Advertisement

KASUS PEMOTONGAN SALIB : Permintaan Maaf Sultan Tidak Cukup

Abdul Hamied Razak
Jum'at, 21 Desember 2018 - 15:50 WIB
Bhekti Suryani
KASUS PEMOTONGAN SALIB : Permintaan Maaf Sultan Tidak Cukup Makam Albertus Slamet Sugihardi yang dipotong salibnya, di TPU Purbayan Kotagede. - Harian Jogja/Abdul Hamied Razak

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA- Direktur Riset Setara Institute Halili mengapresiasi permintaan maaf yang disampaikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X terkait kasus intoleransi yang terjadi di Purbayan, Kotagede. Hal itu dinilai positif, berbanding dengan apa yang sebelumnya disampaikan oleh Sultan.

"Ini perlu diapresiasi. Tetapi permintaan maaf saja tidak cukup. Harus ada tindakan bagaimana mewujudkan Jogja sebagai kota yang menjunjung toleransi," kata Halili saat dihubungi Harianjogja.com, Kamis (20/12/2018).

Advertisement

Dia meminta Sultan baik sebagai pemilik otoritas sosio-politik dan sosio-kultural di DIY, mampu untuk mengoptimalkan perannya untuk mewujudkan Jogja sebagai kota yang toleran. Tidak hanya Sultan, lanjut Halili, seluruh lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat, harus bisa bersinergi mewujudkan praktik dan promosi toleransi dengan menjamin kesetaraan hak seluruh warga. "Kasus intoleransi di Purbayan harus dijadikan momentum untuk membangun kembali toleransi di Jogja," katanya.

Disinggung soal penegakan hukum yang cenderung tidak berpihak pada minoritas, Halili menilai, tidak semua kasus intoleransi mengarah pada tindakan pidana. Persoalan di Purbayan, kata Halili, lebih pas menggunakan pendekatan non hukum. Alasannya, kasus di Purbayan menunjukkan buruknya inklusi sosial keagamaan di wilayah tersebut. "Ini menuntut tindakan pemerintah untuk melakukan pembangunan sosial yang lebih inklusif dan kondusif terkait toleransi," katanya.

Terpisah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Prof. Amin Abdullah menilai masalah yang muncul di Purbayan menuntut pentingnya masyarakat menggunakan kesadaran sosial. Apalagi saat ini masyarakat menghadapi situasi tahun politik sehingga mereka harus aware menghindari terjadinya gesekan.

"Pengetahuan kebhinekaan dan kemajemukan tidak cukup, tapi harus dilandasi juga dengan hati nurani. Kemanusiaan adalah kemanusiaan. Bagaimana menerapkan tenggang rasa, saling respek dan menjaga kerukunan," katanya.

Agar kasus serupa tidak kembali terjadi, Amin meminta agar kecerdasan sosial kultural harus dibangun dari tingkat bawah. Bagaimana peran RT/RW, Modin, dan tokoh masyarakat lainnya menggunakan kecerdasan lokal, sosial, kultural dan agama ketika melakukan sesuatu.

"Sebelum [pemotongan salib] dilakukan, harus menggunakan kecerdasan sosial. Menurut saya, seharusnya [pemotongan salib] tidak perlu dilakukan," kata Amin.

Sebenarnya, lanjut dia, sudah ada kesepakatan antara warga dengan keluarga. Hanya saja kesepakatan tersebut muncul setelah kasus menjadi viral. Kondisi itu dijadikan celah oleh oknum tertentu untuk menviralkannya. "Di sinilah pentingnya menerapkan kecerdasan sosial, bagaimana harus saling tenggang rasa, saling menerima. Jangan sampai viral dulu baru ribut," ujar Amin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Dipimpin Nana Sudjana, Ini Sederet Penghargaan Yang Diterima Pemprov Jateng

News
| Kamis, 25 April 2024, 17:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement