Advertisement

Cheng Beng Sebagai Penghormatan pada Leluhur, Begini Persiapannya di Bantul

Herlambang Jati Kusumo
Kamis, 28 Maret 2019 - 07:27 WIB
Mediani Dyah Natalia
Cheng Beng Sebagai Penghormatan pada Leluhur, Begini Persiapannya di Bantul Warga keturunan Tionghoa membersihkan makam leluhurnya, menjelang peringatan Cheng Beng, di Pemakaman Gunung Sempu, Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan, Rabu (27/3)./ Harian Jogja - Herlambang Jati Kusumo

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL—Warga keturunan Tionghoa mulai membersihkan makam para leluhur di kompleks Makam Gunung Sempu, Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan jelang peringatan Cheng Beng atau Qing Mingyang sebagai penghormatan pada para leluhur.

Warga keturunan Tionghoa, Harsono yang ditemui saat membersihkan makam mertuanya, mengungkapkan ia masih melestarikan tradisi ini sebagai wujud penghormatan pada para leluhur, dan mengirim doa untuk mengingat jasa leluhurnya.

Advertisement

 “Sebenarnya hampir sama kalau di Jawa itu Ruwah. Jadi ya mengirim doa ke leluhur, juga membersihkan makamnya. Kalau ada yang rusak juga dibenahi. Sebagai wujud rasa hormat dan membalas yang telah diberikan,” ucap Harsono kepada Harian Jogja, Rabu (27/3).

Harsono mengungkapkan selain sebagai wujud penghormatan kepada leluhur. Tradisi ini juga sebagai ajang untuk berkumpulnya keluarga besar, dan dari luar kota biasanya juga datang. “Jadi kan ada makanan-makanan juga biasanya seperti ketan, wajik yang lengket-lengket. Filosofinya juga biar merekatkan,” katanya.

Pelaksana pemakaman di Gunung Sempu, Pariman mengungkapkan menjelang Cheng Beng biasanya memang banyak keluarga yang datang untuk membersihkan makam. Namun diungkapkannya beberapa makam memang sudah tidak terawat.

“Ya ini mulai banyak yang datang untuk membersihkan, kalau ada yang rusak juga ada yang minta dibenahi, tetapi ya beberapa ada yang tidak terawat juga. Entah sudah meninggal juga keluarganya atau di luar kota,” ucapnya.

 

Program Koko Cici

Humas Koko Cici Jogja 2019, Angellita Nathania mengungkapkan sesuai proker tahunan Koko Cici Jogja, pihaknya akan kembali melaksanakan Cheng Beng dengan membersihkan makam leluhur, utamanya untuk makam yang mulai tidak terawat dan ditumbuhi tanaman liar.

“Sebenarnya hari H itu 5 April, tetapi memang bisa diadakan sepekan sebelum atau sepekan sesudah. Jadi kami pilih untuk di Minggu (7/4). Nanti kami bersihkan yang tidak terawat,” ucapnya.

Angel mengungkapkan kegiatan ini juga sebagai wujud pelestarian tradisi budaya Tionghoa. Ia mengajak utamanya untuk anak muda, agar nantinya tidak tergerus zaman dan terlupakan oleh keturunan Tionghoa yang ada.

Cheng Beng dalam bahasa Hokkian merupakan tradisi untuk memeringati dan menghormati leluhur. Di Tiongkok, ritual ini biasanya dilakukan pada hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin.

Tradisi ini berasal dari Dinasti Tang. Di mana pada masa Kaisar Xuanzong, ritual ini diperingati sebagai pengganti upacara pemujaan terhadap nenek moyang yang dinilai terlalu mahal dan rumit. Maka sebagai gantinya, Kaisar Xuanzong mengumumkan ritual ini diperingati dengan melakukan ziarah kubur sebagai penghormatan kepada leluhur pada hari Qingming.

 

Makin Sederhana

Makam orang Tionghoa identik dengan bentuk makam yang besar dan megah. Bentuknya pun berbeda dengan makam lainnya. Tak jarang di bangunan makam itu disematkan hiasan-hiasan. Bentuk kubur, nisan, dan mausoleum memiliki ciri khas dan gaya arsitektur tersendiri sehingga mudah dikenali. Namun, semakin ke sini pemakaman semakin sederhana.

Ketua I Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC) Jimmy Sutanto menjelaskan bentuk makam itu tak lepas dari kebudayaan Tiongkok. Bentuk makam yang artistik sebagai wujud pengembangan seni budaya.

"Seni dan budaya itu kan idenya banyak. Dulunya, idenya dari kerajaan, dari istana. Lama-lama pemerataan sehingga makam rakyak pun juga dihias seperti itu," kata dia, Rabu.

Pada era Tiongkok Baru, masyarakat dianjurkan untuk mengremasi mayat lantaran jumlah rakyat semakin banyak sehingga membutuhkan tanah yang lebih luas. Dahulu kala, besar kecilnya makam juga menunjukkan status sosial. Semakin besar maka statusnya semakin tinggi dan kaya.

"Tetapi semakin ke sini semakin sederhana. Di DIY ini juga begitu. Ada yang makamnya besar, tetapi makin lama makin sederhana," ujar dia.

Selain jenazah, di dalam makam pada zaman dahulu juga turut dikuburkan emas dan barang berharga lainnya. Untuk sekarang, masyarakat dinilai makin sadar sehingga lebih sederhana  dan tidak mengubur perhiasan lagi. Kalaupun ada barang yang dikubur misalnya baju-baju yang dahulu pernah dipakai semasa hidup atau barang kesukaan lainnya dari almarhum.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Patahan Pemicu Gempa Membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, BRIN: Di Dekat Kota-Kota Besar

News
| Kamis, 28 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement