Dhaup Ageng Kadipaten Pakualaman, Pengantin Jalani Ritual Panggih
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Kedua pengantin Dhaup Ageng Kadipaten Pakualaman akhirnya dipertemukan dalam prosesi Panggih yang digelar di Tratag Kagungan Dalem (KD) Bangsal Sewatama Rabu (10/1/2024) sekitar pukul 10.30 WIB.
Abdi Dalem peneliti Widyo Pustoko Kadipaten Pakualaman Kanjeng Mas Tumenggung Widyo Hadiprojo mengatakan, prosesi Panggih dimaknai sebagai bertemunya kedua pengantin laki-laki dan perempuan setelah sebelumnya menjalani prosesi Nyengker dan tidak boleh bertemu satu sama lain.
Advertisement
"Tentu saja ini maknanya mempertemukan dua keluarga besar dan merupakan tradisi lama dalam resepsi yang sederhana. Panggih disederhanakan hanya bertemu tapi penuh dengan makna ," ujarnya.
BACA JUGA : Disbud Jogja Bangkitkan Lagi Upacara Adat Panggih Penganten Paes Ageng Gaya Jogja
Upacara Panggih mungkin tidak banyak lagi ditemui di masyarakat Jawa lantaran biasanya kedua pengantin sudah saling bertemu sebelum akad nikah dilangsungkan. Tetapi Puro Pakualaman masih memegang teguh salah satu prosesi ini.
"Kalau ini tentu sangat memenuhi syarat karena pengantin laki-laki sudah beberapa waktu studi di Jepang sehingga terasa betul pengantin yang lama sudah tidak dijumpakan," katanya.
Widyo Pustoko Kadipaten Pakualaman Nyi Mas Tumenggung Sestrorukmi menjelaskan, prosesi upacara panggih meliputi, pasrah sanggan kemudian pengantin laki-laki dan perempuan menuju Tratag KD Bangsal Sewatama disertai tampilan Durbala Singkir, diikuti dua pasang abdi dalem pembawa kěmbar mayang. Selanjutnya kěmbar mayang dibawa keluar area Tratag KD Bangsal Sewatama.
"Prosesi selanjutnya adalah balangan gantal, ngranupada, mecah tigan, dan sungkěman," jelasnya.
Ada banyak prosesi yang dijalankan dalam upacara Panggih ini di antaranya yakni Pasrah Sanggan yang disebut pula sanggan pamethuk, dimaksudkan bahwa pengantin laki-laki sudah siap mengikuti upacara panggih, sekaligus memberitahu agar pengantin perempuan dihadirkan dalam acara panggih.
Lalu ada Kembar Mayang yang menandai bahwa pengantin laki-laki masih jejaka dan pengantin perempuan masih perawan. Selanjutnya juga ada Balangan Gantal. Gantal berupa lintingan daun sirih diikat dengan benang lawe berwarna putih sejumlah tujuh (empat dilempar oleh pengantin laki-laki, tiga dilempar oleh pengantin perempuan) dengan kelengkapan jambe, gambir, tembakau dan injet dalam satu wadah.
Adapun makna filosofis gantal beserta kelengkapannya yakni Jambe buah lebat hasil dari pohon Jambe yang menjulang tinggi lurus ke atas melambangkan orang yang berbudi luhur, berderajat tinggi, berkat kesungguhan kerja dan doa sehingga membuahkan hasil yang melimpah.
Ada juga Injět berupa bubuk putih yang merupakan hasil endapan dari proses rendaman batu yang memiliki banyak khasiat untuk kesehatan dan juga bermanfaat untuk membantu pengolahan makanan. Injet melambangkan buah pikir yang bersih yang diperoleh melalui kontemplasi. Buah pikir yang jernih tersebut bermanfaat untuk menyelesaikan segala urusan baik itu di lingkungan keluarga, kerabat, maupun masyarakat.
Selanjutnya ada Gambir yang berguna untuk menguatkan gigi serta mengingat rasa gambir yang semula pahit dan sepat kemudian menjadi agak manis berkat kunyahan, maka buah gambir di sini dimaknai sebagai harapan agar ketika pengantin menghadapi dinamika kehidupan yang terus berputar mereka tetap tahan menderita pahit yang dipercaya akan membuahkan sesuatu yang manis di kemudian hari.
Kemudian Tembakau tanaman pegunungan yang mampu bertahan dalam kondisi tanah yang ekstrim. Tanaman ini semakin hijau, dan membaik mutunya, serta mampu bertahan hidup di musim kemarau. Tembakau digunakan sebagai pelengkap dalam berbagai sajen. Dalam prosesi balangan gantal tembakau dimaknai sebagai harapan agar suami istri senantiasa waspada dan mawas diri sehingga akan tetap dapat bertahan hidup meski dalam “suasana panas” akibat serangan dari gangguan roh jahat maupun kelabilan emosi.
Prosesi lainnya adalah Ngranupada yang artinya mencuci kaki. Di sini kaki pengantin laki-laki dibasuh oleh pengantin perempuan. Hal ini menunjukkan bakti seorang istri kepada suami. Selain itu, air bunga setaman yang dipakai untuk mengguyur kaki dimaknai sebagai penyingkir godaan. Lalu ada juga Měcah Tigan yang menunjukkan adanya warna putih dan merah melambangkan bercampurnya wiji kakung dan wiji putri yang kelak melahirkan anak dan cucu.
BACA JUGA : DHAUP AGENG : Begini Prosesi Siraman Pengantin Putra Mahkota Pura Pakualaman Jogja
Busana yang dikenakan pada saat panggih bagi pengantin adalah dodot atau kampuh batik motif Indra Widagda Wariga Adi. Dalam kain batik motif Indra Widagda Wariga Adi termuat motif Indra Widagda dipadukan dengan motif Semen Kidang yang memuat harapan agar ajaran yang telah diperoleh dari orang tua dan para sesepuh dapat dijadikan pegangan hidup, sehingga mereka mampu berkelana dengan tangkas di belantara kehidupan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Ini Kegiatan Kampanye Terakhir Ketiga Calon Wali Kota Jogja Jelang Masa Tenang
- Pasangan Agung-Ambar Tutup Kampanye dengan Pesta Rakyat
- Konstruksi Tol Jogja-Bawen Seksi 1 Ruas Jogja-SS Banyurejo Capai 70,28 Persen, Ditargetkan Rampung 2026
- Lewat Film, KPU DIY Ajak Masyarakat untuk Tidak Golput di Pilada 2024
- Jadwal Terbaru KRL Solo-Jogja Minggu 24 November 2024: Berangkat dari Palur Jebres, Stasiun Balapan dan Purwosari
Advertisement
Advertisement