Jalan Panjang Pernikahan Penghayat Kepercayaan
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Setelah kepercayaan penghayat bisa masuk ke kolom agama di KTP, pernikahan dengan adat penghayat memungkinkan untuk digelar. Penghayat kepercayaan tidak perlu lagi menggunakan adat agama resmi untuk bisa menikah dan tercatat oleh negara. Namun apakah jalannya semudah itu? Berikut laporan tentang pernikahan penghayat di Sleman oleh wartawan Harian Jogja Sirojul Khafid.
Kain putih terhampar di depan belasan orang. Di bangunan kayu yang diberi nama sanggar, semua yang datang duduk bersila di depan kain itu. Mayoritas kain berukuran satu meter persegi. Diletakkan dengan posisi seperti bentuk layangan, ujung lancipnya berada di depan.
Advertisement
Hanya ada satu kain putih yang ukuran dan bentuknya berbeda. Kain itu milik Baskoro Waskitho Husodo dan Sekar Dwi Yulianti. Mereka duduk bersama di atas kain putih berukuran 1x2 meter.
BACA JUGA: Digelar di Candi Prambanan, Pesta Paduan Suara Gerejawi Jadi Simbol Kerukunan Umat Beragama
Keduanya juga mengenakan baju khas adat Jawa berwarna putih. Di belakang tempat duduk Baskoro dan Sekar, ada kedua orang tua mereka. Di baris belakangnya lagi: para penghayat Kerokhanian Sapta Darma (KSD). Sementara di hadapan Baskoro dan Sekar, Pemuka Penghayat KSD duduk dengan pandangan fokus ke depan.
Tidak lama setelah semua berkumpul, Baskoro, Sekar, dan orang-orang di belakang mereka sujud empat kali. Hening. Tidak ada yang menoleh apalagi bicara. Kebanyakan dari mereka memejamkan mata. Barulah setelah empat sujud terlaksana, juru dhaup (juru nikah dalam Bahasa Jawa) mulai berbicara.
“Dengan jujur dan suci hati, mulai hari ini, kami sebagai suami-istri dan sanggup melaksanakan ajaran Kerohanian Sapta Darma,” kata Bambang Purnomo, Pemuka Penghayat yang juga bertindak sebagai juru dhaup meminta dua orang di depannya untuk menirukan ucapannya.
Sekar bersusah payah menahan harunya, agar tidak berubah menjadi tangis. Dia tidak pernah menyangka hari itu akan tiba, saat dia bisa menikah dengan adat KSD, sesuatu yang bahkan tidak pernah terpikir sejak memantapkan hati menjadi anggota KSD beberapa tahun lalu.
Ribuan hari sebelum Sekar bisa berikrar setia dengan Baskoro, jangankan memikirkan pernikahan dengan adat KSD, dahulu dia masih harus menyembunyikan identitas kepercayaannya.
Sujud Pertama
Sekar kecil mungkin tampak seperti anak-anak pada umumnya. Dia bermain, sekolah, dan berteman di lingkungan rumahnya. Saat di sekolah, Sekar memakai jilbab, identitas yang merujuk pada agama Islam.
Tapi semua yang tampak dari luar belum tentu sama dengan yang ada di dalam. Sekar memang memakai jilbab, tapi itu sebagai tuntutan lingkungan sekolah. Institusi itu mengharuskan anak memeluk salah satu dari enam agama resmi di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Konghucu, dan Buddha. Itu tahun 2008, saat Sekar masih berumur sekitar lima tahun.
Meski kadang menjalankan ibadah Islam, Sekar juga menjalankan sujud tiga kali sebagai implementasi ibadah KSD. Dari sejak buyutnya, keluarga besar Sekar memang penghayat KSD. Meski dalam perjalanannya, keluarga yang masih menjadi penghayat KSD hanya keluarga Sekar, satu keluarga tante, dan buyutnya. Sisanya memilih berpindah ke agama resmi negara.
“Di Cirebon, masyarakatnya belum begitu familiar dengan penghayat kepercayaan. Kami di sana juga ada sanggar [tempat ibadah untuk KSD] aja pernah diomongin masyarakat sekitar. Dibilang aliran sesat, nyembah dukun, dan lainnya,” kata Sekar saat ditemui di sela-sela acara perkumpulan KSD di Terban, Gondokusuman, Jogja, Minggu (12/6/2022). “Waktu itu aku masih takut banget [menjadi penganut penghayat kepercayaan].”
BACA JUGA: Jogja Masuk 10 Terbaik Indeks Kerukunan Beragama, Ini Kata Tokoh Lintas Agama
Ketakutan ini yang membuat Sekar masih menjalankan dua jenis ibadah. Terlebih saat di sekolah, dia berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sekar juga tetap ikut acara seperti Maulid Nabi Muhammad atau ujian berbasis agama di sekolah.
Namun sejak duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK), dia sudah memantapkan hati menjadi penganut penghayat kepercayaan KSD. “Sejak lulus SMK tahun 2019, aku langsung pindah ke Jogja. Bekerja setahun sebelum kuliah di Universitas PGRI Yogyakarta,” kata Sekar.
“Waktu di Jogja, semua orang biasa aja sama penganut penghayat kepercayaan, kerasa toleransi banget.”
Saat mulai tinggal di Jogja inilah, perempuan kelahiran 2001 ini semakin percaya diri menjalankan ibadah KSD. Dia juga bergabung dengan organisasi kepemudaan dalam naungan KSD. Di situ Sekar pertama kali bertemu dengan Baskoro, orang yang kini menjadi suaminya.
Sebagai penganut penghayat, Baskoro lebih beruntung. Ia tumbuh dalam lingkungan tempat tinggal yang lebih akrab dengan kepercayaan selain enam agama yang diakui negara. Bagi Baskoro, semua kepercayaan sama saja, selama berperilaku baik dengan sesama manusia dan lingkungan, maka tidak akan diganggu.
Meski penganut penghayat kepercayaan, Baskoro bisa menjadi ketua pemuda kampung. Bahkan ibunya beberapa kali menjadi ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga. Sejak kakek nenek Baskoro hidup, keluarga mereka memang cukup dipandang baik dan menjadi panutan. Status ningrat kakek dan neneknya juga membuat masyarakat sekitar sudah tahu keberadaan dan rekam jejak keluarga Baskoro.
Kehidupan Baskoro di lingkungan rumah dengan di sekolah cukup berbeda. Tidak jauh berbeda dengan Sekar, Baskoro versi murid sekolah juga menjalankan ibadah agama resmi negara. Meski menjalani selain ibadah KSD, dia merupakan penganut yang serius. Dia beberapa kali mengikuti lomba mewakili agama tersebut.
“Semenjak SMK itu ditanya sama ibu, ibu enggak maksa. Ditanya ibu mau pilih Sapta Darma atau agama. Saya pilih ikut ibu. Saya melihat perilaku orang tua saya juga baik,” kata Baskoro saat ditemui di rumahnya, Trimulyo, Sleman, Rabu (1/6/2022). “Dulu menjalani dua ibadah, Sapta Darma dan agama dengan cukup serius, enggak setengah-setengah. Tapi saat saya memilih sesuatu, melihat perbandingannya, saya merasa lebih baik Sapta Darma, jadi ini saja.”
Sujud Kedua
Saat mempelai, keluarga, dan warga sudah berkumpul, prosesi pernikahan dimulai dengan sujud bersama. Dalam ibadah sehari-sehari penghayat kepercayaan KSD, sujud sebanyak tiga bungkukan. Dalam pernikahan ada satu sujud tambahan. Sujud tambahan dilakukan apabila ada hajat-hajat tertentu, tidak hanya dalam pernikahan.
Sujud pertama merupakan konektivitas hamba dengan Tuhannya. Sujud kedua merupakan pengakuan atas segala kesalahan dan permohonan ampun. Sujud ketiga merupakan bentuk dari taubat, setelah mengakui kesalahan. Sementara sujud keempat merupakan bentuk kesetiaan, terutama dalam konteks pernikahan.
Meski ibadah sujud dimulai secara bersama, belum tentu selesainya bersama-sama juga. Setiap orang berbeda-beda secara waktu. Ini tergantung kekhusuan setiap individu. “Yang penting coba buat ngelamain sujud, minimal 15 menit, yang penting lama. Dari durasi sujud yang lama itu, lama-lama bisa merasakan. Semakin cepat sujud, semakin enggak jadi,” kata Baskoro. “Perasaan ini tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, ini terkait hubungan dengan Tuhan."
Sujud dalam KSD, termasuk dalam pernikahan, memiliki ruang yang penting. Apabila dalam suatu pernikahan salah satu mempelai berasal dari kepercayaan lain, dia harus dituntun untuk sujud terlebih dahulu. Penuntunan sujud ini setidaknya 15 hari sebelum melangsungkan adat pernikahan. Bagi pemula, sujud harus dibimbing oleh pemuka pengayat KSD. Tidak bisa sujud sendiri.
Sedari awal, Baskoro dan Sekar sudah menganut penghayat kepercayaan. Mereka sujud bersama di atas satu kain. Dalam aturannya, kain ini harus baru, belum pernah dipakai. Kain ini yang nantinya bisa mereka gunakan untuk ibadah bersama setelah menikah.
BACA JUGA: Begini Sikap Setara Institute Terkait Penyegelan Masjid Ahmadiyah di Depok
Baskoro dan Sekar sujud sembari memejamkan matanya. Terlihat seperti tidak ada gangguan sedikit pun. Sebagai dua orang yang tergabung dalam organisasi kepemudaan KSD, mereka memang sering beribadah di sanggar bersama. Meski tidak tepat bersebelahan.
Sejak Sekar pindah ke Jogja dan bergabung dengan organisasi itu, ia sering bertemu Baskoro. Dia juga tinggal di sanggar yang berada di wilayah Tamansiswa, Jogja. Ungkapan cinta karena terbiasa bisa jadi benar dalam kisah ini.
“Tahun 2019 bertemu Baskoro di sanggar Tamansiswa. Dia sering di situ, ada acara di situ juga, mulai dekat di sanggar,” kata Sekar. “Yang bikin suka Baskoro, status kepercayaan sudah sama. Hubungan cinta dengan pria sebelumnya tidak sekepercayaan, dia enggak mau pindah, malah saya ditarik ke kepercayaannya dia, dia bilang ‘nggak usah ke situ, sesat, sini aja.’ Aku enggak bisa.”
Rajutan cinta dengan Baskoro semakin rekat saat nenek Sekar juga mengetahui kisah itu. Made, panggilan Sekar pada neneknya, berpesan kepada cucunya agar mempertahankan cinta dengan Baskoro. Made ingin keturunan dari cucunya juga penghayat KSD.
“Made pengin keturunannya ada yang menjaga kepercayaan ini. Saya ingat-ingat banget pesan Made. Pernah kadang pengin pisah dengan Baskoro, tapi enggak bisa, nyatu terus,” kata Sekar.
Kandas dalam kisah cinta karena kepercayaan juga pernah Baskoro alami. Hubungan cinta bertahun-tahun awalnya berjalan baik. Perempuan itu tahu dan menerima kepercayaan yang Baskoro hayati. Namun keadaan mulai berubah saat Baskoro hendak menjalani hubungan yang lebih serius.
“Dulu waktu mau serius, dia malah enggak mau, saya enggak mau mengalah [pindah kepercayaan]. Ada temen saya yang ngalah dan tidak meneruskan lagi [kepercayaan KSD-nya], sebenarnya masih meneruskan tapi sembunyi-sembunyi. Mungkin hatinya enggak bisa berpaling dari Sapta Darma,” kata Baskoro yang saat ini berusia 26 tahun.
Kandasnya cerita asmara itu membawa Baskoro bertemu dengan Sekar. Alasan Baskoro menyukai Sekar yang usianya enam tahun lebih muda ini, salah satunya adalah karena sesama penghayat KSD. Baskoro juga menyukai Sekar lantaran perempuan itu berani berbicara di depan umum.
Berani berbicara di depan umum, cerdas, tangkas, dan lainnya menjadi modal penting dalam organisasi kepemudahaan KSD. Hal ini dilatih sebulan sekali dalam perkumpulan pemuda KSD. Di hari Minggu pekan kedua setiap bulan, mereka berkumpul dan mendengarkan pemaparan materi KSD.
Selain itu, mereka juga sujud bersama serta membaca wewarah dan sesanti. Dalam wewarah atau pedoman hidup, ada tujuh poin ajaran KSD. Poin ini berisi setia dan tawakal kepada Pancasila Allah, yaitu bahwa Tuhan menpunyai lima sifat luhur yang mutlak; bersedia menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya; turut serta membela nusa dan bangsa; menolong siapa saja tanpa pamrih, berani hidup berdasarkan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri, bersikap susila dan berbudi pekerti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, dan meyakini bahwa dunia tidak abadi dan selalu berubah.
Sementara sesanti atau semboyan berbunyi ‘Ing ngendi bae, marang sapa bae, warga Sapta Darma kudu suminar pindha baskara’ yang berarti ‘Di mana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus senantiasa bersinar laksana surya.’
Dari pertemuan pertama pada 2019, lalu ngapel ke rumah Sekar pada 2020, dilanjut lamaran pada 9 April 2021, tepat pada hari ulang tahun Sekar. Lamaran diterima, pernikahan pun digelar 27 Maret 2022.
Sujud Ketiga
Prosesi sujud masih berlangsung. Sebagai juru dhaup, Bambang yang duduk di depan sebelah kanan harus memastikan sujud terlaksana dengan benar. Sementara duduk di sebelah kiri depan, petugas Dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Sleman menjadi saksi pernikahan.
Setelah empat bungkukan sujud selesai, Bambang mengambil alih acara. Dia membimbing sepasang anak manusia di depannya untuk berikrar.
“Allah Hyang Maha Agung. Allah Hyang Maha Rokhim. Allah Hyang Maha Adil. Kami berdua berprasetia di hadapan Hyang Maha Kuasa: Dengan jujur dan suci hati, mulai hari ini, kami sebagai suami-istri dan sanggup melaksanakan ajaran Kerohanian Sapta Darma. Dengan jujur dan suci hati, sanggup melaksanakan ajaran Kerohanian Sapta Darma. Dengan demikian prasetya kami berdua, semoga Allah Hyang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan pengayoman ketenteraman dan kebahagiaan kepada kami berdua,” kata Bambang, diikuti oleh Baskoro dan Sekar.
Bambang menyelesaikan tugasnya. Kini petugas dari Disdukcapil Sleman yang bekerja. Dia memberikan akta pernikahan untuk mempelai tanda tangani. Dengan ini, pernikahan Baskoro dan Sekar secara adat KSD telah sah dan tercatat oleh negara.
Penandatanganan dan pemberian akta pernikahan mungkin hanya butuh beberapa detik, namun proses menuju pengajuannya tidak singkat. Untuk bisa menikah dan tercatat dalam kepercayaan tertentu, kedua mempelai harus seragam jenis kepercayaan di KTP. Baskoro sudah mengganti kolom kepercayaan di KTP sejak lama. Sementara Sekar baru mengurusnya tahun 2019.
Saat baru pindah ke Jogja dan melihat teman-temannya sudah mengganti kolom kepercayaan di KTP, Sekar pun termotivasi untuk mengganti. Dia pergi ke Cirebon, menuju Kantor Disdukcapil Cirebon. Niatnya untuk mengubah keterangan kepercayaan perlu dilakukan dengan berdebat di bagian pelayanan.
“Bagian pelayanan bilang kalau di sistem enggak ada keterangan untuk agama penghayat kepercayaan, pokoknya susah banget, sampai dilihatin di komputernya, waktu dicetak masih tertera Islam di bagian agama,” kata Sekar.
Namun Sekar bukan tipe orang yang mau pulang tanpa hasil. Dia masih memperjuangkan untuk mengubah keterangan di kolom agama. Dia menghubungi temannya di Bandung, yang pernah juga mengubah keterangan agama. Tetap saja tidak bisa di pelayanan. Sampai seseorang turun dari lantai atas ke bagian pelayanan. Sekar menebak apabila dia merupakan kepala bidang atau kepala dinas.
Barulah setelah ‘orang atas’ turun, proses penggantian keterangan di kolom agama bisa dilakukan. “Langsung bisa diganti, dan dia juga minta maaf. Dia bilang kalau di daerah sini belum tahu ada penghayat kepercayaan [di kolom KTP]. Foto di KTP yang tadinya berhijab, saat sebelumnya mau diganti enggak bisa juga langsung boleh,” katanya.
Ketidaksinkronan birokrasi juga dihadapi Baskoro saat mengurus pernikahan dengan adat KSD. Lantaran pernikahan dengan adat KSD ini belum pernah terjadi di Sleman, dia bertanya dengan teman di Bantul yang pernah melaksanakan pernikahan adat KSD pada 2018. Kala itu, butuh waktu enam bulan untuk mengurusnya. Salah satu kendalanya, lantaran juru dhaup yang hendak bertugas belum memiliki surat keterangan resmi.
Dengan rencana menikah bulan Maret, Baskoro mengurusnya sejak Januari. Beberapa kali dia berkunjung ke Disdukcapil Sleman untuk mencari tahu persyaratan dan sejenisnya. Petugas pelayanan bilang cukup menyertakan syarat berupa berkas fotokopi kedua mempelai, KTP mempelai, dan saksi.
Apabila petugas Disdukcapil tidak datang ke pernikahan, harus ada keterangan dari saksi saat mengurus ke Disdukcapil. Apabila petugas Disdukcapil datang ke pernikahan, keterangan dari saksi pernikahan tidak diperlukan.
“Ngurusnya terlalu mudah, malah jadi bingung. Takut saya. Soalnya dulu Nbak Tika [penghayat KSD Bantul] ngurus nikahannya ribet,” Kata Baskoro. “Tapi buat mastiin kalau tidak perlu syarat lainnya, saya kontak orang di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, minta kontak orang di sana dari teman.”
Setelah mengontak orang kementerian, beberapa waktu setelahnya Baskoro mendapat telepon dari petugas Disdukcapil Sleman. “Petugas Disdukcapil Sleman bilang, ‘Kok enggak bilang dulu mau nikah [dengan adat KSD], harusnya 13 hari sebelum menikah memberitahukan dulu’,” kata Baskoro menirukan petugas Disdukcapil Sleman yang meneleponnya. “Loh, saya sudah mengurus sejak Januari loh, tapi enggak ketemu beliau yang mungkin kepalanya, saya hanya di bagian pelayanan. Ya udah, tapi akhirnya tetap bisa dan Disdukcapil Sleman datang pas acara pernikahan sebagai saksi dan pencatat.”
Banyak Penganut
Bisa jadi Baskoro dan Sekar lebih beruntung menikah dengan adat penghayat di tahun-tahun ini. Bambang mengatakan saat ini proses administrasi pernikahan penghayat memang lebih mudah. Penggantian kolom agama juga sama. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya yang masih sulit, terlebih saat memang tidak ada ruang untuk kepercayaan penghayat.
Bambang ingat betul, sekitar tahun 1978, saat dia menikah. Kala itu dia masih bisa menikah dengan sesama penghayat kepercayaan tanpa banyak persyaratan. Pernikahan di bulan Oktober. Namun beberapa bulan setelahnya, ada kebijakan yang harus mencantumkan agama di KTP. Masalahnya, agama di Indonesia yang diakui hanya lima.
“Dampaknya besar sekali pada jumlah penghayat. Mereka mau tidak mau secara administrasi harus memilih menjadi penghayat atau masuk ke agama [resmi pemerintah]. Keharusan itu kan pemaksaan, itu melanggar hak asasi,” kata Bambang, Jumat (10/6/2022).
Padahal dalam menikah, kepercayaan yang tertulis di KTP untuk kedua mempelai harus sama. Ditambah tidak ada ruang untuk selain agama resmi tersebut. Sejak 1978, selama puluhan tahun ke depannya tidak ada lagi pernikahan dengan adat penghayat yang diakui negara di wilayah DIY.
Bagi Bambang, perkawinan tidak ada hubungannya dengan agama. Nikah itu urusan laki-laki dengan perempuan. Itu saja, Tuhan tidak mempermasalahkan. “Yang bertingkah kan manusianya, yang ngatur mereka-mereka (pejabat dalam pemerintahan) itu.
Meski secara administrasi Bambang masuk salah satu agama resmi negara, dia tetap setia pada KSD. Dia konsisten menjalani ibadah KSD sejak 1971. Memasuki tahun 2010, Bambang mendapat surat keterangan sebagai pemuka agama KSD. Surat keterangan ini yang nantinya bisa dipakai untuk menikahkan sesama penghayat.
Namun surat keterangan itu tidak pernah terpakai, khususnya untuk menikahkan penghayat KSD. Alhasil, Bambang tidak pernah memperpanjang surat yang harusnya diperbaharui setiap lima tahun sekali itu. Barulah pada 2018, saat pernikahan penghayat memungkinkan terjadi, dan ada salah dua warga KSD di Bantul yang hendak menikah, Bambang kemudian memperbaharui surat keterangan pemuka agamanya.
“Surat keterangan pemuka agama merujuk pada lamanya menjadi pemuka penghayat. Enggak perlu membuktikan aktivitas ibadah penghayat, tapi dari Petinggi Sapta Darma ada yang mengusulkan. Saya enggak mengusulkan diri jadi pemuka penghayat, tahu-tahu dapat sertifikat,” kata Bambang.
Bambang kini juga menjadi Ketua Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) DIY, majelis yang menaungi kelompok-kelompok penghayat kepercayaan.
Sejauh ini, ada tiga pemuka penghayat KSD di wilayah DIY. Selain KSD, kelompok penghayat kepercayaan lain di DIY belum memiliki pemuka penghayat yang sudah memiliki sertifikat atau surat keterangan dari pemerintah, dalam hal ini dikeluarkan oleh Kemendikbud RI. Apabila ada penghayat kepercayaan selain KSD yang hendak menikah, Bambang bisa menjadi juru dhaup-nya. Surat keterangan dari Bambang memungkinkan pernikahan penghayat bisa tercatat di Disdukcapil.
Kepala Disdukcapil Sleman, Susmiarto, mengatakan pernikahan penghayat sama dengan pernikahan lain selain Islam. Apabila Islam memiliki lembaga khusus, dalam hal ini Kantor Urusan Agama, maka agama lainnya berada dalam kepengurusan Disdukcapil. Apabila bukti pernikahan dalam Islam berupa buku nikah, kepercayaan lain berupa akta pernikahan.
Selama nama kelompoknya terdaftar di dinas kebudayaan setempat, pernikahan penghayat bisa dilaksanakan sesuai adatnya. “Kebetulan pernikahan kemarin merupakan penghayat yang sudah punya nama, Sapta Darma. Jadi saya menyandingkan datanya dengan yang sudah terdaftar di Disbud Sleman. Apabila sudah terdaftar, mereka biasanya punya kop surat, stempel, dan lainnya. Ini berkaitan dengan syarat keterangan dari pemuka kelompok penghayat tersebut,” kata Susmiarto, saat ditemui di Kantor Disdukcapil Sleman, Tridadi, Sleman, Kamis (16/6/2022).
Di samping Disdukcapil Sleman yang mendapat undangan untuk datang ke pernikahan Baskoro dan Sekar, petugas dari Kemendagri juga meminta laporan khusus. Lantaran pernikahan penghayat masih jarang, pemerintah pusat ingin tahu prosesinya. Berhubung belum bisa datang secara langsung, Kemendagri meminta Disdukcapil Sleman mendokumentasikan dalam bentuk video.
Selain pernikahan Islam, petugas disdukcapil seringkali diundang dalam pernikahan. Undangan ini sebagai saksi dan juga penyerahan dokumen terkait. Layanan jemput bola ini agar status administrasi kedua mempelai cepat berubah dari lajang menjadi menikah. Perubahan status akan berpengaruh pada beberapa hal, termasuk apabila nantinya mereka punya anak. Hak waris dan lainnya harus dibuktikan dengan dokumen orang tua.
Selama jumlah petugas mencukupi untuk bisa datang ke setiap undangan pernikahan, Disdukcapil Sleman akan mengusahakan. Dalam sehari, undangan bisa berasal dari empat atau lima pasangan.
“Selain pernikahan Islam, pencatatan bisa di kantor disdukcapil atau lokasi pernikahan, tergantung permintaan. Misal di gereja, mereka kirim surat ke kami, mohon kirimkan petugas untuk mencatat perkawinan,” katanya. “Status perkawinan biar berubah segera, kalau nanti terlalu lama bisa repot.”
Baskoro dan Sekar merupakan dua dari 22 penduduk penghayat kepercayaan di Sleman. Jumlah ini berasal dari berbagai macam kelompok penghayat kepercayaan. Susmiarto mengatakan belum ada pengubahan di kolom agama KTP yang signifikan di Sleman, meski hal itu sudah diperbolehkan.
Disdukcapil Sleman tidak secara khusus menyosialisasikan hal ini. Lantaran jumlahnya yang sedikit dan belum ada pemetaan wilayah yang berpotensi penduduk penghayat berada, penghayat diharapkan lebih aktif mencari informasi.
“Ini hal-hal yang cukup sensitif di beberapa tempat, mereka punya kelompok yang biasanya kuat secara ikatan, jadi mereka yang sosialisasi antar anggotanya. Kami melayani saja, kami tidak menolak apabila ada pengajuan dokumen dan sebagainya,” kata Susmiarto. “Kami mengikuti aturan yang ada, kalau tidak menjalankan peraturan, kami bisa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara.”
Meski secara aturan pengubahan status kepercayaan di KTP, pernikahan, dan lainnya sudah cenderung mudah, Bambang justru melihat para penghayat yang belum memaksimalkan fasilitas ini. Dalam beberapa kasus, para penghayat masih ragu dalam menjalankan kepercayaannya.
Salah satu penyebabnya, belum semua anggota keluarga yang bersangkutan menganut kepercayaan penghayat. Kadangkala pula, anak-anak dari penganut penghayat kepercayaan tidak meneruskan kepercayaan orangtuanya. “Itu juga penghambat, anak-anaknya bilang bapak itu sudah tua, enggak usah macem-macem, ikut ini [agama yang umum] saja,” kata Bambang. “Pemerintah sudah beri fasilitas, tapi dari masyarakat atau penghayat itu sendiri yang kadang kurang pemahaman.”
Dalam kesehariannya, para penghayat tetap melaksanakan ibadahnya, terlepas dari status di KTP sudah diubah atau belum. Apabila merujuk pada data, ada sekitar 300 penghayat KSD di DIY. Sementara untuk jumlah total dengan penghayat lain belum ada data pasti.
“Data juga menjadi pekerjaan rumah kami. Belum tentu semua mau didata,” kata Bambang. “Banyak yang ngelakoni [menjalani], tapi tidak ngakoni [mengakui].”
Sujud Keempat
Akta pernikahan telah Baskoro dan Sekar dapatkan. Kini status mereka suami istri. Tidak hanya suami istri, tetapi suami istri penghayat Sapta Darma. Prosesi pernikahan secara adat KSD selesai. Petugas Disdukcapil Sleman yang datang menerangkan pada hadirin.
Penghayat kepercayaan sudah bisa mencantumkan kepercayaannya di kolom KTP. Pada tahap yang lebih lanjut, para penghayat juga bisa melangsungkan pernikahan sesuai adatnya, seperti yang terjadi saat itu.
Kehadiran petugas Disdukcapil Sleman membuat Sekar terharu. Sejak menganut kepercayaan penghayat KSD beberapa belas tahun lalu, dia tidak pernah berpikir bisa dengan leluasa beribadah sesuai kepercayaannya, apalagi bisa melangsungkan pernikahan dengan adat ini.
Neneknya yang merupakan penghayat menikah secara Islam. Orang tuanya yang penghayat juga menikah secara Islam. Ini semua agar tercatat oleh negara, dan juga ‘menenangkan’ masyarakat sekitar. Stigma yang terkadang masih buruk pada penghayat kepercayaan juga sempat membuat ayah Sekar khawatir. Terlebih saat anaknya hendak mengubah KTP dan menikah secara penghayat.
Ayah Sekar khawatir anaknya susah mencari kerja dan sebagainya apabila mengubah kolom agama di KTP. Namun Sekar meyakinkan ayahnya bahwa saat ini keadaan sudah mulai membaik, dalam memandang penghayat.
Keluarga besar ibu Sekar yang mayoritas Islam pun mulai memahami, terutama setelah mendapat penjelasan dari petugas Disdukcapil Sleman. Keluarga besar dari ibu datang sekaligus ingin tahu adat menikah secara kepercayaan.
BACA JUGA: Bantul Punya Desa Sadar Kerukunan, Pertama di Indonesia
“Penjelasan dari disdukcapil apabila penghayat sudah diakui dan dilindungi membuat mereka makin paham. Terus sudah pada tahu, jadi enggak mikir sesat lagi,” kata Sekar. “Sampai kaya pengin nangis, bangga sendiri, karena disdukcapil ngasih tahu ke samua orang yang hadir. Terharu banget, kehadiran mereka seperti dukungan konkret.”
Dari perjalanan menganut kepercayaan KSD yang seringkali disembunyikan, menikah dengan adat KSD seperti kemenangan kecil dari sekian kekalahan-kekalahan sebelumnya. Kekalahan untuk melakukan hal yang dia inginkan.
Kini, Sekar juga tidak ragu membagikan pernikahannya di media sosial. Sebagai penghayat yang masih muda, media sosial dia anggap sebagai sarana tepat memberikan gambaran tentang penghayat pada masyarakat luas. Tidak ada cemooh dari para pengikut Sekar di media sosial. Mereka justru penasaran dengan segala adat dan ibadah Sekar dan penghayat KSD lainnya.
“Meski masih banyak yang mengira aku Islam, karena dari dulu catatannya Islam dan masih berhijab sampai SMK,” kata Sekar. “Sejak tahu aku pindah ke penghayat, enggak ada juga teman yang menghindar atau sejenisnya, mereka justru mendukung, dan penasaran pengin tahu.”
Meneruskan
Kemudahan dan akses yang semakin luas pada penghayat memberi perasaan aman pada Baskoro dan Sekar untuk punya anak. Mereka akan mengarahkan anaknya untuk meneruskan ajaran dan ibadah kepercayaan penghayat. Terlebih sistem pendidikan sudah mengakomodasi pelajaran khusus untuk penghayat di sekolah.
Namun yang lebih penting, bagi Baskoro, adalah mencontohkan nilai-nilai KSD pada anak dalam kehidupan sehari-sehari. “Mulai dari orang tua harus berperilaku baik, anaknya pasti melihat. Kedua anak ini harus dekat dengan penghayat Sapta Darma yang lain. Dengan ketemu anak-anak penghayat Sapta Darma lain, akan membangun kesadaran apabila mereka tidak sendiri, sedari kecil dibentuk seperti itu,” kata Baskoro.
Namun proses mempunyai dan mendidik anak akan berjalan dengan alami ke depannya. Sekarang Baskoro dan Sekar sudah menjadi keluarga. Mereka tetap aktif dalam mengembangkan KSD di DIY. Baskoro kini tidak lagi sendiri. Sekar tidak lagi sendiri. Mereka bersama. Tidak ada istilah cerai di pernikahan KSD. Tidak bisa pula memiliki istri atau suami lebih dari satu.
“Perbedaan dari sebelum dan sesudah nikah, sekarang ada yang nemenin. Dulu ngapa-ngapain sendiri, mulai dari daftar SMP dan sebagainya sendiri. Jarang ngeluh sama orangtua. Begitu juga sejak pindah ke Jogja, hidup mandiri,” kata Sekar. “Sekarang jadi punya tempat buat ngeluh dan sebagainya. Kadang capek, sekali-sekali pengin manja.” ([email protected])
Keterangan: liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship yang digelar Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Ini Dia 3 Karya Budaya Indonesia yang Diusulkan Masuk Menjadi WBTb ke UNESCO
- Ini Kegiatan Kampanye Terakhir Ketiga Calon Wali Kota Jogja Jelang Masa Tenang
- Pasangan Agung-Ambar Tutup Kampanye dengan Pesta Rakyat
- Konstruksi Tol Jogja-Bawen Seksi 1 Ruas Jogja-SS Banyurejo Capai 70,28 Persen, Ditargetkan Rampung 2026
- Lewat Film, KPU DIY Ajak Masyarakat untuk Tidak Golput di Pilada 2024
Advertisement
Advertisement