Advertisement
Perjuangkan Guru Macapat di Tengah Gempuran Girlband

Advertisement
[caption id="attachment_432364" align="alignleft" width="370"]http://www.harianjogja.com/?attachment_id=432364" rel="attachment wp-att-432364">http://images.harianjogja.com/2013/07/Suradi-guru-macapat-370x246.jpg" alt="" width="370" height="246" /> JIBI/Harian Jogja/Kurniyanto
Suradi di tempat belajar Macapat[/caption]
Di tengah perkembangan zaman yang serba kebarat-baratan, masih didapati sejumlah orang yang berusaha mempertahankan budaya Jawa. Salah satunya Suradi Dwidja Saputra, 68. Ia adalah satu dari sedikit orang yang berkomitmen melestarikan sastra Jawa. Berikut kisah yang ditulis Wartawan Harian Jogja, Kurniyanto.
Advertisement
Di sebuah bangku yang berada persis didepan kelas, Suradi tampak asyik membolak – balik halaman salah satu surat kabar lokal untuk dibaca. Sudah setengah jam ia membaca koran itu sembari menunggu siswanya datang. Suradi mengajar sekar macapat di areal Kraton Jalan Rotowijayan No 3.
Rupanya, bukan kali ini saja Suradi menunggu, setiap kali akan mengajar ia memang seringkali menanti siswa hingga berjam - jam lamanya. Bahkan terkadang penantiannya itu berujung kekecewaan karena tidak ada satu pun siswa yang datang, seperti yang terjadi saat Harian Jogja menyambanginya Sabtu (27/7), sore, kemarin.
“Mungkin karena siswa pas ada keperluan mendadak,” katanya polos.
Bagi mantan Kepala Dusun VIII, Puluhan Kidul, Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul itu menunggu siswa walaupun tidak datang lebih baik ketimbang dirinya tidak datang sama sekali. Sebab ia khawatir membuat siswanya kecele.
Suradi merupakan satu dari tiga pengajar tempat belajar macapat yang juga merupakan tempat belajar dan menulis bahasa Jawa bernama KPH. Kridha Wardawa. Tempat ini didirikan pada era Sultan Hamengku Buwono VIII.
Ia merupakan pengajar tertua di tempat kursus itu karena telah mengabdikan diri sejak 1986. “Dulu saya itu tahun 70-an juga pernah jadi murid disini. Terus pada 1986 saya dipanggil untuk mengajar disini karena pengajar sebelumnya meninggal dunia,” terang pria yang dikepalanya banyak ditumbuhi uban itu.
Perlu ketelitian bagi mereka yang hendak datang ke KPH. Kridha Wardawa. Dari arah timur, tempat ini terlihat sedikit nylempit. Papan nama tidak dipasang diluar namun justu pada dinding dekat pintu kelas. Dari pantauan Harian Jogja ruang kelas KPH. Kridha Wardawa hanya berukuran sekitar 3 X 3 meter dengan bangunan khas Kraton.
Di dalamnya terdapat sejumlah kursi dari kayu yang telah lapuk. Selain itu juga didapati seperangkat gamelan, buku – buku lawas dan beberapa foto Sultan Hamengku Buwono X yang dipajang di dinding kelas.
Di tempat inilah, Suradi bersama rekan-rekannya mengajar sekar macapat kepada para siswanya terutama pada Selasa dan Sabtu. Ia pun harus berkendera hingga 25 kilometer dari rumahnya Srandakan, Bantul menuju tempat mengajar. Semua itu semata karena kecintaannya terhadap kelestarian budaya Jawa terutama sastra.
Suradi mengatakan ada empat tingkatan dalam macapat yang ia ajarkan kepada siswanya. Yaitu tembang cilik, sekar tengahan, sekar agung, tembang agung dan dolanan.“Empat materi itu saya ajarkan langsung dikelas,” ujarnya.
Menurutnya materi yang ia berikan itu memiliki perbedaan mencolok dengan saat ia mengajar pada medio 95-an kebawah. Di mana tiap materi itu dipecah menyesuaikan kemampuan siswanya.“Tapi kini semua disatukan karena jumlah siswa makin hari makin sedikit. Imbas perkembangan zaman,” keluhnya.
Ada pun para siswa yang belajar itu datang dari berbagai latar belakang. Ada yang pelajar, mahasiswa, guru, hingga seorang pensiunan yang berniat mengasah kemampuan macapat. “Kalau guru biasanya karena mau naik pangkat. Dengan belajar di sini bisa untuk menambah kredit poin syarat kenaikan pangkat,” ucapnya.
Banyak suka duka yang dilalui Suradi selama 27 tahun mengabdi di tempat itu, salah satunya adalah soal honor. Pada 2013 hingga Juli ini, ia mengaku hanya tiga kali menerima upah.
Yang lebih memprihatinkan adalah sejak awal bekerja, tidak ada satu pun dari pihak terkait dalam hal ini kraton yang memberikan perhatian atau sekedar menanyakan sampai sejauh mana perihal belajar mengajar yang ia lakukan bersama pengajar lainnya. “Setahu saya belum ada itu yang namanya perhatian bagi kami [Pengajar] saat awal saya mengajar disini hingga sekarang ini,” kenangnya.
Namun demikian Suradi tidak mempersoalkan itu karena bagi dia ada hal yang lebih penting ketimbang soal gaji yakni memberikan ilmu kepada generasi muda. Akan menjadi sebuah dosa besar bagi dia bila macapat punah karena generasi muda lebih hafal lirik - lirik lagu yang dilantukan Girland/Body band yang marak belakangan ini. “Kalau saya mundur siapa lagi yang mau mengajarkan macapat?” tanyanya. (Kurniyanto)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Megaproyek Pembangunan IKN, Jokowi: Untuk Mengatasi Ketimpangan Ekonomi
Advertisement

BOB Golf Tournament 2023 Jadi Wisata Olahraga Terbaru di DIY
Advertisement
Berita Populer
- Hari Ini Sejumlah Wilayah di Jogja dan Kulonprogo Mati Lampu
- Prakiraan Cuaca, Seluruh Wilayah DIY Hujan Ringan dan Sedang di Malam Hari
- Jadwal KRL Jogja Solo Hari Ini, Jumat 24 November 2023
- Jadwal KRL Solo Jogja 24 November 2023, Keberangkatan dari Stasiun Palur
- Simak Jadwal KA Bandara YIA Reguler 24 November 2023
Advertisement
Advertisement