Bencana Longsor di Jogja Naik Berlipat dalam 5 Tahun, Ini Datanya
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA– Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut frekuensi kejadian tanah longsor di provinsi ini mengalami tren meningkat selama lima tahun terakhir periode 2018-2022.
Tren peningkatan tanah longsor ini perlu menjadi perhatian kita semua, terutama yang berada di kawasan rawan bencana tersebut," kata Kepala Pelaksana BPBD DIY Biwara Yuswantana saat konferensi pers di Jogja, Selasa (7/2/2023).
Advertisement
Berdasarkan data BPBD DIY, bencana tanah longsor di daerah ini tercatat 147 kali kejadian selama 2018, kemudian meningkat menjadi 506 kejadian pada 2019, 475 kejadian pada 2020, 351 kejadian pada 2021, dan melonjak 707 kejadian pada 2022.
Sehingga secara akumulatif, dalam kurun 2018-2022, bencana longsor telah terjadi sebanyak 2.186 kali di DIY dengan jumlah kejadian terbanyak di Kabupaten Kulonprogo yang mencapai 1.068, diikuti Bantul 488, Gunungkidul 389, Sleman 149, dan Kota Jogja 116 kejadian.
Secara umum, menurut Biwara, bencana longsor di DIY disebabkan dua pemicu utama, yakni kondisi tanah yang rawan longsor dan curah hujan.
BPBD DIY masih akan melakukan kajian mendalam terhadap bencana longsor di daerah ini yang mengalami tren peningkatan.
Menurut dia, lokasi yang pernah mengalami longsor kondisi tanahnya biasanya semakin rentan atau lapuk, sehingga daya ikatnya tidak seperti sebelumnya.
"Makannya bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan longsor, kalau ada hujan lebat dalam waktu yang lama kami sarankan untuk menyelamatkan diri atau berpindah dulu ke lokasi yang lebih aman," kata dia.
Biwara mengatakan, zona rawan bencana, termasuk longsor, selama ini telah terpetakan dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DIY Tahun 2019- 2039.
Berdasarkan peta tersebut, ia menyebutkan kawasan yang rawan longsor antara lain di Kecamatan Samigaluh, Kokap, Kalibawang, Girimulyo (Kulon Progo), serta Semin, Patuk, Ponjong (Gunungkidul).
Untuk mengurangi risiko longsor, menurut Biwara, BPBD DIY lebih banyak mengandalkan edukasi bagi masyarakat agar mampu melakukan mitigasi secara mandiri dengan mengenali tanda-tanda sebelum kejadian.
Pasalnya, ia mengakui jika hanya bergantung pada alat sistem peringatan dini atau "early warning system (EWS)" di kawasan rawan longsor jumlahnya terbatas.
BACA JUGA: Waduh...Separuh Lulusan SMA/SMK di Sleman Tak Lanjut Kuliah
Seperti di Kulon Progo, menurut dia, terdapat tiga unit EWS online dan 39 EWS manual yang masing-masing hanya mampu menjangkau radius 100 meter di kawasan itu.
Selain itu, BPBD DIY bersama BPBD kabupaten/kota, kata dia, juga menggencarkan pembentukan desa tangguh bencana (Destana), kalurahan/kelurahan tangguh bencana (Kaltana) dan satuan pendidikan aman bencana (SPAB) di seluruh DIY.
"Hingga 2022 sebanyak 326 Destana dan Kaltana sudah terbentuk, sedangkan untuk SPAB telah terbentuk sebanyak 201 sekolah," kata dia.
Manajer Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD DIY Lilik Andi Aryanto menambahkan terkait pemicu longsor, saat ini BPBD Gunungkidul tengah melakukan kajian bersama Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Kemarin dari Badan Geologi dalam hal ini BPPTKG juga menawarkan ke kami. Mereka siap membantu melakukan kajian," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- KPU Sleman Targetkan Distribusi Logistik Pilkada Selesai dalam 2 Hari
- 20 Bidang Tanah Wakaf dan Masjid Kulonprogo Terdampak Tol Jogja-YIA
- Jelang Pilkada 2024, Dinas Kominfo Gunungkidul Tambah Bandwidth Internet di 144 Kalurahan
- Angka Kemiskinan Sleman Turun Tipis Tahun 2024
- Perluasan RSUD Panembahan Senopati Bantul Tinggal Menunggu Izin Gubernur
Advertisement
Advertisement