Advertisement
Bupati Digugat soal Penertiban Pedagang, Begini Tanggapan Pemkab Kulonprogo
Advertisement
Harianjogja.com, KULONPROGO — Bagian Hukum, Setda Kulonprogo memberikan tanggapan atas gugatan yang dilayangkan kepada Bupati Kulonprogo terkait dengan tindakan penertiban kios pedagang depan Stasiun Wates pada 12 Agustus 2022 lalu.
Kepala Bagian Hukum Setda Kulonprogo, Muhadi menjelaskan gugatan yang ditujukan kepada Bupati Kulonprogo adalah sengketa tindakan pemerintahan. Sengketa ini dijelaskan Muhadi merupakan pengembangan dari ruang lingkup objek gugatan tata usaha negara.
Advertisement
"Apa yang menjadi pokok sengketa adalah tindakan penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP pada 12 Agustus 2022. Pemda, dalam hal ini Bupati melalui Satpol PP dianggap melakukan tindakan pemerintahan yang salah satunya dianggap melanggar aturan atau melanggar hukum. Itu anggapan dari para penggugat yang dikuasakan kepada LBH Yogyakarta," jelasnya, Rabu (8/3/2023).
Menanggapi gugatan tersebut, Muhadi menyebut bila persoalan menggugat merupakan hak setiap warga negara. Menurutnya sesorang boleh menggugat sepanjang merasa kepentingan hukumnya dirugikan. "Tetapi tentu ada proses, ada pembuktian, ada hak jawab kami, ada hak untuk melakukan klarifikasi," ujarnya.
BACA JUGA: Buntut Pembongkaran Kios Depan Stasiun Wates, Hakim PTUN Cek ke Lokasi
Menurutnya, Pemda melalui Bagian Hukum punya tugas salah satunya mewakili Bupati atau mewakili Pemda ketika ada proses sengketa. Baik itu sengketa perdata maupin tata usaha negara.
"Sehingga kami adalah bagian kuasa Bupati untuk memberikan hak jawab, hak pembuktian termasuk menghadiri persidangan terkait pemeriksaan saksi-saksi, menyampaikan alat bukti, alat bukti tulis, alat bukti saksi dan alat bukti kekeringan ahli kalau memang ada," jelasnya.
Dari sisi prosedur, Muhadi menjelaskan tindakan yang pihaknya lakukan sebagai tindakan pemerintah yang sudah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak melanggar aturan. "Yang digugat adalah pejabat tata usaha negara, bisa Bupati, bisa pejabat di bawahnya. Tetapi kemarin fokusnya kepada Bupati, meskipun tindakan itu dilakukan oleh Satpol PP," terangnya.
Poin di atas juga menjadi bagian yang disanggah atau eksepsi. Yang intinya disebutkan Muhadi kurang objek tergugat.
"Kalau kemudian penggugat menganggap itu adalah mandat, kami justru melihatnya Itu adalah delegasi. Artinya kewenangan melakukan kegiatan pemerintahan yang sudah dilimpahkan kepada perangkat daerah yang ada struktur di tingkat bawahnya, dalam hal ini Satpol PP, itu kan bagian yang sudah diperintahkan pertanian perundang-undangan," jelasnya.
Muhadi mengambil contoh konkret yang tertuang pada Perda No.4/2013 tentang ketertiban umum. Di situ dijelaskan Muhadi bahwa salah satu urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, Bupati, Pemda itu melakukan pembinaan ketenteraman, ketertiban umum dan pelindungan kepada masyarakat.
"Yang dilakukan penertiban itu kan adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang semua orang boleh mengakses, ikut menikmati, ikut menggunakan, termasuk untuk ketersediaan oksigen. Di sana ada tamannya milik Pemda, bukan milik, dalam hak pakai di atas tanah Pakualaman," jelasnya.
Muhadi melanjutkan, artinya penguasaan secara barang milik daerah, aset daerah itu dalam penguasaan pemda. Peruntukannya untuk RTH, yang kemudian didukung oleh trotoar. "Dari semula itu memang ruang terbuka hijau," tegasnya.
"Fungsi trotoar kan satu untuk pejalan kaki, meskipun kemudian ada tambahan-tambahan tanaman hias yang kemudian itu difungsikan ganda sebagai bagian dari ruang terbuka hijaunya pemerintah daerah," ungkapnya.
Kenapa ruang tersebut ditempati PKL, diterangkan Muhadi hal tersebut konteksnya hanya masa transisi ketika kebijakan PT. KAI memang akan melakukan penataan pedagang di dalam Stasiun Wates. Informasi yang diperoleh Muhadi, ada semacam pembelahan oleh PT. KAI untuk berjualan di dalam. Hanya permasalahannya tetap harus diikat dalam perjanjian atau kontrak.
"Ketika belum terjadi titik temu, kemudian memberi toleransi dalam masa transisi supaya kemudian Pemda hadir, ikut menjembatani, memfasilitasi supaya kemudian mendapatkan tempat berjualan yang lain atau akses berdagang yang lain," ujarnya.
Beberapa opsi alternatif lokasi berjualan baru tersebut seperti di pasar rakyat. Seperti di Pasar Wates, Pasar Sentolo maupun Pasar Bendungan. "Tapi kan anggapan pedagang kurang stategis atau kurang ramai gitu aja," lanjutnya.
Muhadi berpandangan masa transisi itu sebenarnya idealnya tidak terlalu lama. Konteksnya transisi, bukan permanen.
Lebih lanjut Muhadi menyebutkan bila peringatan telah diberikan sebelumnya, sebanyak tiga kali sebelum penertiban. Jeda waktu menurut Muhadi juga sudah diberikan secara wajar atau layak.
Perkembangan Kasus
Kasus ini sudah masuk di persidangan akhir tahun lalu. Dijelaskan Muhadi proses kasus ini telah telah memasuki tahap-tahap akhir. Terakhir dilakukan pemeriksaan setempat oleh PTUN.
Juru Bicara PTUN Yogyakarta, Prasetyo Wibowo melakukan pemeriksaan setempat pada Senin (6/3/2023) lalu untuk mencari kebenaran materiil le lokasi penertiban. "Kita turun langsung ke lapangan lihat lokasinya objek yang digugat atau objek sengketa," terangnya.
Dalam pemeriksaan ini, hakim melihat lokasi dari objek sengketa. Dalam hal ini tindakan pembongkaran menjadi objek sengketanya. "Jadi kita lihat ke lokasinya tadi yang lokasi pembongkarannya, di mana ada beberapa kios. Memang ada lima kios yang dibongkar," jelasnya.
"Kami sudah lihat memang ada bekas dari pembongkaran tersebut, yang dari trotoar ada yang menjorok juga ke jalan raya," jelasnya.
Staf Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Era Hareva yang merupakan kuasa hukum pedagang menjelaskan digelarnya sidang Pemeriksaan Setempat ini untuk membuktikan bahwa batas tanah dari PT. KAI itu ada di seberang sana. Bukan tanah tempat para pedagang depan Stasiun Wates berjualan. Sementara tanah yang didirikan warung merupakan tanah milik Kadipaten Pakualaman, berdasarkan bukti sertifikat hak milik yang diterbitkan oleh BPN.
"Kemarin juga sudahnya ajukan sebagi bukti P20 di persidangan. Kemudian kita juga sudah menjelaskan di meja persidangan terkait dengan alasan itu, ternyata yang lebih diakui adalah sertifikat hak milik yang itu dikeluarkan oleh BPN daripada yang PT. KAI," ujarnya.
Dari agenda Pemeriksaan Setempat para pedagang menuntut kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara untuk memberikan putusan yaitu menyatakan bahwa tindakan faktual yang dilakukan oleh tergugat adalah natal atau tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
"Untuk yang digugat Bupati sendiri, karena Satpol PP yang melakukan pembongkaran, Satpol PP mendapatkan mandat dari Bupati. Jadi ketika konsepnya itu adalah mandat, maka yanv digugat adalah pemberi mandatnya, dalam hal ini bupati" tegasnya. (Catur Dwi Janati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Menteri Imigrasi & Pemasyarakatan Sebut Rehabilitasi Narkoba untuk Kurangi Kelebihan Kapasitas Lapas
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Peringati Sumpah Pemuda, Karang Taruna Rejowinangun Gelar Rejowinangun Fest 2024
- Ruang Melamun Bisa Jadi Rekomendasi Toko Buku Lawas di Jogja
- BKAD Kulonprogo Terbitkan SPPT, Nilai Pajak Bandara YIA Tahun 2024 Rp16,38 Miliar
- Grand Zuri Malioboro Corporate Gathering Nobar Home Sweet Loan
- Pilkada 2024: Politik Uang Tak Pengaruhi Preferensi Pemilih di Kota Jogja
Advertisement
Advertisement