Advertisement

Promo November

Siasat HB IX agar Warga DIY Tak Jadi Romusa Pembangunan Selokan Mataram

Lugas Subarkah
Sabtu, 10 Juni 2023 - 20:17 WIB
Maya Herawati
Siasat HB IX agar Warga DIY Tak Jadi Romusa Pembangunan Selokan Mataram Selokan Mataram Jogja - dok - Harian Jogja

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Selokan Mataram menjadi saksi sejarah pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk Jogja. Kanal irigasi sepanjang 30,8 km yang menghubungkan Sungai Progo dan Opak ini dibangun agar penduduk Jogja tidak menjadi pekerja paksa.

Keriput telah menutupi sebagian besar wajah Cokro Sudarmo, salah satu pekerja yang membangun Selokan Mataram. Di usianya yang akan menyentuh satu abad pada tahun depan, Mbah Cokro menghabiskan waktu Rabu (7/6/2023) pagi itu, dengan duduk-duduk di rumahnya di Dusun Pedak, Kalurahan Sinduharjo, Ngaglik, Sleman.

Advertisement

Mbah Cokro tinggal seorang diri di rumah sederhananya yang berdinding bambu dan beralas cor semen. Tampak kontras dengan permukiman di sekitarnya yang dibangun dengan lebih modern. Sehari-hari, Mbah Cokro diurus oleh cucunya yang sudah dewasa, yang rumahnya di belakang rumah Mbah Cokro. Pagi itu, cucu Mbah Cokro membawakan lemper dan teh panas untuk sang kakek.

Usia senja telah menggerogoti kemampuan fisik Mbah Cokro. Untuk berjalan ia harus menggunakan dua tongkat bambu buatan sendiri. Sudah sekitar lima tahun ia berhenti mengurus sawahnya yang terletak tak jauh dari rumahnya, di pinggir Jalan Kaliurang Km 11. Kini, sehari-hari ia hanya di rumah dan terkadang berkeliling di sekitarnya.

Walau sudah 99 tahun, Mbah Cokro masih bisa dengan lancar menceritakan bagaimana masa mudanya menghadapi kolonialisme Belanda dan Jepang, hingga dipekerjakan untuk membangun sejumlah proyek seperti Gua Jepang di kaki Merapi dan Selokan Mataram. Hanya saja, ia tidak ingat tahun berapa itu terjadi. “Saya lupa, saya tidak sekolah,” katanya dalam bahasa Jawa.

Ia menceritakan awal mula keterlibatannya dalam pembangunan Selokan Mataram karena diperintahkan langsung oleh lurah waktu itu. Dari desanya, ada sekitar lima sampai 10 pemuda yang ikut dalam proyek tersebut. Dari jumlah itu, hanya tersissa Mbah Cokro yang sampai saat ini masih hidup. “Besok tolong bantu membuat kali [selokan], di utara Sekip [UGM], dibuat kali dari barat,” katanya menirukan ucapaan lurah saat itu.

BACA JUGA: Anies Baswedan Jadi Menkominfo Gantikan Johnny G Plate, Cek Faktanya

Dari penuturan lurah tersebut, Selokan Mataram dibangun untuk menyokong kebutuhan air, terutama untuk sawah dan kebun, bagi masyarakat Jogja. Dalam pengerjaan Selokan Mataram, Mbah Cokro bersama ribuan pekerja lainnya menggali tanah dan secara berantai mengangkut tanah ke tepian selokan. “Saya membuang tanah dari galian kali ke samping kanan-kirinya,” katanya.

Seingatnya, tidak ada bayaran layak yang diterima para pekerja untuk mengerjakan Selokan Mataram. Namun ia masih ingat biasanya ketika sedang istirahat para pekerja membeli dawet yang berjualan di dekat proyek. “Diideri dawet, saat istirahat di tengah kali yang sedang digarap, pada beli dawet itu,” kata dia.

Berdasarkan informasi yang dia dapat, pembangunan Selokan Mataram juga menjadi upaya Sri Sultan HB IX untuk menghalangi para pemuda agar tidak diambil dan dipekerjakan Jepang. Sehinga, para pemuda yang bekerja membangun Selokan Mataram bisa tetap berada di desanya masing-masing. “Itu dari Sultan, untuk menghalangi pemuda-pemuda agar tidak dihabiskan Jepang,” ungkapnya.

Selain membangun Selokan Mataram, Mbah Cokro juga pernah diperintahkan oleh jogoboyo desanya untuk mengerjakan proyek Gua Jepang di kaki Gunung Merapi. Di sana ia memiliki dua tugas, yakni mencari pasir dari Kali Boyong untuk dibawa naik ke gua dan melubangi dinding tebing untuk dijadikan gua. “Alat yang dipakai tombak, disogokkan, sehingga cuma sedikit-sedikit [lubang yang dihasilkan],” katanya.

Berbeda dengan Selokan Mataram, Gua Jepang murni untuk keperluan militer Jepang. Gua tersebut berfungsi untuk tempat persembunyian para tentara Jepang ketika ada serangan dari luar entah dari pihak Indonesia maupun sekutu. “Kalau Jepang masih di sini untuk sembunyi ketika ada tentara [Indonesia atau sekutu], tempatnya gelap,” katanya.

Merunut pada artikel di website resmi Dinas Kebudayaan DIY, pembangunan Selokan Mataram merupakan salah satu strategi atau siasat dari Sri Sultan HB IX dalam menghadapi penjajahan Jepang, yaitu dengan memerintahkan rakyatnya membangun selokan. Hal ini bertujuan untuk mencegah Jepang membawa rakyat Jogja bekerja sebagai romusa. Proyek pembangunan selokan ini menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak yang oleh Jepang disebut Gunsai Yoshiro.

Romusa merupakan kerja paksa yang meninggalkan luka mendalam bagi Bangsa Indonesia. Tak jarang rakyat merasa kelaparan namun tetap dipaksa bekerja, dipukuli dan disiksa.

Kerja Bakti

Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Jogja, Aji Cahyo Baskoro, menuturkan pembangunan Selokan Mataram sebenarnya juga merupakan praktik romusa. Diinisiasi oleh Sri Sultan HB IX, pembangunannya didanai oleh Jepang dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Seperti praktik romusa lainnya, pekerja menerima upah yang tidak layak dan diawasi oleh tentara Jepang.

Meski demikian, menurutnya Selokan Mataram merupakan anomali di tengah praktik romusa lainnya. Jika Romusha didominasi oleh proyek untuk keperluan militer Jepang, Selokan Mataram dibangun untuk kepentingan rakyat Jogja. Di samping itu, pengerjaan Selokan Mataram juga tidak seberat praktik romusa lainnya.

Selama masa pendudukan Jepang, ada sejumlah proyek romusa yang dijalankan di Jogja, yakni Gua Jepang di tiga lokasi, benteng pertahanan di sekitar Bandara Adisutjipto, pembuatan arang di Kaliurang dan Selokan Mataram. Secara psikologis, para pekerja membangun Selokan Mataram dengan lebih bahagia. Ia mengistilahkan mereka membangun Selokan Mataram seperti sedang kerja bakti.

“Dari beberapa transkrip wawancara, banyak orang yang ikut bekerja di Selokan Mataram dengan membayangkan pekerjaan itu sebagai kerja bakti. Jadi tidak seperti romusa yang membebani. Di Selokan Mataram konsepnya seperti kerja bakti, yang mengajak lurah, lurahnya ikut mengawasi juga,” kata dia.

Mereka bekerja setengah hari dan menggunakan peralatan seperti cangkul yang dibawa sendiri. Berbeda dengan penuturan Mbah Cokro, menurut penelitian tim dari Sanata Dharma, para pekerja diberi upah sebesar 4 sen. “Kalau kata yang pernah diwawancara oleh kami di Sanata Dharma itu termasuk kecil. 4 sen itu kecil, ga bisa buat beli apa-apa,” ujar Aji.

Dibanding proyek romusa lainnya, pembangunan Selokan Mataram dipandang masyarakat waktu itu lebih manusiawi. Ia menceritakan ada salah satu pekerja Selokan Mataram yang sebelumnya selalu kabur ketika dikirim menjadi romusa, tetapi saat ke Jogja dan ada pembangunan Selokan Mataram, orang tersebut secara sukarela ikut bekerja sampai selesai.

Pembangunan Selokan Mataram dikerjakan dalam waktu sekitar satu tahun, yakni dari 1943 sampai 1944. Namun ada juga literatur yang menyebutkan pengerjaannya pada 1944-1945. Keterbatasan ingatan narasumber dan perbedaan kondisi di setiap wilayah pengerjaan menurutnya yang membuat perbedaan data dari masing-masing sumber.

Memajukan Pertanian

Ide pembangunan Selokan Mataram dari Sri Sultan HB IX tidak tiba-tiba datang sebagai respons praktik Romusha oleh Jepang. Selokan Mataram merupakan proyek pembangunan yang dijalankan Sri Sultan HB IX tidak lama setelah pelantikannya sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat pada 1940. Di awal kepemimpinannya, Sri Sultan HB IX memiliki visi memajukan pertanian masyarakat Jogja. Maka salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membangun saluran irigasi yang membentang menghubungkan Kali Progo dan Opak.

BACA JUGA: Jalan Baru Kelok 18 Bantul-Gunungkidul Belum Bisa Dibangun, Masih Tunggu Utang IDB

“Sultan sejak tahun 1943 sudah punya misi untuk bisa meningkatkan hasil pertanian di Jogja. Itu ada laporannya di majalah Suara Asia, ada beberapa program yang dirancang Sultan untuk misalnya mengairi sawah, menghijaukan hutan kembali, mengembalikan kesuburan tanah dan lain-lain. Jadi adanya proyek Selokan Mataram adalah bagian dari visi itu,” ungkapnya.

Kemudian datangnya Jepang dengan praktik romusanya kepada masyarakat membuat Sri Sultan HB IX dan para pemimpin Tanah Air yang mau tidak mau harus kooperatif dengan Jepang. Sultan membuat langkah diplomatis agar program yang dijalankan Jepang tetap sampai ke masyarakat, tetapi tidak terlalu memberatkan. “Apa yang seperti dilakukan Sultan dalam konteks Selokan Mataram, Sultan mencoba memosisikan dirinya sebagai filter, antara Jepang dan masyarakat. Supaya kebijakan Jepang sampai di masyarakat, meskipun berat tapi tidak begitu memberatkan. Itu juga yang dilakukan pemimpin-pemimpin pergerakan yang lain. Mereka menjadi penengah,” kata dia.

Selokan Mataram diusulkan Sri Sultan HB IX kepada Jepang untuk segera dibangun karena wilayah Jogja pada waktu itu digambarkan sebagai daerah yang kecil, kering, dan rawan banjir di beberapa lokasi. Di sisi lain, Jepang membutuhkan kerja sama pemimpin daerah untuk dapat menjalankan programnya di masyarakat.

Karena masih melibatkan Jepang baik dari segi pendanaan maupun pengawasannya, Selokan Mataram juga memiliki nama Jepang, yakni Gunsai Yoshiro, yang berarti saluran air milik pemerintah militer Jepang. Selokan Mataram telah jadi sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 1945.

Setelah masa kemerdekaan, Selokan Mataram beberapa kali direnovasi, terutama dengan pemasangan talut di sisi kanan-kirinya. Hingga saat ini Selokan Mataram masih terus mengalirkan air di bawah pengelolaan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. ([email protected])

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Terkait Pemulangan Mary Jane, Filipina Sebut Indonesia Tidak Minta Imbalan

News
| Jum'at, 22 November 2024, 16:17 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement