Advertisement

Keberlangsungan Penghayat Kepercayaan di Jogja Jadi Spirit Hidup Pria Ini

Sirojul Khafid
Jum'at, 02 Desember 2022 - 20:27 WIB
Arief Junianto
Keberlangsungan Penghayat Kepercayaan di Jogja Jadi Spirit Hidup Pria Ini Bambang Purnomo (kedua dari kanan) saat berkunjung ke rumah salah seorang penghayat Marapu di NTT. - Istimewa/Dok. Pribadi

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA — Menjadi penghayat kepercayaan sejak era 1970-an, Bambang Purnomo paham betul dinamika keyakinan ini berjalan di Indonesia. Setelah berjuang hingga ahirnya bisa mencantumkan identitasnya di KTP, kini tugasnya adalah berupa meyakinkan para penghayat itu sendiri.

Di hadapan Bambang Purnomo ada sepasang manusia yang sedang berbahagia. Baskoro Waskitho Husodo dan Sekar Dwi Yulianti hendak menikah.

Advertisement

Bambang menjadi juru dhaup, sebutan juru nikah dalam penghayat Kerokhanian Sapta Darma. Pernikahan dengan adat penghayat pada Maret 2022 ini berlangsung pertama kalinya di Sleman. Sebelumnya, pernikahan penghayat belum tercatat di akta nikah secara resmi.

Bambang seakan mengingat masa 44 tahun yang lalu. “Dulu saya menikah secara penghayat, yang menikahkan ayahnya Baskoro. Ini semacam balas budi,” kata Bambang beberapa waktu lalu.

Dalam proses mengurus persyaratan menikah, Baskoro perlu bolak-balik kantor Disdukcapil Sleman beberapa kali.

Banyak kendala lantaran petugas teknis belum familiar dengan penghayat kepercayaan. Urusan baru lancar saat dia mengontak teman yang ada di Kementerian Dalam Negeri.

Beruntung, keribetan ini tidak terjadi saat Bambang menikah dulu. Dia menikah beberapa bulan sebelum Kartu Tanda Penduduk (KTP) mengharuskan setiap masyarakat mencantumkan agama. Implikasinya banyak, termasuk penghayat kepercayaan yang tidak diakui negara secara administratis. Kala itu, agama yang diakui di Indonesia hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

“Dampak aturan memasukkan agama ke KTP besar sekali pada jumlah penghayat, mereka setelah adanya aturan itu mau tidak mau masuk ke agama, harus memilih. Keharusan itu kan pemaksaan, itu melanggar hak asasi manusia,” katanya.

BACA JUGA: TV Analog di DIY Dinonaktifkan Besok, Begini Cara Daftar STB Gratis

Keadaan ini bertahan sampai 2017, saat beberapa orang perwakilan penghayat di Indonesia menggugat pengertian agama di Mahkamah Konstritusi.

Upaya ini membuat kepercayaan penghayat diakui dan bisa masuk dalam kolom agama KTP. Meski “pembungkaman” identitas ini masih berdampak sampai sekarang.

Stigma buruk yang sudah kadung tersemat para kepercayaan penghayat membuat masyarakat masih sering terkendala dalam mengurus berbagai hal.

Tidak hanya masyarakat umum, bahkan penganut penghayat kepercayaan juga masih belum berani menunjukan identitasnya.

Lebih Berani

Ini pekerjaan rumah yang cukup besar bagi Bambang, terutama dalam menjalankan amanahnya sebagai Ketua Majelis Luhur Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) DIY. Terlepas dari perlu adanya perbaikan di banyak hal, setidaknya sudah ada fasilitas dari pemerintah berupa pengakuan penghayat kepercayaan.

Bambang mengatakan saat ini yang perlu terus ditingkatkan berupa pemahaman dari penganut penghayat kepercayaan itu sendiri.

Bambang Purnomo saat menikahkan sepasang penghayat kepercayaan Sapta Darma./Istimewa

Bersama dengan berbagai kelompok penghayat lain, Bambang mengadakan pertemuan resmi secara berkala. “Saya undang para penghayat supaya mereka lebih sadar. Pertemuan ini bukan sekali dua kali, tetapi terus menerus,” katanya.

Upaya pendataan juga diupayakan Bambang. Jumlah dari setiap penghayat kepercayaan bisa menjadi gambaran dan peta persebaran di DIY. Meski di lapangan, tidak semua penghayat mau didata. Tidak sedikit yang masih takut lantaran stigma negatif penghayat di masyarakat.

Adapula alasan lain berupa pasangan atau keluarganya belum menjadi penghayat. Sehingga dia hanya penghayat seorang diri di keluarganya. Sejuah ini penghayat yang terdata baru Sapta Darma dengan jumlah sekitar 300 orang.

Upaya nonformal juga terus dilakukan. Terutama dalam kehidupan sehari-hari. Pernah suatu ketika, ada penghayat yang meninggal. Pihak keluarga dari orang yang meninggal dunia tidak mau jenazah dipocong atau dibalut kain kafan.

Namun, warga sekitar tidak berani mengenakan sorjan Jawa, sesuai keinginan keluarga. Di KTP, jenazah masih beragama Islam.

Saat mendengar berita itu, Bambang datang ke lokasi dan memberi tahu warga sekitar. “Karena orang tersebut bagian dari Sapta Darma, maka pakaian saat meninggal dibuat model surjan. Di Sapta Darma sudah ada tata caranya. Namun, belum semua jenis penghayat memiliki tata cara seperti ini,” kata Bambang.

Meski ada beberapa masyarakat yang masih memberi stigma buruk, kabar baiknya beberapa masayrakat juga sudah mulai paham. Suatu hari Bambang mengundang warga sekitar rumahnya untuk kenduri. Meski beda keyakinan, mereka berdoa bersama.

“Kami diterima di masyarakat. Apapun keyakinannya, tergantung dari perilaku kita di masyarakat, agama persoalan pribadi,” katanya.

BIODATA

Nama lengkap:

Bambang Purnomo

Usia:

70 tahun

Jabatan:

Ketua MLKI DIY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Patahan Pemicu Gempa Membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, BRIN: Di Dekat Kota-Kota Besar

News
| Kamis, 28 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement