Advertisement

Hilangkan Stigma Masalah Kesehatan Mental lewat Gerakan Lintas Agama

Lugas Subarkah
Senin, 10 Oktober 2022 - 21:37 WIB
Arief Junianto
Hilangkan Stigma Masalah Kesehatan Mental lewat Gerakan Lintas Agama Ilustrasi. - JIBI

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN — Memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022, Emotional Health for All (EHFA) bekerja sama dengan Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum  (Yakkum) dan Black Dog Institute menggelar Deklarasi Relio-Mental Health Indonesia yang merupakan gerakan kesehatan mental lintas agama guna mengatasi tantangan kesehatan mental yang terjadi di Indonesia. 

Deklarasi akan dilaksanakan pada 29 Oktober mendatang dengan dihadiri oleh sekitar 4.000 orang termasuk perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Komisi Waligereja Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Parisada Hindu Darma Indonesia, Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) dan International Center for Religions and Peace.

Advertisement

Project Leader & Founder, EHFA dan President Indonesian Association for Suicide Prevention, Sandersan Onie, menjelaskan berdasarkan penelitian terbaru, tingkat bunuh diri di Indonesia yang sebenarnya diperkirakan mencapai empat kali lipat dari angka yang dilaporkan dan jumlah percobaan bunuh diri setidaknya tujuh kali lipat dari jumlah tersebut.

BACA JUGA: Silaturahmi dengan Warga Terjalin, LDII Balong Belum Diizinkan Beribadah di Masjidnya

Saat ini di Indonesia hanya terdapat 4.400 psikolog dan psikiater dengan jumlah populasi lebih dari 250 juta orang. Kesehatan mental dan bunuh diri berdampak besar pada ekonomi, dengan perkiraan biaya Rp582 triliun per tahun dalam kematian dan hilangnya produktivitas, sementara kemajuan untuk penanganan kesehatan mental berjalan lambat.

“Stigma yang menjadi isu utama adalah dimana masyarakat cenderung mendiskriminasi orang dengan gangguan kesehatan mental dengan menganggap sebagai gila atau tidak waras,” ujarnya dalam konferensi pers Deklarasi Relio-Mental Health Indonesia secara daring, Senin (10/10/2022).

Dia menceritakan sering menemukan kejadian diskriminasi yang didasari pada keyakinan yang keliru tentang agama. Misalnya, orang dengan gangguan kesehatan mental dianggap karena kurang imannya. Inilah sebabnya mengapa meskipun bertahun-tahun dilakukan pendidikan tentang kesehatan mental, namun kemajuannya sangat lambat.

Masih banyak orang dengan gangguan kesehatan mental yang enggan atau bahkan tidak akan mengunjungi psikolog, melainkan justru berbicara dengan pemuka agama. 

“Hal ini terlebih karena kita semua menyadari bahwa agama memainkan peran yang besar di Indonesia,” kata Sandersan.

Oleh karena itu, EHFA memutuskan untuk mengambil pendekatan radikal mengenai edukasi kesehatan mental, melalui deklarasi pertemuan antarumat agama.

Deklarasi ini bertujuan untuk menegaskan bahwa setiap orang di Indonesia, termasuk para psikolog, guru, keluarga, pelajar dapat mencari bantuan kesehatan mental tanpa harus didiskriminasi atau distigmatisasi.

Berdasarkan isi deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa pemuka dari lima kelompok agama setuju bahwa masalah kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan, serta mengedepankan pentingnya peran lingkungan dan keluarga dalam mendampingi orang dengan masalah kesehatan mental.

“Di saat yang sama, deklarasi ini juga mendorong lembaga keagamaan dan instansi pemerintah seperti Kementerian untuk berkolaborasi dalam meningkatkan pelayanan dan penanganan masalah kesehatan mental serta pencegahan bunuh diri,” katanya.

BACA JUGA: Mahasiswa UGM Bunuh Diri karena Depresi, Begini kata Rektor

Aktivis HAM dan penggiat inklusi, Bahrul Fuad, menuturkan betapa pentingnya pendekatan agama terhadap pandangan disabilitas di Indonesia.

Awalnya, maysarakat religi dan agama memandang gangguan jiwa sebagai kutukan sedangkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berarti melakukan dosa besar.

“Dampaknya sangat besar. Orang yang mengalami gangguan jiwa, dalam konteks agama mereka misalkan tidak mendapatkan hak waris karena dianggap tidak cakap mengelola harta benda. Mereka juga dipandang tidak cakap membangun keluarga,” ungkapnya.

Faktanya, perkembangan ilmu pengetahuan menunjukkan gangguan jiwa terjadi karena banyak faktor eksternal, bukan kutukan atau turunan. Faktor eksternal ini seperti situasi kondisi ekonomi masyarakat, lalu tekanan psikologis dari luar.

Maka para tokoh agama perlu melakukan tafsir ulang ayat atau isi kitab suci yang bertentangan dengan fakta ilmiah kesehatan mental, mengingat tafsir keagamaan terhadap kesehatan mental menyudutkan ODGJ.

“Saya berharap dengan bahasan ilmiah tadi, tokoh agama bisa melakukan tafsir ulang terhadap teks keagamaan yang lebih positif dan dapat mendorong baik kepada keluarga, masyarakat, pemerintah untuk lebih aware terhadap kesehatan mental,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Dipimpin Nana Sudjana, Ini Sederet Penghargaan Yang Diterima Pemprov Jateng

News
| Kamis, 25 April 2024, 17:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement