Advertisement

Klithih Bikin Teman Tak Nyaman, Warga pun Terancam

Lajeng Padmaratri
Senin, 07 Februari 2022 - 11:07 WIB
Arief Junianto
Klithih Bikin Teman Tak Nyaman, Warga pun Terancam Senjata tajam yang diamankan dari para terduga pelaku klithih di Bantul, Senin (29/11/2021) - Harian Jogja/Ujang Hasanudin

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA--Seolah terus menjamur, aksi klithih terus terjadi di Jogja. Selain meresahkan masyarakat, ternyata aksi klithih yang didominasi oleh pelajar ini tak pelak juga membuat resah sesama pelajar yang namanya menjadi ikut tercoreng di mata publik.

Kasus klithih merujuk pada kejahatan jalanan di Jogja. Biasanya, tindakan ini dilakukan geng atau individu remaja dengan menyakiti orang lain secara acak di jalanan maupun bertarget.

Advertisement

Seringkali, klithih atau kejahatan jalanan ini dilakukan tanpa motif yang jelas. Sayangnya, tak jarang pelaku menggunakan senjata tajam untuk menyakiti korban.

Terbaru, tiga pemuda, RAS,19; SP, 18; dan RAP, 17 yang baru saja mendapatkan bebas bersyarat atau asimilasi kembali digulung aparat Polsek Umbulharjo. Ketiganya kedapatan membacok pengendara motor di jalanan sekitar Hotel Sagara.

Sepanjang 2021, Polda DIY mencatat 58 kasus klithih di Jogja dengan jumlah pelaku mencapai 102 orang. Jumlah kasus tersebut meningkat dibandingkan tahun lalu yang tercatat sebanyak 52 kasus.

Dari 102 pelaku, sebagian besar atau 80 orang di antaranya masih berstatus pelajar, selebihnya pengangguran. Kondisi ini tentu mencoreng citra Jogja sebagai Kota Pelajar. Terlebih, fenomena ini rupanya juga disesalkan oleh para pelajar di Jogja.

Salah seorang pelajar di Jogja, Dicky, 17, menuturkan jika fenomena klithih yang dilakukan sesama pelajar membuatnya kesal lantaran citra pelajar dianggap sebagai anak nakal dan tega menyakiti orang lain.

"Saya enggak pernah kayak begitu, enggak mau ikut geng atau klithih itu. Tapi kejadiannya sudah sering banget to, jadi kayak yang disalahkan, oh ini [pelakunya] pasti pelajar," ujarnya, Rabu (2/2/2022).

Diakuinya, kasus klithih yang dilakukan pelajar secara terus-menerus membuatnya tidak senang lantaran pelajar di Jogja jadi punya label negatif. Meski demikian, dia meyakini lingkungan pertemanannya sejauh ini bersih dari pelajar yang terlibat klithih.

Agar terhindar dari klithih, dia berupaya tidak mencari masalah selama di sekolahnya atau dengan kelompok pelajar di sekolah lain. "Main sama teman yang biasa-biasa saja, enggak perlu ikut geng-geng klithih begitu," ucap dia.

Dihubungi terpisah, Afif, 17, juga menyesalkan dengan maraknya klithih, citra pelajar di Jogja menjadi rusak. Akibatnya, dia jadi berpikir ulang jika ingin pergi pada malam hari. "Biasanya orang tua jadi khawatir kalau aku pergi malam. Padahal aku ya main biasa saja ke tempat teman," kata dia.

Dia mengakui maraknya kejahatan di jalanan membuatnya sering merasa tidak aman ketika berkendara, apalagi sendirian. Apalagi, jika melintasi jalur sepi, Afif sering khawatir jadi korban klithih.

"Meskipun enggak ikut geng tertentu kan jadi takut ya kalo pergi malam-malam, takut kena bacok orang random gitu," ujarnya.

Cara Didik

Banyaknya kasus klithih tak hanya disesalkan oleh sesama pelajar. Para orang tua juga mengaku khawatir jika putra-putrinya menjadi korban klithih di jalanan. Lebih jauh, mereka juga waswas jika anaknya rupanya menjadi pelaku klithih.

Heru, 43, orang tua dengan anak yang tengah duduk di bangku SMA, menyadari bahwa remaja seringkali ingin menunjukkan jati dirinya. Namun, dia tidak ingin anaknya melakukan hal itu dengan melampiaskannya pada perilaku negatif seperti klithih.

"Saya dorong anak untuk ikut kegiatan ekskul, anak saya ikut futsal. Paling tidak karena dia sudah ada kegiatan lain, jadi tidak tertarik ikut geng-geng klithih," ujar Heru.

Baginya, mendidik anak laki-laki sebagai anak pertama memang gampang-gampang susah. Apalagi, ketika ia sedang di fase remaja. Heru merasa bahwa hasrat memiliki kebebasan atas apa yang ingin dilakukan anak remaja harus diarahkan supaya kegiatan yang dipilih tetap dalam koridor positif.

"Sejauh ini ya mencoba selalu mengingatkan agar anak tidak merugikan dirinya sendiri," katanya.

Senada, Lisa, 38, yang juga memiliki anak yang berstatus pelajar SMA, turut menyampaikan kekhawatirannya jika anaknya terlibat dalam geng klithih. Selama ini, dia mencoba aktif memantau keberadaan anaknya dan tidak memperbolehkannya untuk pulang malam jika kegiatannya tidak mendesak.

"Anak saya enggak ikut kegiatan apapun di sekolah, tapi saya upayakan untuk memantau terus. Misal sore belum pulang, ditanya lewat chat [Whatsapp] lagi di mana. Enggak perlu dilarang tapi ya harus dipantau," kata dia.

Selama ini, dia merasa beruntung karena anaknya tidak membuat masalah di sekolah maupun di lingkungannya. "Kalau sampai kena masalah, aduh jangan sampai," ujarnya.

Kebanggaan

Sosiolog Universitas Gadjah Mada Soeprapto menuturkan remaja yang melakukan kekerasan dan kejahatan jalanan atau klithih ini bisa dilandasi berbagai motif. Mulai dari rasa kecewa di rumah, balas dendam, hingga unjuk eksistensi diri.

Menurutnya, motif yang sekarang banyak terjadi lebih kepada unjuk diri. Pelaku klithih tega menyakiti lantaran cari penilaian dari teman lain.

"Ketika dia berhasil melukai atau menyerang, dia punya nilai plus. Sebetulnya tidak unjuk diri pada masyarakat ya, tapi kepada kelompok internal atau kelompok yang lain untuk menunjukkan bahwa ini lho aku ada dan ini aku kuat," kata Soeprapto, Rabu.

Terlebih, kecenderungan tersebut biasa dilakukan karena ada kebanggaan yang dirasakan oleh pelaku. Ironinya, kekerasan dan kejahatan ini dilakukan lantaran dia tidak bisa menunjukkan prestasi atau hal positif lain yang membanggakan.

"Kalau dia mau membanggakan dari prestasi tidak bisa, jadi salah satu kebanggaannya itu dari lingkungan yang memuji dia bahwa dia sudah bisa menyakiti, sudah bisa mendapatkan musuh. Makanya mereka mendefinisikan klithih itu sebagai kegiatan mencari musuh. Padahal aslinya klithih itu kan kegiatan mengisi waktu luang secara positif," ucap dia.

Soeprapto mengungkapkan sebelum melancarkan aksinya, pelaku klithih memiliki aturan main di kalangan mereka. Meliputi tidak boleh menyakiti orang tua, perempuan, hingga orang yang berboncengan, serta tidak boleh merampas.

"Kalau menyakiti perempuan dan orang tua, dia enggak akan bangga. Anggapannya, halah biasa saja menyerang perempuan dan orang tua, semua juga bisa. Makanya yang biasanya diserang itu yang dianggap setara. Kalau dia selamat dari kejaran dan berhasil melukai jadi punya nilai plus," ucap dia.

Jika terus berlangsung, maka kondisi ini sangat memprihatikan. Tak hanya di Jogja, kekerasan jalanan juga disebut Soeprapto terjadi di daerah lain di luar Jogja. Namun, istilah yang digunakan biasanya adalah tawuran pelajar.

"Maka dari kepolisian mengusulkan istilahnya jangan klithih tapi anirat [penganiayaan berat]. Diharapkan agar persepsi orang tentang klithih itu kembali positif dan remaja atau masyarakat menjadi sadar bahwa anirat itu sebuah kejahatan dan kekerasaan. Jadi penanganan secara hukum bisa lebih mudah kan itu termasuk kekerasan, apalagi dengan pemberatan maka ada sanksinya," ucap dia.

Menghapus klithih dari Jogja, kata dia, agaknya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemangku kepentingan di Jogja. Namun, Soeprapto mengingatkan bahwa fenomena ini tidak bisa hanya ditangani oleh satu pihak, melainkan perlu membuat perencanaan tindakan yang sistemik dengan kolaborasi antarorganisasi perangkat daerah. “Peran keluarga dan lingkungan sekitar juga tak kalah penting,” ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Patahan Pemicu Gempa Membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, BRIN: Di Dekat Kota-Kota Besar

News
| Kamis, 28 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement