Advertisement

Kumandang Berita Kehilangan yang Berani Milik Melbi

Triyo Handoko
Selasa, 18 Juli 2023 - 07:07 WIB
Budi Cahyana
Kumandang Berita Kehilangan yang Berani Milik Melbi Penampilan Melbi di JNM Bloc yang membawakan sebagian lagu album baru yang sedang dikerjakan, Sabtu (15/7/2023). - Istimewa/Dok. Artjog

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Majelis Lidah Berduri (Melbi) membawa kabar gembira dengan rencana album barunya yang sebagian ditampilkan dalam Performa Artjog di JNM Block. Album baru itu bertajuk Hujan Orang Mati

“Kalau tak takut mati, bagaimana berani hidup. Kami takut mati, sehingga berani untuk terus hidup,” kata Ugoran Prasad dengan berani dan sedikit ganjil. Ucapan sang vokalis Melbi itu langsung disambar orang lain di samping panggung, “Fuck machoism! Fuck patriarki,” sambar yang lain dari bawah pohon beringin Jogja National Museum (JNM) Bloc, Sabtu (15/7/2023) malam.

Advertisement

Malam itu Melbi tampil dengan ganjil. Keganjilan itu mencolok mata. Kostum band yang lebih suka disebut kolektif seniman ini berbeda drastis. Semua personel Melbi menggunakan pakaian dengan dasar warna putih, sesuatu yang belum pernah ditampilkan sebelumnya.

Jas hitam, jin hitam, dan kaus hitam yang bisanya Ugo pakai dan menjadi ciri khasnya tak ada. Tinggal jam tangan warna merah yang masih dikenakannya seperti penampilan-penampilan sebelumnya. “Memang konsepnya seperti itu,” katanya sambil tertawa seusai pentas berakhir.

Meskipun kematian bertema hitam gelap, Melbi memilih putih cerah untuk mengumandangkan berita kehilangan yang jadi tema album barunya. Tajuk album keempat itu adalah Hujan Orang Mati. “Akan berbeda dengan album-album sebelumnya, terutama Balada Joni dan Susi dan NKKBS Bagian Pertama, konsepnya tidak runtutan cerita seperti itu,” jelas Ugo.

Kematian orang-orang terdekat Melbi jadi bahan dalam produksi album Hujan Orang Mati. “Kehilangan pada mereka yang sudah berpulang mendahului kami sangat membekas, pengaruh mereka sangat besar bagi kami,” ujar Ugo.

Tiga orang yang sudah berpulang dan meninggalkan Melbi yang namanya disebutkan saat pentas itu adalah Djaduk Ferianto, Gunawan Maryanto, dan Anton Widiatmoko. “Tanpa Mas Djaduk kami tak akan pernah rekaman, beliau yang mendorong dan memfasilitasi kami untuk rekaman. Gunawan Maryanto bersama saya memulai karier, kami banyak berdiskusi dan belajar bersama, puisi-puisi Cindhil [panggilan Gunawan Maryanto] banyak kami sadur juga. Anton Widiatmoko adalah drumer kami, penampilan kami selalu bersamanya, setelah ia berpulang perubahan drastis kami rasakan,” kata Ugo.

BACA JUGA: Kisah Keluarga Sumiran Penghuni Kampung Mati di Kulonprogo, Jalan 2 Km ke Rumah Tetangga

Duka terhadap mereka yang meninggal dunia dengan lara pandemi Covid-19 itu direspons Melbi dengan caranya sendiri. “Duka ini sangat personal, setiap orang punya respons dan cara masing-masing untuk mengatasinya. Kami ingin meresponsnya dengan lebih berani pada album ini,” ujarnya Ugo.

Keberanian dalam menghadapi duka tersebut disampikan dengan arasemen ulang lagu-lagu Melbi jadi lebih ceria. Keceriaan arasemen lagu-lagu tersebut terasa dengan dominannya piano saat membuka tiap lagu. Total ada 14 lagu yang ditampilkan malam itu, empat lagu untuk album baru turut ditampilan.

Adapun 10 lagu lama dalam album Re-Anamnesis, Balada Joni dan Susi, dan NKKBS Bagian Pertama disulap dengan nuansa gembira. Dibuka dengan Departemental Deities yang dalam versi albumnya bernuansa gelap bergaya gotik dengan tiupan saksofon, tapi dalam pentas malam itu saksofon diganti piano. Keberanian mestinya dilakukan dengan kegembiraan, seperti arasemen ulang lagu-lagu Melbi malam itu. Konsep penampilan yang pas untuk menyambut album baru yang barangkali bernuansa lebih gembira dari lagu-lagu Melbi di album-album sebelumnya.

Melbi membawakan 14 lagu malam itu tak sendirian. Mereka ditemani grup musik eksperimental Raja Kirik; penyanyi yang kental dengan ciri seriosa, Frau; dan Garasi Performance Institute, untuk memeriahkan panggung. Kolaborasi tersebut saling mengisi satu sama lain.

Raja Kirik mengisi ruang gelap yang ditinggalkan Melbi dengan arasmen yang ceria. Nuansa gelap yang dihadirkan grup musik eksperimental yang telah menjelajahi panggung Eropa ini terlihat dari penggunaan alat musik buatan mereka sendiri. Suara pipa paralon yang disusun sedemikian rupa agar menghasilkan suara yang dalam dan gelap membuat penonton tak kehilangan nuansa gotik yang dimiliki Melbi.

Frau dengan dentingan pianonya yang selalu membuka tiap pembabakan cerita dalam penampilan tersebut membawakan versi lain Trauma Irama, Bioskop Pisau Lipat, dan Peta Langit, Larung. “Lagu-lagu itu memang akan lebih pantas dinyanyikan Lani [Frau],” kata Ugo.

Tak kalah ciamik ruang-ruang kosong dalam panggung juga mampu dimanfaatkan Garasi Performance Institute dengan menghadirkan pengalaman ketubuhan yang sejalan dengan penampilan Melbi. Teletabis berwarna merah dengan rambut gaya mohawk yang membuka pentas hingga sepasang laki-laki dan perempuan yang bisa diterka mereka mewakili Joni dan Susi menghidupkan visualisasi penonton.

BACA JUGA: Pemburu Harta Karun Kali Oya Gunungkidul: Temukan Keris Emas, Jadi Buruh Bangunan Saat Hujan

Album Hujan Orang Mati, jelas Ugo, akan berbeda dengan album-album Melbi sebelumnya. Album Melbi sebelumnya berangkat dari konsep yang sudah matang lalu dilempar ke publik untuk mendapat tanggapan. “Sekarang, kami lempar dulu ke publik. Kami menerima tanggapan lalu memaksimalkan konsepnya,” katanya.

Proses album baru yang berbeda ini, lanjut Ugo, juga akan membawa perubahan bahasa ucap temanya. “Tidak runtut bercerita seperti album-album sebelumnya, kalau riset tetap dilakukan. Nanti ada saduran puisi Cindhil, Chairil Anwar, dan lainnya,” ujarnya.

Sebelumnya, album Balada Joni dan Susi sukses membawa Melbi menemui banyak pendengarnya. Mereka mengangkat diskursus sosial-politik bangsa ini lewat karakter Joni, 21 tahun, dan Susi, 19 tahun. Keduanya dibuai cinta sambil mengkritik banyak hal, misalnya dalam tembang Akhirnya Masup Tipi, “Di jalan tertulis jejak luka. Pemerintah tak bisa membacanya. Oh, Susi ajarkanlah pada mereka. Bagaimana caranya mengeja.”

Sedangkan NKKBS Bagian Pertama fokus mengangkat Orde Baru, khususnya nilai-nilai generasinya yang tertuang dalam pedoman norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS). Melbi membongkar norma Orde Baru tersebut dengan tajam, salah satu liriknya dalam lagu Dapur, Nkk/Bkk, “Utang berubah bisik-bisik. Tetangga berubah Polisi, berubah Imam, berubah kota. Kota sudah dikepung tentara.”

Album-album Melbi selalu berangkat dari ruang masing-masing personelnya. Meskipun dari ruang personal, cerita dari album tersebut memantulkan pengalaman kolektif. Ambilah saja lagu Cahaya, Harga yang menceritakan generasi yang lahir bersama krisis ekonomi 1998, khususnya mereka yang tumbuh dari kalangan kelas ekonomi menengah-bawah. Begini liriknya yang mewakili generasi tersebut: Sebelum cahaya. Berubah bencana. Ia hanya api kecil di sudut ruang keluarga. Di sudut ruang keluarga. Ia hanya, ia cuma. Debar jinak udara.

Lantas pengalaman personal Melbi dari duka kehilangan orang-orang terdekat mereka yang akan terpantul pesannya sehingga mewakili pengalaman kolektif kita bersama. Tampaknya patut ditunggu bersama. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Manajer dan Pengawas SPBU Terlibat Oplos BBM Pertamax, Begini Respons Pertamina Patra Niaga

News
| Kamis, 01 Mei 2025, 11:27 WIB

Advertisement

alt

Asyiknya Interaksi Langsung dengan Hewan di Kampung Satwa Kedung Banteng

Wisata
| Minggu, 27 April 2025, 20:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement