Advertisement
156 KDRT Terjadi di DIY Sampai dengan Agustus 2022
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Jogja menyebut sampai dengan Agustus 2022 ini telah terjadi 156 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di wilayah DIY yang tercatat dalam Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA). Dari jumlah kasus itu, sebanyak 24 masuk ke meja persidangan.
Kepala DP3AP2KB Kota Jogja, Edy Muhammad, mengatakan untuk memberikan pendampingan kepada korban KDRT jawatannya telah memperpanjang kerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Kerja sama ini sudah masuk tahun kedua. Peradi akan fokus memberikan pendampingan dan pertimbangan hukum kepada korban KDRT.
Advertisement
"Total kasus ada 156 sampai dengan Agustus dan itu yang tercatat di SIGA, artinya ini data gabungan termasuk dari lembaga lain misalnya Rifka Anisa atau lainnya. Dari jumlah itu yang masuk sidang ada 24," kata Edy, Minggu (2/9/2022).
Edy menjelaskan KDRT tidak hanya dialami oleh perempuan saja, tetapi juga anak-anak. Bahkan belakangan, kasus KDRT juga dibarengi dengan kekerasan seksual. Menurutnya, penanganan kasus KDRT di DIY atau Kota Jogja kini sudah lebih optimal lantaran koordinasi dan sinergi dengan lembaga atau instansi terkait sudah saling terhubung dengan tepat. Misalnya saja jika terdapat aduan kasus KDRT di tingkat polsek, petugas akan berkoordinasi dengan UPT Perlindungan Perempuan dan Anak setempat.
"Ini untuk penanganan lebih lanjut terkait dengan psikologi korban, nanti apabila terkait dengan kasus hukum baru konselor Peradi yang turun tangan," ucapnya.
Sinergi tersebut juga dilakukan dengan dinas terkait dari kabupaten lain yang ada di DIY. Pasalnya kasus KDRT yang dilaporkan di Jogja biasanya terjadi secara acak, dalam arti tempat kejadian perkara (TKP) di Jogja, namun bukan ber-KTP Jogja atau domisili setempat. Oleh karena itu, penanganannya akan dikoordinasikan dengan instansi terkait dari kabupaten asal korban.
"Kalau temuannya seperti itu tetap kami kawal dan limpahkan dengan instansi asal korban. Karena penanganan pendampingan kita masih khusus buat warga Jogja dan gratis," ujarnya.
Edy menambahkan, peran konselor dari Peradi itu tidak hanya mendampingi korban KDRT di tingkat pengadilan. Hal ini disebabkan tidak semua kasus KDRT masuk ke meja hijau. Saat kasus KDRT terjadi, korban tentu membutuhkan pertimbangan dan referensi hukum berkaitan dengan kasus yang menimpa dirinya. Konselor hanya memberikan pertimbangan jika korban mau melanjutkan ke meja hijau atau tidak. Jika kasus tidak ingin dilanjutkan, penyelesaian hanya dilakukan bersama suami atau pelaku KDRT.
"Memang ada perbedaan antara pengaduan kekerasan ke UPT dengan ke polisi, jadi lebih kepada posisi. Tidak semua harus berlanjut, kalau korban tidak mau berlanjut sidang ya tidak masalah. Beda dengan kekerasan seksual itu kan langsung pakai UU TPKS, biasanya kita langsung sarankan ke polisi," ungkap Edy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Dipimpin Nana Sudjana, Ini Sederet Penghargaan Yang Diterima Pemprov Jateng
Advertisement
Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali
Advertisement
Berita Populer
- Jadwal Pemadaman Listrik Kamis 25 April 2024, Giliran Sleman, Kota Jogja dan Kulonprogo
- Program Transmigrasi, DIY Dapat Kuota 16 Kepala Keluarga
- Korban Apartemen Malioboro City Bakal Bergabung dengan Ratusan Orang untuk Aksi Hari Buruh
- Warga Kulonprogo Ajukan Gugatan Disebut Nonpribumi Saat Balik Nama Sertifikat, Sidang Ditunda Lagi
- Biro PIWPP Setda DIY Gencarkan Kampanye Tolak Korupsi
Advertisement
Advertisement