Advertisement

Zhong Qiu Jie 2018 Usung Semangat Keragaman

Rheisnayu Cyntara
Kamis, 27 September 2018 - 08:30 WIB
Mediani Dyah Natalia
Zhong Qiu Jie 2018 Usung Semangat Keragaman Para anggota Hoo Hap Hwee berdoa sebelum acara Mooncake Festival berlangsung, di Kelenteng Poncowinatan, Senin (24/9). - Harian Jogja/Rheisnayu Cyntara

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJAZhong Qiu Jie 2018 semula merupakan tradisi keluarga tetapi bertransformasi menjadi acara milik semua masyarakat, tanpa membedakan latar belakang. Tua muda, apapun suku dan agama mengikuti jalannya pelaksanaan Mooncake Festival itu.

Asap membumbung hingga langit-langit Gedung Bhakti Loka, Senin (24/9) sore. Bau dupa menyeruak, memenuhi ruang-ruang indera penciuman. Beberapa anggota Hoo Hap Hwee mengenakan kacamata plastik warna kuning terang, sebagian besar lainnya pasrah terkena asap dupa yang pedas di mata.

Advertisement

Jarum jam masih menunjukkan angka lima sore tetapi kesibukan mempersiapkan Zhong Qiu Jie sudah dimulai. Liong berwarna hitam yang sudah berusia cukup tua diletakkan di tengah-tengah ruangan, dikelilingi oleh liong dupa yang terbuat dari jalinan jerami yang disusun rapi. Para anggota Hoo Hap Hwee yang berbaju serba hitam mondar mandir menyalakan dupa dan menancapkannya pada tubuh liong. "Tiap bagian 33 dupa ya," ujar salah seorang anggota memberi instruksi yang lantas ditaati. Mereka yang tengah menancapkan dupa, menghitung kembali jumlah dupa pada tiap-tiap bagian tubuh liong.

"Tak mudah memainkan liong dupa. Lebih sulit karena pemainnya harus puasa, jadi vegan, bahkan yang bertugas memegang kepala harus mutih. Persiapannya lebih berat makanya tak setiap tahun ada," ujar salah satu anggota Hoo Hap Hwee kepada Harian Jogja di sela-sela kesibukannya.

Belum sempat ditanya namanya, ia sudah membaurkan diri dengan anggota lain, tak rela ketinggalan barang sedetik pun. Hampir tak ada anggota yang berpangku tangan di sini, semua bahu membahu menyiapkan perayaan Mooncake Festival.

Jelang petang, salah seorang anggota senior memberi instruksi agar seluruh kegiatan dihentikan. Koordinasi terakhir dilakukan. Koordinator Muda Mudi JCACC, Ernest Lianggar Kurniawan memberi pengarahan soal siapa yang harys bersiap lebih dahulu untuk masuk ke area Kelenteng Poncowinatan. Meski tak sedikit anggota senior yang turut serta tak ada egoisme dan senioritas yang mereka bawa. Instruksi Ernest yang notabene berasal dari generasi yang lebih muda disimak dengan seksama. Lantas dilanjutkan dengan sembahyang bersama memohon kelancaran kegiatan. Seluruh anggota larut khusyuk dalam doa, tunduk dalam satu komando yang sama; kebersamaan dan kekeluargaan.

Tak mengherankan memang, Ernest berkali-kali menegaskan Paguyuban Budi Abadi Yogyakarta ini memang berlandaskan azas kekeluargaan. Tak ada paksaan untuk bergabung dalam paguyuban ini. Hal itu lah yang tercermin dalam penyelenggaraan Mooncake Festival kali ini. Semua turut ambil bagian dalam menyukseskan acara dengan satu tujuan yang sama. Mengenalkan keragaman budaya Tionghoa pada masyarakat luas.

Semangat itulah yang lantas ditularkan pads gelaran Mooncake Festival 2018. Meski merupakan tradisi Tionghoa, seluruh elemen masyarakat meski berbeda budaya dan agama terlibat di dalamnya. Doa bersama para pemuka agama dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) jadi agenda pembuka acara ini.

Asal Usul Kelenteng

Ketua Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC), Jimmy Sutanto menegaskan fungsi kelenteng sebagai pusat kesenian dan kebudayaan masyarakat Tionghoa. Jimmy menjelaskan mulanya, kelenteng tak semata-mata berfungsi sebagai tempat peribadatan. Kelenteng yang berasal dari kata kaolan ting (bahasa Hokkian) yang berarti gedung tempat mendidik orang. Pada mulanya kelenteng digunakan sebagai tempat berkumpul dan mempelajari seni budaya Tionghoa. Lantas dengan adanya kebutuhan untuk beribadah, disediakanlah tempat-tempat bersembahyang di kelenteng tersebut.

"Dengan kegiatan seperti ini, kami ingin masyarakat luas bisa tahu dan belajar tentang seni budaya Tionghoa. Tentu saya gembira dengan antusiasme masyarakat yang datang, tujuan kami agak seni budaya Tionghoa makin dikenal tercapai," katanya.

Apa yang dikatakan Jimmy bukan isapan jempol belaka. Acara yang sejatinya merupakan tradisi keluarga ini lantas bertransformasi menjadi acara milik semua masyarakat. Tua muda, apapun suku dan agama tumpah ruah memadati halaman Kelenteng Poncowinatan. Bahkan sesaat sebelum liong dupa dimainkan, masyarakat berebut untuk menancapkan dupa di badan liong, sebagai simbol keberkahan yang bisa dinikmati semua orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Mayoritas Publik Puas dengan Kinerja Setahun Prabowo-Gibran

Mayoritas Publik Puas dengan Kinerja Setahun Prabowo-Gibran

News
| Sabtu, 18 Oktober 2025, 22:57 WIB

Advertisement

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA

Wisata
| Senin, 13 Oktober 2025, 10:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement