Advertisement

Dari Kulonprogo, Mister Tom Bawa Daun Tom Mendunia

Hafit Yudi Suprobo
Kamis, 17 Februari 2022 - 17:27 WIB
Budi Cahyana
Dari Kulonprogo, Mister Tom Bawa Daun Tom Mendunia Batik hasil pewarnaan daun tom. - Harian Jogja/Hafit Yudi Suprobo

Advertisement

Harianjogja.com, KULONPROGO—Widodo Simbolon dijuluki Mister Tom karena menghasilkan karya yang mendunia berkat daun tom, tanaman yang banyak tumbuh di Kulonprogo.

BACA JUGA: Menelusuri Bioskop Lama di Jogja, Bertahan dengan Film Seks Sebelum Tumbang karena Monopoli

Advertisement

Pewarnaan batik lazimnya menggunakan bahan sintetis. Namun, sekarang mulai berkembang pemakaian pewarna dari bahan-bahan alamiah. Selain ramah lingkungan, pewarna batik alam tidak kalah dari bahan sintetis.

UNESCO telah menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Baik acara formal maupun nonformal, batik kerap digunakan oleh masyarakat dari berbagai kalangan maupun lintas generasi. Bahkan, batik kini telah dikenal sebagai salah satu fesyen yang menawarkan sejumlah keindahan corak maupun motif.

Sering kali, pembatik menggunakan bahan sintetis seperti indigosol, remasol, atau napthol. Zat pertama yang terkenal adalah zat napthol. Sifatnya yang tidak larut dalam air, dibantu dengan zat lainnya seperti kostik. Teknik pencelupan napthol dibagi menjadi dua cara.

Pertama, pencelupan dengan napthol yang dapat menghasilkan warna apa pun. Napthol yang dipakai biasanya adalah napthol AS, napthol AS-G, napthol AS-OL, dan lainnya. Tahapan yang kedua adalah membangkitkan warnanya dengan garam diazonium. Garam yang dipakai biasanya garam biru C, garam biru BB, garam merah B, dan seterusnya.

Kemudian, zat pewarna kedua yang lazim dipakai adalah pewarna indigosol. Biasanya indigosol dipakai karena memiliki ketahanan akan kelunturan yang kuat, sifat warnanya yang rata dan tergolong berwarna cerah. Kelebihan lainnya adalah harganya yang murah dan gampang didapatkan.

Zat yang terakhir adalah remasol. Remasol adalah zat pewarna sintetis yang digunakan untuk teknik mencolet pada batik. Sifat dari zat ini adalah larut dalam air. Sifat utamanya tahan dari kelunturan, memiliki daya afinitas yang rendah.

BACA JUGA: Pembebasan Lahan Tol Jogja Bawen Tercepat di Indonesia, Ini Penyebabnya

Namun, ketiga zat di atas dapat digantikan dengan bahan pewarna alamiah, misalnya dengan daun indigofera atau yang sering disebut dengan indigo. Ide tersebut muncul di benak Widodo Simbolon, warga kalurahan Banaran, Galur, Kulonprogo.

Pada akhir 1999 silam, Widodo banyak menemukan daun indigo yang oleh warga di sekitar pesisir selatan Kulonprogo disebut sebagai daun tom. Oleh Widodo, daun indigo yang tidak bertuan itu akhirnya dipotong kemudian ia bawa pulang.

“Saya dulu nyepeda [bersepeda] ontel di pesisir pantai selatan Kulonprogo. Daun indigo ini sudah banyak, bahkan sejak kerja paksa Belanda. Dari pantai Trisik sampai dengan Cilacap. Akhirnya, saya panen terus bawa pulang," kata Widodo pada Minggu (6/2/2022).

Menurut Widodo, daun tom yang telah dipanennya itu kemudian ia taruh di sebuah baskom dan direndam dengan air. Keesokan harinya, daun indigo yang telah direndam mengeluarkan zat indigotin dan menghasilkan warna hijau pekat.

“Saya kemudian memasukkan daun sirih atau injet ke dalam air rendaman daun tom. Saya angkat berulang kali air rendaman indigo yang telah dicampurkan oleh daun sirih tersebut berulang kali. Istilah jawane itu dikebur. Dari proses itu kemudian muncul buih biru yang pekat di dalam baskom,” kata Widodo.

“Pengeburan dilakukan hingga buih birunya menghilang. Kemudian hasilnya saya diamkan selama kurang lebih satu jam. Di bawah baskom itu sudah terdapat endapan daun tom yang telah dikebur sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai pasta tom atau indigo," sambung Widodo.

Pasta tom yang berwarna biru pekat kemudian dijual ke sejumlah perajin batik. Sekitar tahun 2000-an, pasta tom ia jual sekitar Rp20.000 sampai dengan Rp25.000. Usaha penjualan pasta tom Widodo berjalan lancar hingga di tahun 2003 ia memutuskan untuk membuat batik.

BACA JUGA: Lahan Tol Jogja Solo yang Lewati Ring Road Utara Segera Diidentifikasi

“Saya kepikiran dengan warga yang ada di sekitar rumah. Bagaimana mereka bisa ikut bekerja dan meningkatkan perekonomian. Dengan modal yang cukup dari penjualan pasta tom, akhirnya saya beli kain mori di Pasar Beringharjo. Dulu saya beli mori jenis Garuda Mahkota, harganya sekitar Rp90.000. Saat ini, harganya sudah Rp400.000,” kata Widodo.

Widodo kemudian pulang dan memotong kain mori yang ia beli seukuran 33,5 meter menjadi beberapa bagian. Setelah dipotong, kain ia warnai biru hasil endapan daun tom yang dibuatnya. Ia bawa sejumlah kain yang telah diwarnai ke tempat pengecapan batik di Bangunharjo, Sewon, Bantul.

“Di situ saya bertemu beberapa juragan batik. Seseorang sempat bertanya ke saya. ‘Asal dari mana?’ Saya jawab dari Kulonprogo. ‘Loh, Kulonprogo ki ana batik pa?. Saya jawab, ada kok ini saya mulai buat,” ujar Widodo.

Warna Bagus

Widodo mulanya pesimistis saat melihat batik hasil pewarnaan daun tom dibandingkan dengan batik yang dibawa oleh sejumlah juragan batik di Jogja. Namun, sejumlah juragan batik menilai batik buatan Widodo mempunyai warna yang bagus.

“Sejumlah juragan batik itu kemudian tanya ke saya. ‘Warnanya pakai apa?’ Saya jawab pakai pewarna alami. Mereka tertarik karena baru tahu alam bisa memberikan warna yang baik di kain batik. Akhirnya, ada perajin batik yang mewarnakan batiknya di tempat saya. Lambat laun dari mulut ke mulut pewarnaan batik alam milik saya dikenal,” ucap Widodo.

Kepiawaiannya Widodo dalam mewarnai batik dengan sejumlah bahan alami seperti dari daun tom, kunyit, secang, kulit buah manggis, bahkan dari tlethong atau kotoran sapi membuat namanya melejit di dunia batik DIY. Ia sempat diminta oleh Balai Besar Kerajinan dan Batik di Jogja untuk menjadi narasumber di setiap kegiatan yang berkaitan dengan membatik.

Dari pelatihan itu dia bahkan mendapat nama Simbolon. Nama belakang Simbolon ia dapatkan dari warga di Sumatera Utara saat ia berbagi informasi mengenai pewarnaan batik dari bahan alami, khususnya daun tom pada 2012 silam.

"Warga di Sumatra Utara itu bahkan menamakan warna daun tom ini sebagai blue gold karena, warna biru itu sangat berharga bagi mereka. Kalau di Batam, daun tom ini namanya daun salon. Saya juga sudah keliling sekitar Jawa Tengah bahkan ke Kalimantan untuk cerita tentang daun tom,” ujar Widodo.

BACA JUGA: Selter Rusunawa Bener untuk Pasien Covid-19 di Jogja Sudah Penuh

Pewarnaan batik alam milik Widodo sudah dikenal hingga ke Jepang. Sebagian penduduk Jepang tertarik dengan pewarnaan daun tom yang bisa bertahan baik di kain dan hasilnya justru dinilai lebih baik dari warna sintetis.

“Mereka datang ke rumah saya, melihat proses pewarnaan batik hingga pembuatan batik secara keseluruhan. Saya berdayakan warga sekitar untuk membuat uba rampe. Mulai saat itu, batik saya mulai terkenal sampai ke luar negeri seperti ke Italia dan Kanada,” ucap Widodo.

Motif batik buatan Widodo sendiri terdiri dari motif pakem Jawa, mulai dari Sido Asih, Wahyu Tumurun, Semen Romo, dan Parang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan untuk mengikuti selera pasar, akhirnya Widodo membuat motif batik kontemporer maupun pesisiran.

“Harga batik tulis yang kami buat dua meter sekitar Rp300.000 sampai dengan Rp400.000. Pandemi Covid-19 sempat berdampak ke kami. Namun, tidak signifikan. Kami tetap bisa produksi batik maupun pasta batik,” kata Mister Tom, julukan lain Widodo.

Widodo berharap agar batik mampu menjadi komoditas yang mampu memberdayakan ekonomi masyarakat, khususnya perajin batik. Masyarakat diharapkan juga mengapresiasi karya batik yang dibuat oleh siapa pun itu pengrajinnya. Agar, kelestarian batik bisa terjaga sampai ke anak cucu nanti.

Pernah Jaya

Pewarnaan kain dengan Indigofera sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak 2500 sebelum masehi, kebudayaan Hindu di India telah mengetahui dan memanfaatkan salah satu tumbuhan dari marga Indigofera sebagai pewarna.

Indigofera menghasilkan warna biru, dan berdasarkan sejarah warna biru merupakan warna paling terdahulu yang ditemukan. Jika di Jawa tanaman ini disebut tom, masyarakat Sunda menyebutnya tarum,

Jika merunut ke belakang, pada 352-395 M berdiri kerajaan di tanah Pasundan bernama Tarumanegara yang konon nama ini diambil dari nama tanaman tarum.

Indonesia di bawah pemerintahan Hindia Belanda pada abad-19, pernah menjadi penghasil pewarna alami ini. Daerah Sewugalur, Galur, Kulonprogo, pernah dikenal sebagai penghasil Indigofera yang lumayan besar.

Menurut buku Tumbuhan Berguna Indonesia yang ditulis K Heyne dan diterbitkan Balitbang Kehutanan (1987), kemahsyuran Indigoferatinctoria di Indonesia tercatat antara tahun 1918-1925. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada 1921 yang mencapai 69.777 kg berat kering (Heyne 1987). Memasuki abad ke-20, pasar indigo mulai turun karena muncul pewarna sintetis buatan pabrik yang lebih murah. Banyak perkebunan indigo beralih ke komoditas lain, salah satunya gula.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja
Pemda DIY Perkuat Komitmen Antikorupsi

Pemda DIY Perkuat Komitmen Antikorupsi

Jogjapolitan | 12 hours ago

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Respons Serangan Israel, Iran Aktifkan Pertahanan Udara dan Tangguhkan Penerbangan Sipil

News
| Jum'at, 19 April 2024, 10:37 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement