Advertisement
Politisasi Agama untuk Politik Dikritik Akademisi Hingga Tokoh Sufi

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA- Keluarga Mahasiswa Sumenep Yogyakarta (KMSY) bekerja sama dengan Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) menggelar diskusi bertajuk Politisasi Agama di Tahun Politik, pada Sabtu (6/10/2018).
Diskusi itu memaparkan frasa politisasi agama sebenarnya hanya menggambarkan satu sisi dari relasi agama dan politik. Relasi lainnya adalah agamaisasi politik. Jika politisasi agama bermaksud menjadikan agama sebagai satu kategori politik, maka agamaisasi politik membuat politik jadi agamis.
Advertisement
Diskusi mengundang sejumlah pembicara yaitu akademisi bidang politik dari UGM Prof Abdul Gaffar Karim, tokoh sufi asal Madura Kuswaidi Syafi’ie, serta alumnus Selcuk University sekaligus pemerhati politik Turki Bernando J. Sujibto.
Kuswaidi Syafi’ie menyatakan agama yang dipolitisasi sudah bukan lagi agama yang sebenarnya. Pasalnya, ketika agama dipolitisasi, nilai-nilai spiritual agama yang menyejukkan dan menentramkan jadi banal bahkan mungkin hilang.
Kuswaidi mencontohkan, dahulu ketika nabi membacakan ayat-ayat suci Alquran, para sahabat yang mendengarnya jadi tergetar hatinya. “Namun kini saat kita mendengar politisi meneriakkan takbir, tidak ada efek apa-apa. Yang ada mungkin hanya kesal,” kata dia, Sabtu.
Ia menyayangkan agama yang sakral kini dibawa-bawa ke dalam urusan politik kekuasaan yang sangat profan.
Prof Abdul Gaffar Karim menyatakan pemisahan agama dan politik hanya terjadi di atas kertas. Praktiknya kata dia, cita-cita sekularisme itu hanya isapan jempol belaka.
Poin pentingnya kata dia, warga tak hanya sekadar menjadi pemilih di bilik suara atau memilih siapa saat pemilu. Melainkan menjadi demos (rakyat), yang punya tanggung jawab tidak hanya pada saat pemilihan, tetapi juga mengawal dan mengawasi kerja-kerja kepemimpinan dari siapa pun yang terpilih. Rakyat yang mengawasi akan dapat menyampaikan aspirasi, juga bisa memasukkan nilai moral religius, meskipun tidak dalam bentuk aturan normatif.
Bernando J. Sujibto menjelaskan bagaimana secara sosial politik politisasi agama bisa muncul. Pertama, secara sosiologis politisasi agama tumbuh melalui aktor-aktor politik yang melakukan indoktrinasi secara rapi terhadap konstituennya. Indoktrinasi itu bisa berjalan melalui buku-buku bacaan yang diberikan.
Kedua, politisasi agama bisa lahir karena tidak adanya platform ideologi yang jelas. Sangat jarang sekali di Indonesia ada partai yang memiliki dasar ideologi yang jelas dan menjadi pijakan seluruh perjuangan politiknya.
Hal itu juga diakui Abdul Gaffar Karim. Menurutnya, partai di Indonesia yang memiliki ideologi yang cukup jelas hanya ada dua, yaitu PKS dan PDIP. Namun, posisi keduanya juga masih sering gamang dalam kasus-kasus tertentu.
Ideologi dominan di tubuh partai-partai politik di Indonesia saat ini sebenarnya kata dia adalah kapitalisme. “Mereka lebih banyak mengabdi kepada kepentingan kapital dari perusahaan-perusahaan besar daripada kepentingan rakyat kecil yang seharusnya diperjuangkan,” kata Abdul Gaffar Karim. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Kemenhub: 31 Penumpang KMP Tunu Pratama Jaya Berhasil Diselamatkan
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Tol Jogja-Solo Ruas Klaten-Prambanan Masih Gratis, PT JMJ Tunggu Keputusan Menteri PU Soal Tarif
- Mbah Tupon Jadi Turut Tergugat, Kuasa Hukum Penggugat Ingin Duduk Bersama Selesaikan Perbuatan Melawan Hukum
- Kasus Sengatan Ubur-ubur di Pantai Selatan Bantul Terus Bertambah, Korban Paling Banyak Anak-anak
- Kepala Sekolah Rakyat DIY dari Bantul dan Kulonprogo, Formasi Guru Menyusul
- Pedagang Eks TKP ABA Keluhkan Pengunjung Sepi, Wali Kota Jogja Bakal Gelar Sejumlah Event
Advertisement
Advertisement