Advertisement

Melihat Estetika Keseharian dalam Kehidupan Pembuat Gerabah

Lugas Subarkah
Sabtu, 11 Februari 2023 - 02:27 WIB
Budi Cahyana
Melihat Estetika Keseharian dalam Kehidupan Pembuat Gerabah Koniherawati mempresentasikan disertasinya dalam Sidang Terbuka Ujian Promosi Doktor, di Gedung Pusat USD, Rabu (8/2/2023). - Istimewa/Humas USD

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Estetika keseharian menawarkan konsep baru dengan melihat hal-hal estetik dari pengalaman keseharian subjek, yang muncul sebagai penolakan pembahasan estitika klasik.

Hal ini yang diteliti Koniherawati, mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya, Kajian Seni dan Masyarakat, Universitas Sanata Dharma (USD) dalam disertasinya.

Advertisement

Koniherawati mempresentasikan disertasinya yang berjudul Estetika Keseharian Masyarakat Pedusunan Pembuat Gerabah di Sambirata, Purbalingga, pada Sidang Terbuka Ujian Promosi Doktor, di Ruang Koendjono, Gedung Pusat USD, Rabu (8/2/2023), dengan promotor Praptomo Baryadi I. dan co-promotor St. Sunardi.

Ia menjelaskan estetika klasik yang dikenalkan oleh Kant berfokus pada masalah keindahan yang menggunakan inderawi untuk mengamati suatu objek seni atau alam. Estetika klasik biasa dikenal dengan estetika barat.

“Dalam estetika keseharian iniada perubahan budaya yang mengubah dari kesadaran individu menjadi ketidaksadaran karena proses terus-menerus dilakukan sehari-hari, bahkan sudah menjadi kebiasaan atau kegiatan rutin yang cenderung terlihat membosankan,” ujarnya.

Estetika keseharian menawarkan kolaborasi antara estetika barat dan timur. Pada budaya kontemporer seni, ada gerakan ‘kehidupan sebagai seni’ yang menggambarkan elemen kehidupan keseharian menjadi seni.

Estetika keseharian diwarnai dengan rutinitas, keakraban, normalitas, kontinuitas dan proses aklimatisasi yang lambat. “Tujuan estetika keseharian bukanlah inventasisasi benda dan kegiatan, melainkan cara pengalaman berdasar pada sikap yang kami ambil,” katanya.

Pandangan baru estetika keseharian ini membawanya meneliti kehidupan keseharian perajin gerabah tradisional yang sudah turun temurun mewarisi keahlian membuat gerabah dan masih tetap bertahan di tengah perkembangan pesat teknologi saat ini.

“Gerabah dibuat dari tanah, merupakan kearifan purba yang dari sana saya melihat adanya kearifan lokal yang dimiliki oleh manusia purba, nenek moyang, dalam menciptakan melalui proses penyesuaian diri manusia terhadap alam sekitarnya,” ungkapnya.

Pembuatan gerabah di Dusun Sambirata, Purbalingga, masih menggunakan teknik yang sama dengan yang digunakan oleh nenek moyang zaman neolithic, dengan sejumlah tahapan meliputi ndudug, nggejrot, muter, jemur, notok, jemur, ngerik, jemur, mbatik, jemur, ngobar, dan diakhiri dengan nyumpit lalu ngusung ke pengepul.

Proses pembuatan gerabah tradisional ini seperti terlihat hanya fisiknya saja yang bergerak. Padahal, di dalamnya terdapat pengolahan rasa yang tercipta dengan baik, yang oleh orang Jawa disebut wiromo atau ritme.

Ritme tersebut akan menciptakan harmoni dalam hubungan antara satu sama lain. “Harmoni hubungan masing-masing bagian seperti cepat dan lambat, dalam dan dangkal, lemah dan keras, halus dan kasar, karena ada bagian laku yang bergantian sehingga bersifat hidup,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Satuan Pendidikan Diwajibkan Memperhatikan Kebutuhan Siswa dengan Kondisi Khusus

News
| Jum'at, 26 April 2024, 10:57 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement