daerah Pemilihan (Dapil) di Kota Jogja sudah mendapatkan sosialisasi mengenai hoaks, misinformasi, dan disinformasi. Setidaknya ada satu volunteer di setiap wilayah.

Saat ini Pemuda AMPUH rutin menggelar diskusi melibatkan pemuda dari karang taruna, organisasi, guru, mahasiswa dan kalangan anak muda lainnya. Kegiatannya digelar semi formal di warung kopi atau tempat lainnya.

Pembelajaran cek fakta juga digelar dengan bekerjasama dengan organisasi kemasyarakatan yang bergerak mensosialisasikan hoaks, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Pendanaan khusus untuk Pemuda AMPUH sendiri tidak ada, setiap kali berkumpul mereka saling iuran atau terkadang ada anggotanya mentraktir saat ada rezeki lebih.

Kegiatan tular nalar untuk menangkal hoaks yang digelar Mafindo di Purworejo beberapa waktu lalu/Ist-dok Mafindo Jogja

"Kalau yang kegiatan formal kebetulan kemarin sosialisasi ke Dapil I, yang rutin kegiatan semi formal, kegiatan santai," paparnya ramah.

Ada sekitar 50-an orang yang tergabung dalam Pemuda AMPUH, terdiri dari anggota dan volunteer dengan latar belakang yang bervariasi. Ada yang berprofesi sebagai dosen, guru, aktivis pemuda, peneliti, hingga fasilitator S2. Kegiatan diskusi dan berkumpul digelar tiap minggu, meski tidak selalu dengan personil lengkap.

 BACA JUGA: Ini Temuan KontraS di Kanjuruhan, Kekerasan Sistematis hingga Minimnya Bantuan untuk Suporter

Sementara itu, Kordiv Kajian Pemuda AMPUH Pangky Febriantanto mengatakan berdasarkan hasil diskusi, hoaks ini masuk akibat rendahnya literasi, sehingga dimanfaatkan oleh pembuat hoaks. Untuk membumihanguskan hoaks menurutnya sulit, yang bisa dilakukan adalah meminimalisir. 

Ciri-ciri hoaks bisa dilihat dari sumbernya, yakni media-media yang tidak kredibel. Selain memanfaatkan rendahnya literasi, hoaks ini juga memanfaatkan fanatisme.

"Kami bicara asal usul hoaks, kenapa terjadi, dan ini sengaja atau enggak ini yang sehari-hari kami diskusikan. Enggak mungkin bicara hilir kalau hulu-nya tidak tahu," ucapnya.

Bawaslu: Tekan Hoaks Kolaborasi dengan Masyarakat Sipil

Ditemui di lokasi yang sama Kordiv Pengawasan, Humas, Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Kota, Noor Harsya A. mengatakan dalam memberantas hoaks pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Harus ada sinergi dan kolaborasi dengan elemen masyarakat sipil.

Pemuda di sini tidak melulu dari kalangan laki-laki saja, namun perempuan juga memiliki peran dan porsi yang sama dalam upaya menangkal hoaks. Bawaslu menurutnya konsen di dalam melakukan pengawasan partisipatif dengan komunitas warga.

"Dilihat dari datanya, pemilih milenial pemuda 40% dari total pemilih, ini signifikan, kalau sasaran pemuda jadi pendidikan pemilih yang cakap dan turut mengawasi," tegasnya.

Akibat adanya hoaks soal e-KTP yang berdampak pada PSU, menurutnya sempat menimbulkan ketegangan antara pengawas dan penyelenggara. Dia menegaskan ini fakta yang terjadi akibat hoaks. Dampak semacam ini kemudian ditanggapi oleh para pemuda khususnya di Kota Jogja.

"Proses pemungutan suara menjadi problematik, belum tahapan-tahapan yang penuh kebencian," ungkapnya.

Hoaks Juga Menyasar Masyarakat Rentan & Minoritas

Hoaks tidak hanya muncul saat pesta demokrasi digelar, tapi hoaks juga kerap menyasar masyarakat minoritas dan rentan, seperti penganut kepercayaan penghayat hingga waria. Koalisi Lintas Isu (KLI) yang memberikan wadah bagi masyarakat rentan dan minoritas turut fokus dalam masalah hoaks.

KLI beranggotakan beberapa kelompok seperti difabel, waria, penghayat, dan masyarakat terpinggirkan lainnya. Anggota KLI, Halimatus Sakdiyah saat ditemui di kantor Yayasan Institute for Islamic and Social Studies Foundation (LKiS) Jumat malam (8/7/2022) bercerita kerap kali isu dari kelompok minoritas diplintir.

Dengan pendampingan dari LKiS, KLI coba membantu dari masing-masing kelompok rentan ini mendapatkan akses dan keadilan sosial. Termasuk meluruskan informasi yang kerap dipelintir dan menyasar ke kelompok-kelompok rentan ini.

"Tujuan KLI ini jadi satu kekuatan dari setiap kelompok, saling membantu," ucapya.

KLI sendiri baru terbentuk pada Januari 2022. Meski masih baru berdiri, namun semangat dari KLI sangat besar. Mengadvokasi kelompok minoritas untuk mendapatkan hak yang sama dan juga tidak menjadi sasaran hoaks. Setidaknya ada 15 komunitas yang tergabung di KLI dan terus bertambah.

"Hoaks yang sering didapat adalah dari mulut ke mulut, bukan dari media," tuturnya.

Beberapa hoaks, misinformasi, dan disinformasi yang menyasar ke kelompok minoritas kerap membuat mereka mendapatkan stigma dari masyarakat. Contoh masyarakat penganut kepercayaan penghayat kerap dianggap sesat oleh masyarakat.

KLI ini menjadi satu kekuatan karena tidak semua kelompok tahu bagaiaman cara menangkal hoaks. Sehingga jika ditemukan informasi atau pemberitaan yang mengarah ke hoaks KLI akan membantu.

"Penghayat ada yang melintir sesat, tumbuh stigma di masyarakat, kalau enggak dilawan akan termakan. Kalau kami tidak tahu mana yang benar, bisa langsung konfirmasi ke penghayatnya," jelasnya.

Staf Program LKiS, Akhmad Lutfi Aziz mengatakan sosialisasi mengenai hoaks, misinformasi, dan disinformasi juga dilakukan oleh LKiS. Melalui serial podcast democratic resilience dan juga dalam pertemuan Jurnalisme Warga (JW).

Dalam pertemuan ini dilakukan tukar informasi mengenai hoaks apa saja yang dapatkan, lalu tindak lanjutnya saat menerima hoaks. Tak henti-hentinya di dalam setiap diskusi, bahaya hoaks pada kehidupan dan komunitas diingatkan.

"Pertemuan JW rutin setiap bulan dan podcast dilakukan juga sebulan sekali, walaupun podcast tidak selalu soal hoaks," ucapnya.

Setelah dilakukan sosialisasi menurutnya masyarakat jadi lebih peduli dan mau belajar secara mandiri. Melakukan pengecekan fakta setiap mendapatkan informasi yang mengarah ke hoaks.

Menurutnya masalah hoaks ini menjadi sesuatu yang penting LKiS setelah dalam beberapa tahun ini menemani kelompok kepercayaan penghayat. Banyak sekali stigma yang muncul dimana hulunya adalah hoaks.

"Menurut kami bukan tidak mungkin hal yang sama juga terjadi pada kelompok maupun komunitas yang lain. Hoaks juga rentan memecah belah masyarakat kita, bahkan kadang kita bisa melihat dengan jelas polarisasi itu," lanjutnya.

Ditangani Massa Aksi Akibat Hoaks

Masih jelas diingatan Pemimpin Pesantren (Ponpes) Waria Al-Fatah Kotagede, Yogyakarta, Shinta Ratri pada 2016 silam Ponpesnya didatangi massa dari Front Jihad Islam (FJI), mereka memaksa aktivitas di Ponpesnya untuk segera dihentikan.

Sebelum dipaksa tutup oleh FJI, dia mengaku didatangi seorang wartawan dari salah satu media online dan meminta untuk wawancara. Pertanyaan yang diajukan hanya seputar kegiatan di Ponpesnya. Shinta tidak keberatan berbagi cerita terkait hal tersebut.

Namun yang diceritakan sama sekali tidak ditulis, akta yang ada diputarbalikkan. Seperti menyebut seolah-olah di Ponpes waria membuat fikih sendiri. "Bahwa waria bikin Ponpes, alih-alih tidak taubat malah buat fikih sendiri. Padahal ceritanya enggak gitu. Kita kan bukan orang yang capable buat fikih, dikira mau buat fikih sendiri," ujarnya ditemui di Ponpes, Rabu malam (20/7/2022). 

Tidak hanya hoaks, Shinta menyebut ujaran kebencian terkait waria sudah biasa ia dan kawan-kawannya terima. Jika ditanggapi akan semakin membesar, sehingga waria lebih banyak memilih diam saat mendapatkan berbagai stigma dari masyarakat.

Dalam menanggapi berbagai terpaan hoaks dan ujaran kebencian di sosial media, dia menyebut diperlukan cara berpikir yang luas. Tidak sekedar memberikan komentar atas stigma-stigma yang dialamatkan padanya.

"Kami pikirkan juga akibatnya, hoaks ini perlu di counter sehingga tidak mencelakai orang. [mis dan disinformasi] sering banget kami terima. Stigma waria, ujaran kebencian, kami ini akan menjadi korban," keluhnya.

Dalam rangka menekan misinformasi, disinformasi, dan hoaks, Ponpes kerap mengadakan edukasi ke kampus-kampus dan masyarakat. Mencoba memberikan pemahaman terkait waria.

Bahwa waria juga memiliki hak yang sama hak mendapatkan KTP dan hak dasar warga negara lainnya seperti kesehatan. Sebelum punya KTP waria tidak bisa membuat akun bank dan melakukan perjalanan yang disyaratkan memiliki KTP seperti kereta dan pesawat.

Dalam bertransaksi sehari-hari juga mau tidak mau harus menggunakan uang cash karena sebelumnya tidak memiliki KTP. "Tidak hanya ke mahasiswa [pemberian edukasi] tapi juga ke masyarakat. Kami ada kegiatan bakti sosial, kami sampaikan bagaimana kami perkenalkan komunitas waria," tuturnya.

Tidak Hanya di Sosmed dan Media, Hoaks Juga Masif dari Mulut ke Mulut

Hoaks di daerah perkotaan banyak tersebar melalui sosial media (Sosmed) dan pemberitaan. Namun kondisi berbeda terjadi di Desa Hargowilis, Kapanewon Kokap, Kulonprogo. Hoaks justru banyak tersebar melalui media mulut ke mulut.

Desa Hargowilis merupakan salah satu desa yang berada di wilayah perbukitan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di perbukitan membuat sebagian lokasi di desa ini susah sinyal.

KPU DIY menetapkan desa ini sebagai Desa Peduli Pemilu. Terdapat 25 kader dalam satu desa dan bertugas untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait bahaya hoaks, misinformasi dan disinformasi.

Salah satu Kader Peduli Pemilu Desa Hargowilis, Sunarya mengatakan kasus hoaks yang kerap terjadi di wilayahnya adalah saat pemilihan Lurah. Mulai dari hoaks karakter calon dan juga catatan politiknya.

Hoaks semacam ini menurutnya memang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan menjatuhkan lawannya. Karena hoaks ini menyebar dari mulut ke mulut kerap kali dibumbui dengan cerita-cerita tambahan yang semakin memperkeruh.

"Kerap terjadi di lingkup kecil pemilihan Lurah. Masyarakat di sini masih sering ketemu, beda dengan lingkungan perkotaan, di desa komunikasi tatap muka masih intens," ujarnya.

Hoaks yang berasal dari mulut ke mulut lebih sulit untuk diverifikasi kebenarannya. Mengajak masyarakat lebih peduli pada hoaks dan tidak mudah menyebarkan menjadi tugas dari kader.

"Hoaks lewat Sosmed buat kalangan muda rata-rata. Sementara kalangan tua dengar berita seperti ini malah bisa ditambahi," tuturnya.

Dia menuturkan pembentukan Desa Peduli Pemilu ini baru sekitar satu tahun. Menjelang Pemilu 2024, peran kader akan lebih dimasif kan lagi sehingga hoaks di tahun politik bisa ditekan.

Sebanyak 25 kader pilihan ini semuanya anak muda yang aktif di organisasi desa, seperti karang taruna, kelompok tahlil, hingga arisan di desa. Karena belum ada jadwal khusus, setiap ada kesempatan maka sosialisasi akan dilakukan.

Baik saat ada acara tahlil, hingga di pos ronda sekalipun. Pertemuan rutin belum berjalan masif karena sebelumnya terkendala oleh pandemi Covid-19 sehingga banyak aktivitas yang dibatasi.

"Kader rata-rata adalah tokoh masyarakat yang sering ada pertemuan baik di karang taruna, kelompok pengajian, tahlil, hingga gardu ronda kalau ada kesempatan kami sampaikan," ucapnya.

Secara pribadi Sunarya tertarik bergabung menjadi kader karena merasa prihatin sering melihat masyarakat yang menerima dan memakan mentah-mentah sebuah berita. Namun ia kerap berpikir jika hal tersebut bukanlah kewenangannya.

Setelah menjadi kader, dia menjadi punya legitimasi untuk mengajak masyarakat lebih peduli pada pemilu serta mengingatkan untuk saring sebelum sharing. 

"Kadang saya pikir jangan-jangan ini bukan kewenangan saya mengingatkan dan memberikan pengertian," ujar Sunarya yang sehari-hari berprofesi sebagai pengrajin gula.

Kemunculan Hoaks Sifatnya Kasuistik

Hoaks kerap muncul menyesuaikan dengan kasus yang tengah terjadi. Misalnya di masa-masa pandemi, kebanyakan hoaks yang muncul adalah hoaks berkaitan dengan kesehatan. Mulai dari vaksin yang dianggap haram dan lain sebagainya. Sementara saat muncul kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), hoaks yang beredar adalah PMK yang bisa menular ke manusia, padahal kenyataannya tidak. 

Jika tidak hati-hati dan mau mengecek maka akan sangat mudah bagi masyarakat untuk mempercayai hoaks. Kabid Keamanan Informasi dan Persandian Kominfo DIY sekaligus Plh Kabid Informasi dan Komunikasi Publik, Sayuri Egaravanda menyatakan perang pada hoaks harus dilakukan secara sistematis, yakni ada upaya preventif dan responsif.

Upaya responsif dilakukan oleh Kominfo dengan cara melakukan edukasi, di mana edukasi yang dilakukan disesuaikan dengan segmen masyarakatnya. Jika segmennya pelajar maka sosialisasi dilakukan di sekolah-sekolah. Sementara jika segmennya masyarakat umum maka sosialisasi dilakukan dengan membuat konten positif.

"Bagaimana saring sebelum sharing, jadi gerakan-gerakan internet sehat kami lakukan. Kemudian dari sisi pemerintah harus siap, harus siapkan mekanisme-mekanisme fungsi kontrol dari sisi teknologi," ungkapnya.

Misalnya di awal perkembangan kasus Covid-19, semua masih tergagap-gagap soal Covid-19. Tidak ada yang tahu pasti apa itu Covid-19. Kondisi ini membuat potensi hoaks menjadi sangat tinggi. Sehingga dibentuklah wadah bagi masyarakat untuk bertanya melalui website corona.jogjakota.go.id.

BACA JUGA: Baru Dilantik, Sultan Punya Program Kontrak 35.000 Hektare Tanah dengan Petani Jogja

"Fitur yang kami tayangkan tidak hanya jumlah kasus tapi di sana ada cek hoaks. Biar orang saat menerima berita bisa ngecek ini berita benar atau tidak, ini fungsi kontrol pemerintah dari sisi teknologi," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan fungsi teknologi harus hadir karena hoaks memerlukan pengecekan. Kominfo juga menggandeng pemangku kepentingan lain untuk bersama-sama melawan hoaks. Seperti dengan Mafindo dan pegiat digital kreatif untuk memproduksi lebih banyak konten. 

Menurutnya tren hoaks di Jogja mengalami kenaikan, namun dampaknya sudah lebih minimal. Warga Jogja saat ini sudah mau melakukan cek fakta setiap menerima pemberitaan yang mengarah pada hoaks. Kepekaan ini dia sebut terbentuk karena literasi digital yang semakin baik.

Di tahun ini literasi digital Jogja menduduki tingkat pertama, naik dari tahun lalu yang masih ada di posisi kedua. Literasi yang baik menjadikan dampak hoaks lebih bisa ditekan, karena kesadaran masyarakat semakin baik.

Sayuri mengatakan menjelang tahun politik 2023 dan 2024, Kominfo DIY sudah melakukan persiapan untuk menangkal hoaks. Kerjasama dilakukan dengan Bawaslu. Produksi beberapa konten sudah mulai dilakukan untuk menghindari perpecahan dan konflik di musim Pemilu.

"Tahun 2019 belum terlalu intens berkomunikasi dan kolaborasi dengan stakeholder. Sekarang sudah cukup baik dan cukup jalan kontennya, jauh lebih interaktif khususnya bagi pemilih pemula," tuturnya.

Pemilih pemula menurutnya masih rentan terpapar hoaks karena belum punya pilihan dan pandangan politik. Sehingga lebih mudah digiring opininya. Karena usianya yang muda, maka pendekatannya dilakukan dengan membuat konten yang lebih kekinian.

"[Mafindo] biasanya kami libatkan dalam sosialisasi. Secara pengukuran [kerentanan pemilih pemula] kami belum. Kriteria mereka belum ada ketetapan memilih jadi pasar yang cukup besar bagi Parpol," ucapnya.

Hoaks yang dominan di masa Pemilu 2019 menurutnya adalah sosok dari calon Presiden. Di tahun 2024 kecenderungan hoaks saat Pemilu tidak akan jauh beda dengan 2019.

"Pastinya banyak [dampak buruk hoaks] kerugian dari sisi masyarakat, kehilangan dari sisi ekonomi atau terjadi perpecahan yang kami takutkan kan itu. Kemudian juga malah mungkin bisa bahayakan diri," jelasnya. (*)

Liputan ini merupakan  hasil kolaborasi lima media, yakni Jaring, Ambon Ekspres, Harian Jogja, Serambi Indonesia, dan BandungBergerak, yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di bawah Program Democratic Resilience

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Pemerintah Pastikan Tidak Impor Bawang Merah Meski Harga Naik

News
| Kamis, 25 April 2024, 13:57 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement