Kisah Keluarga Sumiran Penghuni Kampung Mati di Kulonprogo, Jalan 2 Km ke Rumah Tetangga
Advertisement
Harianjogja.com, KULONPROGO—Kampung Suci, Padukuhan Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Pengasih, Kulonprogo dijuluki Kampung Mati. Hanya ada satu keluarga yang mendiami lokasi tersebut.
Sumiran tidak pernah berpikir tetangganya akan pergi satu per satu dari Kampung Suci, Padukuhan Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Pengasih, Kulonprogo. Kini, dia bersama keluarganya hidup di sebuah rumah seluas 35 meter persegi, jauh dari kehidupan modern. Rumah tetangganya yang lama kosong, hanya meninggalkan fondasi dan tumbuhan liar di sana-sini.
Advertisement
Lantai rumah Sumiran masih berupa tanah padat dengan batuan yang mencuat di beberapa bagian. Tidak jauh berbeda dengan warga yang tinggal wilayah perbukitan lain, Sumiran juga kesulitan air bersih apabila memasuki musim kemarau. Sumber mata air yang berada di belakang rumahnya akan menipis dan kadang mengering.
Hampir semua bagian rumah Sumiran dibangun menggunakan kayu. Fondasinya hanya bebatuan sungai yang disusun membentuk bujur sangkar. Tidak tampak semen sama sekali. Rumah yang sering bocor tersebut dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menjadi ruang tamu dan bagian kedua menjadi dapur sekaligus kamar tidur.
Satu-satunya tempat tidur dipakai Sumiran, istri, dan satu anaknya yang masih kecil. Mereka tidur bersebelahan dengan tungku yang sehari-hari digunakan memasak. Tidak ada gas maupun kompor; yang ada hanya jelaga yang telah menggumpal di gedek yang menutup dapur.
Kehidupan Sumiran menjadi lebih pelik, karena rumahnya dibangun tanpa toilet. Dengan begitu, apabila keluarganya ingin mandi dan buang air, Sungai Wadang yang berada di bawah rumahnya menjadi tempat tujuan.
Listrik yang mengalir di rumah terpencil itu berasal dari Padukuhan Sonyo, Kalurahan Jatimulyo, Girimulyo. Kabel penghantar listrik merentang sejauh 3,5 kilometer. Apabila listrik terputus, rumah Sumiran akan sangat gelap. Listrik tersebut juga hanya digunakan untuk menghidupkan lampu dan mengisi baterai ponsel. Tidak ada televisi maupun radio, kendati terdapat speaker usang di rumahnya.
Lahir lima puluh tahun lalu, Sumiran mengaku tidak pernah pindah dan menetap di tempat lain. Dia merasa nyaman tinggal di rumahnya yang sekarang, meski terdapat rongga di banyak bagian yang kerap membuat air hujan masuk.
“Saya dari dulu memang tidak pernah pindah. Belum ada rencana pindah juga. Sampai sekarang saya masih kerasan tinggal di sini. Dari lahir juga sudah di sini,” kata Sumiran di rumahnya, Selasa (13/6/2023).
Sekitar tiga setengah tahun lalu, kata dia, masih ada penduduk lain di Kampung Suci. Rumah orang tua Sumiran pun berada di sampingnya sekitar tujuh meter. Sebelum memutuskan pindah, ayah Sumiran membuat sebuah rumah di atas tanah bebatuan yang sekarang ditempati Sumiran.
BACA JUGA: Kegelisahan Pemain Boneka Magis Nini Thowong dari Bantul
Akses menuju Kampung Suci memang sulit. Ini menjadi salah satu alasan tetangga Sumiran pindah satu per satu.
Untuk menuju Padukuhan Watu Belah saja, seseorang harus menempuh jalan bebatuan dan berpasir, meskipun terdapat beberapa ruas jalan cor blok. Sementara, untuk menuju rumah Sumiran, tidak ada kendaraan apa pun yang dapat masuk. Jalan hanya berupa jalur setapak selebar 60 sentimeter dan penuh batu yang merentang sekitar dua kilometer.
Dengan begitu, setiap hari dia menempuh jarak empat kilometer apabila pulang pergi dari rumahnya menuju rumah warga paling dekat. Kondisi tersebut membuat otot di kakinya menonjol. Badannya pun tampak kekar karena Sumiran juga sering membawa kayu dan menggotong mebel.
“Saya bisa membuat mebel seperti meja atau lemari. Membuat rumah juga bisa dari nol sampai jadi. Kalau mebel sudah jadi, saya antar dengan digotong bersama teman,” katanya.
Dari pembuatan mebel tersebut Sumiran memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia hanya menerima permintaan dari orang lain. Kayu gelondongan yang dia sunggi bersama salah satu temannya pun bukan milik dia.
Penghasilan dari membuat mebel tersebut, katanya, tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sisanya, Sumiran hanya mengandalkan beberapa tanaman yang berada di sekelilingnya seperti daun singkong.
Sumiran yang menikahi Sugiyati 25 tahun lalu punya dua anak. Anak pertama bernama Agus, 23, kini sudah bekerja sebagai pembuat sosis. Anak kedua bernama Septi masih duduk di kelas III sekolah dasar, berumur 10 tahun.
Septi juga harus menempuh jarak empat kilometer pulang pergi berjalan kaki. Setelah sampai di ujung jalan, Septi akan diantar Sumiran menggunakan motornya yang kerap rusak menuju SD Negeri Kutogiri.
“Saya dulu beli motor dengan berutang. Sekarang lebih sering rusak. Kalau rusak ya terpaksa diperbaiki dengan berutang dan Septi saya titipkan ke tetangga buat ke sekolah. Makan pun juga berutang kalau memang benar tidak punya,” ucapnya.
Dengan makanan seadanya, Sumiran tidak dapat memenuhi syarat hidup sehat dengan makan makanan bergizi seimbang. Ini yang mungkin membuat Sugiyati dan Septi sering jatuh sakit. “Istri dan anak saya sekarang baru sakit. Septi hari ini tidak masuk sekolah dan istri saya kemarin baru selesai disuntik,” ujarnya.
Sugiyati bahkan sempat tidak sadarkan diri. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit dengan digendong Sumiran sebelum diboncengkan dengan motor. Badan Sugiyati berbeda jauh dari Sumiran. Sugiyati memiliki tinggi sekitar 135 sentimeter dan kurus.
Kendati demikian, Sugiyati terus bekerja keras dan mencoba tangguh. Ia yang mengaku kerap pusing sering membantu Sumiran membawa air dengan jeriken dari Sungai Wadang dan sumber mata air lain. Tidak tanggung-tanggung, Sugiyati menggendong jerikan 20 liter di punggungnya.
“Saya sering dimarahi Bapak [Sumiran], karena sering membawa air meskipun badan saya mudah lelah. Kemarin saja saya jatuh miring ketika membawa. Tapi ya gimana lagi, daripada bolak-balik. Sering nggliyer [pusing] dan masuk angin saya itu,” ujarnya.
BACA JUGA: Jalan Panjang Pernikahan Penghayat Kepercayaan
Seperti Sumiran, Sugiyati juga lulusan sekolah dasar. Ia memiliki harapan tinggi terhadap Septi yang mengaku ingin menjadi seorang guru menggambar. Sugiyati terus membantu Septi untuk meningkatkan keterampilan melukisnya.
Dewi Septiani jarang bermain dengan teman sebayanya. Jarak yang cukup jauh dan jalan yang sulit membuat dia lebih sering bermain dengan anak anjing dan ayam yang dia pelihara. Selasa, 13 Juni 2023, sekitar pukul 16.00 WIB, dia memberi makan anjing dan ayamnya. Anak anjing berbulu cokelat setinggi 15 sentimeter dipakaikan kaca mata. “Kalau besar nanti saya mau jadi guru lukis. Soalnya suka menggambar,” kata Septi.
Keluarga Sumiran mendapat bantuan dari pemerintah, tetapi tak cukup untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Lurah Sidomulyo, Suprijanto, mengatakan wilayahnya menjadi salah satu lokus pengentasan kemiskinan bersama sembilan kalurahan lain di Kulonprogo.
“Bantuan telah diberikan pemerintah kalurahan tetapi bukan hanya untuk Pak Sumiran. Soalnya, Sidomulyo ini menjadi wilayah pengentasan kemiskinan. Masih banyak warga kami yang masih perlu dibantu oleh kalurahan,” kata Suprijanto saat dihubungi melalui ponsel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Program WASH Permudah Akses Air Warga Giricahyo
- Jadwal SIM Keliling Gunungkidul Jumat 22 November 2024
- Jadwal SIM Keliling Ditlantas Polda DIY Hari Jumat 22 November 2024: Di Kantor Kelurahan Godean
- Jadwal Terbaru Kereta Bandara YIA dari Stasiun Tugu Jumat 22 November 2024, Harga Tiket Rp20 Ribu
- Jadwal dan Tarif Tiket Bus Damri Titik Nol Malioboro Jogja ke Pantai Baron Gunungkidul Jumat 22 November 2024
Advertisement
Advertisement