Advertisement
Kisah Suswaningsih, Bertahun Membangunkan Ratusan Hektar Lahan Tidur di Gunungkidul
Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Puluhan tahun bekerja sebagai penyuluh pertanian, Suswaningsih berhasil membangunkan ratusan hektar lahan tidur. Lahan yang tidak hanya bermanfaat bagi petani, tapi juga lingkungan sekitar.
Hari ini ada sekitar 200 hektar lahan produktif di Kapanewon Rongkop, Gunungkidul. Petani bisa menanam ketela, jagung, hingga padi di area yang mayoritas di perbukitan. Dari pertanian itu pula, petani di Gunungkidul tidak hanya bisa mengonsumsi hasilnya saat panen, namun juga menjualnya.
Advertisement
Kondisi hari ini bisa jadi sangat berbeda, terutama jika dibandingkan dengan awal tahun 2000-an. Sekitar 24 tahun lalu, tidak banyak lahan produktif di Rongkop. Lereng bukit lebih banyak berisi semak belukar dan pecahan batuan kapur daripada berbagai tanaman pangan. Misalpun ada beberapa petani yang memanfaatkan lahan, sistemnya masih tradisional, yang memang sudah turun-temurun.
BACA JUGA : Pengadaan Lahan Tol Jogja-Solo Ruas Trihanggo-Junction Sleman Nyaris Tuntas
Petani belum mengenal metode tanam larik. Bagi yang menanam padi, penyebaran benih masih belum terstruktur. Petani sekitar belum mengatur jarak tanam. Masyarakat juga masih memanfaatkan pohon dengan tebang dan pindah. Kesadaran reboisasi masih cukup jauh.
Di masa-masa itu, Suswaningsih banyak keluar masuk perkampungan. Tujuan utamanya ngobrol dengan para petani. Sudah sejak tahun 1990, dengan status honorer, Suswaningsih menjadi penyuluh pertanian. Statusnya menjadi aparatur sipil negara (ASN) sejak 1998.
“Dulu itu Rongkop masih gelap. Penerangan banyak pakai petromak. Saya bawa anak saya 1,5 tahun ikut penyuluhan,” katanya, beberapa waktu lalu. “[Sebenarnya] itu bukan basic saya untuk terjun ke lingkungan hidup. Tapi saya belajar bersama masyarakat.”
Dengan sesekali berupaya menenangkan anaknya, Suswaningsih membahas cara pemanfaatan dan pengolahan lahan tandus di sekitar Rongkop dengan para petani. Proses yang dia ulangi berkali-kali, di banyak kampung, bertemu ribuan pertani.
Memberi Contoh
Mengajak petani berkumpul tidak selalu mudah. Mereka cenderung ingin mendapatkan manfaat jangka pendek misal hendak berkumpul atau sejenisnya. Sementara untuk penyuluhan atau pelatihan, dampaknya tidak langsung terasa.
Meski pertemuan dengan petani tidak selalu ramai, Suswaningsih tetap rutin menggelarnya. Dia bahkan tidak jarang memberikan penyuluhan di luar jam kerja. Malam hari ibarat jam kerja yang akrab dengan perempuan berusia 55 tahun tersebut.
Di samping pendampingan dari suami yang rutin mengantar, Suswaningsih melakukan semua ini atas dasar cintanya pada lingkungan, gairah yang sudah dia rasakan semenjak kecil. Semakin sering berhubungan dengan petani, membuat Suswaningsih semakin banyak belajar cara masuk yang tepat. Salah satunya dengan terlebih dahulu mencontohkan, agar petani paham manfaat nyatanya.
Ada demonstration plot (demplot). Petani melihat, mereka tertarik, kemudian ikut melakoni. Kabar ini yang kemudian hari semakin menyebar, tentang manfaat menerapkan sistem pertanian modern. Seiring berjalannya waktu, lereng-lereng perbukitan kemudian beralih fungsi.
BACA JUGA : Petani Bantul Masih Kekurangan Ratusan Traktor, Ini Daerah yang Membutuhkan
Situasi itu mulai berubah. Suswaningsih mengajak petani untuk mengelola dan mengolah lereng itu menjadi lahan pertanian. “Kami kumpulkan batu-batu di lereng dan kami buat terasering, lalu tanahnya kami kumpulkan jadi satu. Di situlah kami tanam tanaman pangan seperti jagung dan ubi kayu,” kata Suswaningsih yang kini menjadi Koordinator Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Rongkop.
Lebih Modern
Secara berangsur, sistem pertanian di Rongkop berubah. Setelah memanfaatkan lahan di perbukitan, Suswaningsih mendampingi petani dari mulai pembibitan hingga pemupukan. Dari sisi pembibitan misalnya, ongkos produksi bisa lebih murah. Dahulu, satu hektar perlu 50 kilogram (kg) benih padi. Saat ini, dengan luas yang sama, hanya perlu 24 kg benih saja.
Begitu pula dari sektor pemupukan. “Dulu itu tanah juga pecah-pecah. Tanaman gampang kering hanya beberapa pekan setelah tidak ada hujan. Itu karena petani dulu over penggunaan pupuk kimia,” katanya.
Misalnya untuk lahan 1.000 meter persegi, petani menggunakan pupuk urea lebih dari 100 kg. Sekarang para petani hanya menggunakan 275 kg untuk 10.000 meter persegi. Pengolahan tanah juga sangat mengandalkan pupuk organik, utamanya dari kotoran hewan (kohe). Kohe dianggap efektif menggemburkan tanah. Efek lanjutannya, setiap petani di Rongkop kebanyakan juga memiliki ternak.
Setelah lebih banyak memanfaatan lahan perbukitan, hasil pertanian cenderung meningkat. Dahulu warga hanya menyimpan dan memanfaatkan sendiri hasil panen. Kini sudah ada kelebihan hasil panen yang bisa mereka jual.
“Lahan di Kalurahan Melikan dulu itu hanya lima hektar yang dimanfaatkan. Sekarang kalau melihat satu kapanewon sudah ada 200 hektar yang bisa dimanfaatkan dari sebelumnya lahan kurang produktif,” kata Suswaningsih.
Kini, Suswaningsih mendampingi kelompok tani di Kalurahan Melikan. Ada delapan kelompok wanita tani (KWT) dan 12 kelompok tani (Poktan). Sumbangsih ini mengantarkan Suswaningsih meraih Kalpataru Pengabdi Lingkungan pada 2021.
Mengikuti Alur Hujan
Pemanfaatan lahan banyak di kawasan perbukitan. Sistem yang cocok untuk para petani berupa tumpang sari. Jenis tanaman juga perlu sesuai dengan musimnya.
Misalnya pada musim hujan I (MH I), dalam rentang Oktober hingga Desember, petani akan menanam padi, jagung, dan ubi kayu. Panen pertama dilakukan untuk jagung dan padi. MH II masuk dalam rentang Januari hingga Maret. Pada masa itu, petani akan menanam kacang apabila masih ada hujan. Ubi kayu yang telah ditanam pada MH I akan segera dipanen.
Itu fase normal, saat musim hujan masih terprediksi. Pola ini sempat berantakan saat musim kemarau berlangsung lebih panjang pada 2023. Hujan yang baru turun Desember membuat jadwal menanam mundur dari yang seharusnya. Tidak ada air yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian.
Suswaningsih mengatakan tidak ada sumur bor di banyak daerah di Rongkop. Pengeboran sempat dicoba di Kalurahan Melikan, dengan kedalaman 100 meter. Sayangnya bukan air yang muncul, namun hanya bebatuan. “Selama ini ada delapan kalurahan yang daerahnya tidak dapat ditembus untuk sumur bor,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Tak Ada Niatan Mempersulit Hidup Rakyat, Prabowo: Mohon Bersabarlah!
Advertisement
Wisata Air Panorama Boyolali Jadi Favorit di Musim Libur Natal
Advertisement
Berita Populer
- Jadwal Bus Damri ke Tempat Wisata DIY dan Sekitarnya, Pilihan Transportasi Murah dan Nyaman
- Perhatian! Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor Lewat Online di Sleman Tutup hingga 4 Januari 2024
- Jalur dan Rute Lengkap Trans Jogja ke Lokasi Wisata, Cek di Sini!
- Masih Ada yang Belum Selesai, Pemkab Sleman Terus Awasi Proyek Pembangunan Hingga Tutup Tahun
- Prakiraan Cuaca di Jogja dan Sekitarnya Hari Ini 28 Desember 2024, Waspada Hujan Petir
Advertisement
Advertisement