Advertisement

Komunitas Kagem Jogja dan Senyala Lentera untuk Masa Depan Anak Jogja

Sirojul Khafid
Sabtu, 11 Februari 2023 - 11:47 WIB
Arief Junianto
Komunitas Kagem Jogja dan Senyala Lentera untuk Masa Depan Anak Jogja Para sukarelawan Kagem Jogja berfoto bersama. - Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA — Alih-alih cuma mengandalkan sekolah, merawat tunas bangsa jadi kewajiban semua warga negara. Melalui Kagem Jogja, sejumlah mahasiswa dari luar Jogja berkomitmen berkontribusi pada tanah yang berjasa menyediakan ruang bagi mereka untuk belajar dan berkuliah.

Di pendopo yang sederhana, komunitas Kagem Jogja membimbing para tunas bangsa menggapai cita-citanya. Penggawa dengan konsisten menyiram dan merawat tunas ini hingga anak-anaknya siap berkembang secara mandiri.

Advertisement

Bagi beberapa orang, pertemuan merupakan awal dari perpisahan. Orang yang bersyukur atas pertemuan, rasanya perlu juga merayakan perpisahan. Meski tak ada ucapan“selamat tinggal”, beberapa perpisahan kadang kala bisa terasa tanda-tandanya.

Ikatan kuat membuat anak-anak di Komunitas Kagem Jogja bisa tahu apabila salah satu penggawanya akan pergi dalam waktu yang lama.

Penggawa, sebutan bagi kakak-kakak pengajar, kebanyakan mahasiswa-mahasiswi kuliah. Sehingga pulang kampung atau pindah kerja menjadi alasan lumrah untuk mereka pergi dari Jogja.

Bergabung dengan Kagem Jogja sejak 2019 membuat Adim Windi Yad’ulah paham, ikatan kuat membuat anak-anak tahu cara yang tepat untuk berpisah.

“Jarang ada penggawa yang mau pamitan [misal mau pergi], tetapi anak-anak punya intuisi yang kuat kalau kakaknya mau pergi. Mereka bikin gambar yang menjadi oleh-oleh untuk penggawa,” kata Ketua Pendidikan Kagem Jogja ini. “Atau tiba-tiba jadi manja, penginnya belajar bareng, main bareng, punya feeling walaupun enggak dikasih tahu bakal pergi.”

BACA JUGA: Yogyakarta Food Truck, Lebih dari Sekadar Komunitas Pedagang

Mungkin ini salah satu perbedaan Kagem Jogja dengan komunitas pendidikan lainnya. Agenda rutin yang selalu berada di Dayakan, Kalurahan Sardonoharjo, Kapanewon Ngaglik, Sleman membuat hubungan penggawa dan anak-anaknya menjadi dekat. Agenda tidak hanya sebulan, dua bulan, yang kemudian meninggalkan tempat itu selamanya.

Kegiatan yang sudah berlangsung sejak 2012 ini tetap konsisten mengambangkan pendidikan dan karakter anak-anak setempat.

Semua berawal dari salah satu pendiri Kagem Jogja yang merupakan guru SMK. Lantaran si suami juga sibuk, pendiri itu kemudian memutuskan keluar dari SMK. Dia fokus berkegiatan di rumah.

Namun, jiwa guru rasanya tetap masih menetap dalam dada. Pendiri Kagem Jogja kemudian resah melihat tingkat pendidikan anak dan orang tua di Sardonoharjo yang tergolong rendah. Betapa tidak, mayoritas orang tua lulusan SD dan SMP.

Banyak juga anak-anak yang belum lancar membaca. Dari kondisi itu, muncullah taman baca Lentera, ruang untuk anak-anak membaca berbagai buku secara cuma-cuma.

Ternyata tanggapan bagus. Taman baca ramai. Sampai salah satu orang tua mengusulkan untuk membuka taman belajar. “Kagem dalam bahasa Jawa artinya untuk. Kegiatannya berupa belajar-mengajar rutin setiap Selasa, Kamis, dan Minggu. Untuk hari Minggu, setidaknya sebulan sekali ada Bimbel Inspirasi,” kata pria berusia 23 tahun yang kuliah di Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia.

Bimbel inspirasi merupakan sharing ilmu di luar pelajaran sekolah. Kegiatannya bisa bermacam-macam, seperti bertani, berkebun, sampai mempelajari hal-hal yang terjadi di luar negeri.

Sukarelawan Kagem Jogja saat menyiapkan rencana kegiatan./Istimewa

Dalam Bimbel Inspirasi, tidak jarang Kagem Jogja berkolaborasi dengan kampus atau pihak lain. Bimbel inspirasi biasanya berlangsung pukul 08.00 sampai 11.00 WIB. Sementara agenda Selasa dan Kamis berlangsung 03.30 sampai 04.30 WIB.

Kebutuhan Anak

Saat ini ada 90-an anak-anak yang belajar di Kagem Jogja, mulai dari yang termuda usia 3 tahun sampai setingkat kelas XII SMA. Sedangkan yang rutin datang di agenda harian sejumlah 35 anak.

Sementara penggawa aktif yang berasal dari berbagai kampus saat ini berjumlah 20-an orang. Mereka berasal dari sejumlah kampus, mulai dari UII, UNY, UGM. UIN, UTY, UNISA, Janabadra, sampai UAD.

Penggawa yang berasal dari berbagai latar belakang dan keilmuan membuat materi pembelajaran bisa beragam. Materi setiap anak dan tiap kali agenda juga berbeda-beda, tergantung permintaan. Kagem Jogja tidak punya kurikulum tertentu. Mereka bertindak layaknya penyedia jasa bimbel pribadi, hanya saja tanpa pungutan biaya, alias gratis.

Biaya sewa tanah tempat pendopo Kagem Jogja berdiri dan operasional lain berasal dari bantuan berbagai pihak.

“Sentuhan kami lebih ke arah anak-anak enggak boleh dilepaskan dunianya dari bermain. Misal dia mau main dulu, ya udah biarin main dulu setengah jam, baru belajar. Atau justru di dalam permainan itu kami sisipin pelajaran,” kata Adim.

Belajar sambil bermain, misalnya dalam pelajaran IPA. Lantaran markas Kagem Jogja berada di pinggir sawah, saat ingin belajar tentang tanaman bisa langsung terjun ke sawah. Selain bisa mengenal berbagai jenis tanaman tertentu, anak-anak juga senang bisa bermain di sawah.

Pergeseran Sukarelawan

Ada perbedaan pemahaman sukarelawan antara sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Akhir-akhir ini, Adim melihat masyarakat lebih senang dengan kegiatan sukarelawan yang ada unsur berlibur dan jelas rentang waktunya.

Misalnya menjadi sukarelawan di Papua selama seminggu atau sebulan. Sukarelawan yang menetap di suatu tempat dan bisa bertahun-tahun kegiatannya dirasa kurang menarik.

Ini sedikit banyak berdampak pada jumlah anggota penggawa Kagem Jogja. Penggawa Kagem Jogja perlu komitmen yang kuat untuk tetap mengabdi di tempat yang sama dalam waktu yang cukup lama. “Agak bingung mencari sukarelawannya,” katanya. “Apalagi kegiatannya bisa lama, militansi sukarelawan sekarang mulai agak luntur.”

Meski itu tidak menurunkan semangat penggawa Kagem Jogja untuk terus mengabdi seperti lentera. Kendati nyalanya kecil, tetapi tetap bisa menerangi orang mendapatkan sesuatu. Ada kepuasan yang tak ternilai membersamai pertumbuhan anak-anak.

“Aku pernah ngajar anak bernama Zaki, waktu aku ajar pertama kali masih kelas II SD, belum bisa baca. Sekarang SD kelas V udah lancar baca, itu kepusaan yang enggak bisa dibayar,” kata Adim.

Hal-hal semacam ini yang mungkin akan Adim kenang selamanya, hingga saatnya dia harus pergi dari Kagem Jogja. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Sheila on 7 Bikin Konser di Medan, Pertumbuhan Sektor Pariwisata di Sumut Ikut Subur

News
| Kamis, 25 April 2024, 13:07 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement