Advertisement

Nyamuk DBD Lebih Ganas saat Kemarau, Ini Saran Dinkes Kulonprogo

Andreas Yuda Pramono
Rabu, 14 Juni 2023 - 15:27 WIB
Abdul Hamied Razak
Nyamuk DBD Lebih Ganas saat Kemarau, Ini Saran Dinkes Kulonprogo Ilustrasi nyamuk demam berdarah - Pixabay

Advertisement

Harianjogja.com, KULONPROGO—Masyarakat diminta untuk meningkatkan kewaspadaan di musim kemarau tahun ini. Pasalnya saat suhu cuaca meningkat, ancaman nyamuk penyebab demam berdarah dengue akan semakin ganas. 

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kulonprogo, Rina Nuryati mengatakan bahwa perubahan suhu akan diikuti perubahan perilaku nyamuk penyebab demam berdarah dengue (DBD). Apalagi saat El Nino yang berpeluang terjadi 60% pada bulan Mei-Juli dan 80% pada September mendatang.

Advertisement

“Ketika terjadi perubahan suhu di suatu daerah, maka potensi DBD akan meningkat. Sebabnya karena nyamuk dengue mengalami perubahan perilaku, lebih agresif. Dengan demikian, kemungkinan sebaran populasinya lebih luas,” kata Rina ditemui di kantornya pada Rabu (14/6/2023).

BACA JUGA: Hanya 20 Kasus Demam Berdarah dalam Sebulan, Pegawai Dinkes Kota Jogja Diganjar Penghargaan

Maksud Rina adalah ketika suatu daerah yang dikenal dingin yang menyebabkan nyamuk tidak dapat hidup, maka ketika suhu tersebut berubah menjadi hangat atau panas, nyamuk pun akan hidup dan berkembang biak. Kasus DBD pun akan melonjak.

“Karena lebih agresif, maka tingkat keparahannya itu lebih tinggi. Hal yang tidak kami harapkan adalah DBD yang menyebabkan meninggal dunia. Tingkat keparahan tersebut berkaitan dengan jenis virus. Lebih banyak menggigit, lebih banyak orang tertular,” terangnya.

Rina tidak menampik bahwa salah satu faktor peningkatan DBD adalah perilaku masyarakat. Padahal DBD dapat menyebabkan kematian. Karena itu, Dinkes terus mengedukasi dan mengimbau agar masyarakat menerapkan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) 3M Plus seperti menguras, menutup, dan memanfaat kembali limbah barang bekas.

“Kami ada juga program juru pemantau jentik. Prinsipnya anggota keluarga memantau rumahnya sendiri,” katanya.

Mencegah nyamuk berkembang biak, menurut Rina sangat mudah dilakukan. Katanya, siklus hidup nyamuk untuk mencapai dewasa memerlukan waktu sembilan hari. Namun, apabila sebelum mencapai hari ke sembilan seseorang melakukan intervensi terhadap jentik nyamuk, maka nyamuk tidak akan berkembang.

“Urusan pencegahan itu peran komunitas lebih penting. Agar tidak terjangkit DBD, maka masyarakat sendiri yang harus mengambil peran. Jangan bertumpu pada Dinkes. Tapi kalau sudah sakit, nah itu baru urusan Dinas Kesehatan guna merehabilitasi biar sembuh,” ucapnya.

Orang yang terjangkit DBD akan mengalami demam tinggi dan bintik-bintik pada kulit. Pada hari ke lima paska terjangkit, orang tersebut akan mengalami penurunan demam. Kondisi ini disebut siklus plana kuda, karena paska penurunan tersebut, demam akan meningkat kembali.

BACA JUGA: 12 Tahun Penelitian Wolbachia Digelar di Jogja, Ini Pengaruhnya Pada Kasus DBD

“Awal siklus DBD itu belum bisa dideteksi, karena antigennya belum ketemu dan antibodinya belum muncul. Nah, pada hari ketiga seseorang akan diminta kembali untuk periksa sampai hari kelima. Nanti deteksi dengan NS 1,” lanjutnya.

Lebih jauh, Rina menyoroti tindakan fogging atau pengasapan yang sering diminta masyarakat. Padahal fogging hanya akan membunuh nyamuk dewasa; dengan demikian tidak berlaku bagi jentik nyamuk.

Namun, jentik nyamuk dapat dibunuh dengan menggunakan bubuk larvasida. Hanya saja, penaburan bubuk larvasida harus dilakukan oleh masyarakat, mengingat mereka yang lebih paham lokasi nyamuk berkembang biak.

Rina memberi contoh apabila angka bebas jentik (ABJ) dapat mencapai 95 persen, maka hanya ada lima persen atau lima dari 100 rumah yang berjentik. Dengan begitu, potensi DBD akan kecil.

“Tidak memungkinkan kalau Dinas Kesehatan harus turun ke setiap rumah untuk memberi larvasida. Masyarakat bisa langung minta ke Dinkes atau Puskesmas,” pungkasnya.

Data Dinkes Kulonprogo menyebutkan angka kasus DBD mulai awal tahun 2023 sampai tanggal 14 Juni 2023 mencapai 48 kasus dengan nol kematian. Sementara sepanjang tahun 2022, terdapat 311 kasus dengan enam kematian.

  • Jelas Rina, lonjakan kasus akan terjadi pada tahun keenam atau siklus enam tahunan. Apabila ditarik ke tahun 2017, maka hanya ada 79 kasus dengan satu kematian. Lalu, angka tersebut naik menjadi 109 pada tahun 2018, kemudian menjadi 296 setahun setelahnya. Angka tersebut terus naik pada tahun 2020 menjadi 348 kasus dengan tiga kematian, lalu sempat turun pada tahun 2021 menjadi 234 kasus dengan tiga kematian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Hakim Anwar Usman Kembali Dilaporkan Terkait Dugaan Pelanggaran Kode Etik

News
| Senin, 13 Mei 2024, 11:37 WIB

Advertisement

alt

Unik, Ada Lampu Bangjo Khusus Unta di Tengah Gurun Pasir

Wisata
| Sabtu, 11 Mei 2024, 18:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement