Advertisement

Kisah Subandi Giyanto, si Penjaga Napas Seni Lukis Kaca

Sirojul Khafid
Sabtu, 08 April 2023 - 09:07 WIB
Arief Junianto
Kisah Subandi Giyanto, si Penjaga Napas Seni Lukis Kaca Subandi Giyanto menyelesaikan karyanya. - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL—Seni lukis kaca di Jogja kini bisa dibilang nyaris berada di ujung usianya. Subandi Giyanto menjadi satu dari sedikit yang masih merawatnya.

“Seniman lukis kaca tradisional hampir sudah habis. Dalam arti tinggal saya, Pak Lasno sudah meninggal dunia awal Maret 2023, anaknya yang meneruskan enggak begitu intens,” kata Subandi Giyanto, saat ditemui di rumahnya, Bantul, Selasa (4/4/2023).

Advertisement

Dugaan besar semakin sedikitnya seniman lukis kaca lantaran jenis seni yang terkucilkan. Kolektornya tidak ada, yang belajar tidak ada, termasuk perhatian pemerintah juga tidak ada. Sampai meninggal dunia, Lasno masih tinggal dengan mengontrak rumah.

Subandi lebih beruntung. Di samping menjadi seniman, dia juga seorang pegawai negeri sipil (PNS).

Tekad untuk sekolah dan memiliki pekerjaan tetap memang sudah Subandi perjuangkan sejak kecil. Dia melihat hidup ayahnya sebagai penatah dan penyungging wayang cukup susah. Jangankan bermewahan, untuk makan saja kadang-kadang sulit.

Melihat anak pamannya yang juga penatah dan penyungging wayang sekolah dan bisa menjadi guru, Subandi termotivasi. Memasuki usia sekolah menengah pertama, ayahnya sempat melarang untuk melanjutkan.

Namun, Subandi tetap ngotot mendaftar sekolah. Masuk sebagai calon murid cadangan, ibunya harus menjual piring agar bisa membayar sekolah. Kesulitan ekonomi ini dia rasakan juga saat menjalani pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (sekarang Sekolah Menengah Seni Rupa/SMSR) sampai Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).

BACA JUGA: Dari Tumpukan Sampah, Pria Ini Memberi Makna dan Kehidupan pada Wayang

Di luar jam sekolah, Subandi membantu ayahnya menatah wayang, sembari berangkat sekolah, dia menjual wayangnya. “Pada 1979, lulus dari SMSR, mau masuk ke IKIP, Hardiyono, kakak angkatan di Sanggar Bambu minta saya ngajarin anaknya lukis kaca,” kata Subandi.

Awalnya Subandi tidak bisa lukis kaca. Namun Hardiyono meyakinkan, apabila bisa bikin wayang, maka bisa juga melukis kaca. Sembari menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa di IKIP, Subandi mengiyakan tawaran itu.

Dia mencoba melukis kaca menggunakan teknik melukis wayang. Dengan melukis di bagian belakang kaca, Subandi mulai dari warna muda ke tua. Namun, saat kaca dibalik, untuk melihat hasilnya, ternyata hanya warna putih yang terlihat. Setalah banyak berpikir dan mencoba dengan warna tua ke muda, barulah lukisan itu terlihat benar.

Inilah pertemuan pertama Subandi dengan seni lukis kaca. Dia lakukan secara autodidak, mengajar sekaligus belajar.

Seni yang ternyata dia bawa cukup jauh. Bahkan pameran tunggal pertama Subandi juga terkait lukis kaca. Meski Subandi juga bisa melukis di medium lain seperti cermin, kanvas, sampai tembaga.

Lulus kuliah, Subandi menjadi guru dan juga tetap dengan kegiatannya melukis. Keduanya berjalan beriringan. Saat pensiun menjadi guru, Subandi mendapat penghargaan Anugerah Prestasi dari Gubernur DIY pada 2017.

Sementara di bidang seni, salah satu penghargaannya Anugerah Seni Kebudayaan dari Gubernur DIY pada 2018. “Tiga karya saya juga dikoleksi di Galeri Nasional,” kata Subandi.

Subandi sangat mensyukuri segala usaha serta pencapaian ini. Pasalnya tidak banyak seniman yang bisa hidup dengan layak. Dari lebih 7.000 seniman yang ada di DIY misalnya, mungkin yang hidupnya baik sekitar 20 orang saja.

Subandi Giyanto menunjukkan karya lukis kaca miliknya./Harian Jogja-Sirojul Khafid

Apabila pemerintah tidak ikut andil, entah menggunakan Dana Keistimewaan (Danais) atau lainnya, maka tidak menutup kemungkinan seniman akan semakin sedikit.

Contoh ini sudah ada di Gendeng, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, tempat tinggal Subandi. Sekitar 1990-an, sempat ada pertemuan perajin wayang yang jumlahnya bisa 300 lebih seniman. Saat ini hanya tinggal 31 orang, dengan hanya satu orang yang memiliki pegawai. Mayoritas hanya mengerjakan wayang apabila ada pesanan.

Pentingnya Pendidikan

Melihat kondisi ini, Subandi berusaha melakukan yang dia bisa, termasuk dengan mengajari anak-anak di sekitar rumahnya. Sebelum pandemi, ada sekitar 11 anak yang belajar entah membuat wayang atau seni lukis kaca. Bahkan setiap kali belajar, Subandi akan memberikan uang saku pada anak-anak sebagai motivasi dan penghargaan.

Tidak hanya mengajari seni, Subandi juga menyarankan anak-anak didiknya untuk tetap sekolah, syukur-syukur sampai kuliah. “Ketika ada anak yang pintar saya senang, pengrajin pinter saya senang. Ketika jadi perajin [yang pintar], dia tidak akan pernah kehilangan cara untuk memecahkan problem hidup dia, dalam apa saja, inovasi karya, mengembangkan pasar, kalau enggak sekolah [akan susah],” kata laki-laki berusia 65 tahun ini.

Namun akan berat apabila hanya dia yang berjuang sendiri. Dukungan dari pemerintah berupa beasiswa untuk anak-anak bisa menjadi solusi. Usulan beasiswa untuk anak-anak sudah dia sampaikan pada kepala dinas maupun Bupati Bantul. Namun biasanya kendala dalam administrasi laporan apabila programnya berupa beasiswa.

Tidak hanya beasiswa, Subandi juga menganggap perlu ada semacam lembaga mirip bulog yang bisa menampung karya-karya seniman. Sehingga seniman tidak hanya berkarya apabila ada pesanan, tetap setiap hari.

Usaha menghidupi seni ini, meski dia sudah menjadi PNS, merupakan pesan ayahnya setelah lulus kuliah. Meski menjadi seniman itu susah, kata ayah Subandi, namun dunia ini yang bisa memberi makan, pakaian, sampai biaya sekolah.

“Kalau kamu bisa jadi pegawai, tolong ilmu senimu simpan di lipatan sarungmu (dijaga keahliannya). Kalau kamu tidak bisa jadi pegawai, wayang itu bisa buat kamu hidup. Jadi wayang jangan kamu lupakan, semua kehidupanmu dari wayang,” kata Subandi, menirukan pesan ayahnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Patahan Pemicu Gempa Membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, BRIN: Di Dekat Kota-Kota Besar

News
| Kamis, 28 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement