Kisah Pahlawan Revolusi Kolonel Sugiyono, Sering Kisahkan Beratnya Jadi Tentara
Advertisement
Harianjogja.com, Gunungkidul — Salah seorang Pahlawan Revolusi, Kolonel Sugiyono gugur dalam pemberontakan G30S/PKI pada 2 Oktober 1965 lalu.
Meski demikian, keluarga besar Sang Kolonel masih ingat sampai sekarang karena yang bersangkutan tumbuh dan besar di Dusun Gedaren 1, Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul.
Advertisement
Salah satunya diceritakan oleh Sugeng Pratopo,72, pensiunan PNS di lingkup Pemkab Gunungkidul yang sekarang tinggal di Kalurahan Baran, Rongkop. Meski sudah berlangsung lebih dari 60 tahun, dia masih ingat tentang sosok Kolonel Sugiyono. “Saya memanggilnya om, karena ayah saya lebih tua,” kata Topo, sapaan akrabnya saat dihubungi Kamis (29/9/2022).
BACA JUGA: Mengenal Aktivitas Tobong Gamping, Ikon Baru di Gunungkidul
Dia bercerita, Sang Om lahir dan besar di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong. Topo tidak menampik setelah berkarier di militer, Kolonel Sugiyono sering pulang ke rumah orang tuanya.
Pada saat pulang, sambung Topo, para keponakan sering diajak bertamasya ke Kota Jogja, salah satunya melihat-lihat ke kebun binatang menggunakan kendaraan dinas yang dibawa pulang. “Kadang pakai jenis jip, tetapi juga tak jarang membawa truk pengangkut pasukan saat pulang,” katanya.
Selain itu, Kolonel Sugiyono juga sering bercerita tentang susahnya menjadi seorang tentara. Oleh karenanya, saat berkumpul dengan keponakan, dia meminta agar tidak menjadi tentara. “Jadi tentara itu berat. Jadi saat dewasa jangan masuk [menjadi tentara] biar Om saja,” ungkapnya.
Menurutnya keluarga sangat kehilangan Kolonel Sugiyono saat mengetahui jadi korban kekejaman PKI. Terlebih lagi Sang Kolonel merupakan salah satu yang disayangi, baik oleh orang tua maupun saudara-saudara lainnya.
Bahkan, sambung Topo, saat neneknya (ibu Kolonel Sugiyono) Sutiyah Semitorejo mengetahui anaknya mati ditangan PKI menjadi syok dan sakit-sakitan. Kesehatannya terus menurun hingga akhirnya meninggal dunia.
“Meninggalnya kurang dari satu tahun setelah kepergian Om Gik. Ya siapa yang tidak terpukul terkait dengan peristiwa tersebut, apalagi anaknya menjadi korban,” katanya.
Uniknya pada saat pemakaman sang nenek dilakukan dengan cara kemiliteran. Padahal, sambung dia, tidak yang berasal dari keluarga militer karena yang menjadi tentara hanya Kolonel Sugiyono.
“Eyang bukan dari militer. Sedangkan anaknya yang berjumlah sebelas hanya Om Gik yang jadi tentara. Sedangkan lainnya banyak yang menjadi lurah, pamong hingga pegawai bank,” katanya.
Disinggung mengenai keberadaan rumah, Topo mengakui memang sudah lama ditinggalkan sejak kepergian sang nenek. “Kebetulan yang terakhir tinggal ibu saya. Tapi, setelah bapak diangkat menjadi lurah, maka pindah ke Koripan yang juga masih di Kalurahan Sumbergiri. Jadi dibiarkan hingga kondisinya seperti sekarang ini,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Kena OTT KPK, Gubernur Bengkulu Dibawa ke Jakarta untuk Pemeriksaan
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Pelaku Praktik Politik Uang Bakal Ditindak Tegas Polres Kulonprogo, Ini Hukumannya
- 3 Alasan Relawan Bolone Mase Mendukung Penuh Kustini - Sukamto di Pilkada Sleman
- KPU Bantul Petakan TPS Rawan Bencana Hidrometeorologi, Ini Lokasinya
- Lestarikan Warisan Budaya Tak Benda, Kementerian Kebudayaan Gelar Indonesia ICH Festival di Jogja
- Kampanye Pilkada Kulonprogo Rampung, Logistik Siap Dikirim
Advertisement
Advertisement