Tedjo Badut Seniman Serba Bisa: Susupi Etika Moral hingga Kearifan Lokal Saat Menghibur Anak
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Darah seni Tedjo sudah masuk bahkan sejak dalam kandungan. Perjalanan membawanya menjadi badut, yang terus berupaya mentransfer kearifan lokal dan kesenian pada anak-anak.
Hidup nomaden. Berpindah dari kota ke kota. Sejak dalam kandungan, Sutedjo sudah merasakan hidup sebagai seniman tobong. Dalam pengertiannya, tobong merupakan bangunan semi permanen dari bambu atau kayu dengan atap berbahan daun tebu. Di setiap pemberhentian, saat kelompok seni ini tidak mendapati panggung dengan bangunan permanen, mereka akan membuat tobong untuk pentas.
Advertisement
Orang tua bahkan kakek nenek Tedjo merupakan seniman. Kelompok seni dari keluarganya biasa bermain wayang, ketoprak, sampai ludruk. Kebanyakan mereka berkeliling ke kota dan kabupaten di Jawa, sekitar tahun 1970-an sampai 1880-an.
Meski dalam keadaan hamil, ibu Tedjo masih menari di panggung. Hingga pada kondisi yang tidak memungkinkan, dia akan istirahat. Misalpun ada karakter ibu hamil, maka ibu Tedjo akan tetap mentas.
BACA JUGA : 9 Character Warner Bros di Pakuwon Mall Jogja, Sambut Liburan Tahun Ini
Salah satu kota spesial pemberhentian kelompok ini berada di Purworejo. “Cuma numpang lahir, daerah mana di Purworejo itu aku juga enggak tahu, kebetulan pas main di sana [terus aku lahir],” kata Tedjo, saat ditemui di Kasihan, Bantul, Selasa (23/7/2024).
“Lanjut hingga tahun 1980-an pertengahan, [kelompok seninya] mulai empot-empotan, sudah mulai ngetren bioskop, televisi, dan lainnya. Banyak yang gulung tikar. Walaupun bubar, kami bergabung di Taman Hiburan Rakyat (THR) atau yang sekarang bernama Purawisata.”
Sekitar tahun 1992, Tedjo rutin menari sampai berakting di Purawisata. Dia memang mendapatkan bayaran dari profesinya, namun ternyata kebutuhan hidup lebih besar dari upahnya. Tedjo merasa perlu menambah sumber pendapatan, agar bayarannya tidak hanya cukup untuk makan, namun ada uang untuk cadangan kebutuhan lain seperti kesehatan. “Apalagi saat anak masuk usia sekolah, makin naik kebutuhan hidup,” katanya.
Mulai Membadut
Dari banyak profesi di dunia hiburan, Tedjo memilih menjadi badut. Dia sebelumnya pernah menjadi badut di Jakarta, ikut dengan sebuah manajemen. Tedjo juga sudah memiliki modal lengkap menjadi badut. Modal di sini maksudnya tentang skill.
Urusan kostum, tata rias, komunikasi, akrobatik, sampai sulap, Tedjo sudah ‘lulus’ selama menjadi seniman panggung. Berbagai jenis karakter wayang di panggung membantunya memiliki banyak keahlian. Sementara untuk sulap, saat masih sering berkeliling dari kota ke kota, termasuk di dalamnya ke pasar malam, Tedjo banyak belajar dengan pedagang obat.
Di Jogja, salah satu penjual obat yang legend bernama S. Amat. Biasanya dia mangkal di Alun-Alun Utara. “Untuk menggaet konsumen, mereka mencari perhatian dengan segala macam trik akrobat dan sulap,” katanya. “Saya terinspirasi dengan itu, dan aku curi ilmunya. Saya curi ilmunya dengan lihat aksi mereka berkali-kali, misal butuh relawan, aku juga maju.”
Segala bekal pengalaman ini yang membawa Tedjo menjadi badut dari era 1990-an hingga hari ini. Sudah berbagai jenis masyarakat dia hibur. Dari orang yang kurang berada, sampai cucu dari orang nomor satu di DIY.
BACA JUGA : Meriahkan Libur Sekolah, Ada Badut hingga Pertunjukan Sulap di Stasiun Yogyakarta
Dalam perjalanannya, Tedjo juga terus belajar, termasuk dari psikolog anak, pemerhati anak, sampai kelompok difabel. Dia tidak ingin sebatas menjadi badut, tapi juga punya misi mengenalkan kesenian yang berkarakter pada anak-anak. “Saya punya tagline Never Ending Sinau, saya selalu sinau dalam segala hal, pada siapapun,” kata Tedjo, yang saat ini berusia 65 tahun.
Kearifan Lokal
Tedjo badut sering datang dan bertemu anak-anak, terutama saat acara ulang tahun. Berinteraksi dengan generasi penerus bangsa ini tidak Tedjo lewatkan begitu saja. Dia sering memasukkan unsur kearifan lokal di dalam aksi-aksinya.
Misalnya dari sisi musik dan tarian, Tedjo menggunakan karya teman-teman senimannya. Dia sering memakai Senam Keluhuran Nuswantara untuk ice breaking. Musik dan gerak senam tersebut karya Parjiman Omah Cangkem dan koreografer Aster Asmorotedjo.
“Saya tembusi, saya izin untuk memakai segala macem, jadi tidak sembunyi-sembunyi,” katanya. “Pengunaan kearifan lokal ini bisa menghipnotis bukan hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa. Mereka ikut bergerak semua.”
Dalam beberapa acara, Tedjo juga mengombinasikan riasan badut dengan belangkon. Saat bermain egrang, atau atraksi berjalan dengan menggunakan tongkat, Tedjo menggunakan riasan dan busana wayang. Dengan mengenalkan kearifan lokal secara menyenangkan, harapannya anak-anak juga bisa menerima kekayaan budaya dengan suka cita.
Inovasi yang tidak dilakukan semua seniman itu kadang kala membuat Tedjo mendapat cemoohan. Namun dia punya dasar dan pertimbangan tersendiri. Di sisi lain, Tedjo tidak menutup telinga semisal ada masukan atau saran. “Saya berusaha menampilkan kearifan lokal, meski dengan kemampuanku yang terbatas, [ya karena aku] never ending sinau,” kata Tedjo.
Seni Menjadi Badut
Kecintaan pada pekerjaan badut membuat Tedjo tidak ingin profesi ini punah di Jogja. Di sisi lain, dia juga ingin orang yang menjadi badut punya modal yang kuat, dan punya visi yang tidak sekadar money oriented.
Tedjo kemudian menghubungi badut-badut yang ada di Jogja. Akhirnya para badut di Jogja berkumpul dan membentuk komunitas bernama Asosiasi Badut Jogja (Asbaja). Komunitas ini menjadi ruang untuk saling belajar, baik keterampilan maupun mental.
BACA JUGA : Jelang Long Week End Iduladha, BPTD DIY Gencarkan Ramp Check pada Bus Wisata
“Misal latihan make up, ngasih masukan bagian ini kamu kurang. Setelahnya dibandingkan sebelum dan sesudah belajar, baru tahu perubahannya. Namun setiap badut tetap mempertahankan kekhasannya masing-masing,” kata Tedjo.
Terkadang tidak hanya perkara teknis, Tedjo juga berbagi pengalamannya menjadi badut saat berhubungan dengan anak-anak. Komunikasi dengan para ahli, serta juga jam terbang, membuat Tedjo menerapkan hiburan yang ramah anak.
“Etika moral juga saya jaga. Misalnya tidak boleh body shaming [saat mengisi acara anak-anak], contoh manggil dengan kata ‘Eh ndut atau hei kribo’ itu enggak boleh. Aku enggak ngerti undang-undang, tapi dapet masukan dari temen-temen,” katanya.
Pada akhirnya, menjadi badut bukan hanya bisa menghibur anak. Tedjo berusaha mengerti etika moral, serta menyisipi kearifan lokal di setiap aksinya. Harapannya, anak tidak hanya terhibur, tapi juga mendapatkan asupan seni dan pembangunan karakter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Erdogan Desak Negara Dunia Terapkan Putusan Penangkapan Netanyahu
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Kantongi Izin TRL, Teknologi Pemusnah Sampah Dodika Incinerator Mampu Beroperasi 24 Jam
- Korban Apartemen Malioboro City Syukuri Penyerahan Unit, Minta Kasus Tuntas
- Tak Gelar Kampanye Akbar Pilkada Sleman, Tim Paslon Harda-Danang Bikin Kegiatan Bermanfaat di 17 Kapanewon
- Kembali Aktif Setelah Cuti Kampanye, Ini Pesan KPU Kepada Bupati Halim dan Wabup Joko Purnomo
- Semarak, Ratusan Atlet E-Sport Sleman Bertarung di Final Round E-Sport Competition Harda-Danang
Advertisement
Advertisement