Cerita Penghuni Terakhir Bukit Kembang Gunungkidul: Tiap Hari Didatangi Kawanan Monyet, Waswas Didatangi Macan
Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Keluarga Tupan dan Winarno adalah penghuni terakhir Bukit Kembang di RT 04/RW 07 Dusun Suru, Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul. Rumah meraka di area perbukitan. Warga yakin masih ada macan di sana. Puluhan orang sudah pindah ke lokasi yang aman dari longsor maupun serangan monyet.
Medio 2010, penduduk RT 04/RW 07 masih banyak. Ada 22 keluarga yang menghuni permukiman tersebut. Seiring bejalannya waktu, satu per satu warga mulai pindah hingga 2020 lalu tinggal tersisa dua keluarga yang meliputi 11 jiwa yang masih menetap di perbukitan itu.
Advertisement
Tupan tinggal bersama istri dan seorang anaknya. Tetangga mereka adalah keluarga Winarno-Sugiyanti yang bermukim bersama anak, menantu, dan dua cucu mereka. Ada enam orang di di keluarga Winarno.
RT 04 berada di Bukit Kembang, tak jauh dari kawasan Gunung Gambar. Sepeda motor tidak bisa sampai sana. Siapa pun yang ingin ke Kembang harus berjalan kaki melewati tanjakan berbatu curam.
BACA JUGA: Kegelisahan Pemain Boneka Magis Nini Thowong dari Bantul
Rumah teratas, di puncak bukit Kembang, dimiliki Tupan. Kakaknya, Winarno, tinggal di sekitar 150 meter di bawahnya. Di antara dua rumah itu membentang lahan-lahan kosong yang dahulu berdiri bekas rumah-rumah yang dihuni 22 keluarga. Suara burung dan hewan liar kerap terdengar.
“Sebenarnya kami pengin pindah seperti yang lain, tapi tidak ada biaya pindah,” kata Tupan, Senin (28/8).
Rumah Tupan berbentuk limasan. Di depannya terdapat kandang untuk seekor sapi. Di teras dekat kandang sapi, kandang kambing menyatu dengan rumah induk. Menurut kepercayaan warga sekitar, masih ada macan yang berkeliaran di Bukit Kembang.
“Tapi saya belum pernah melihat macan,” kata Tupan.
Selain tidak memiliki tetangga, dua keluarga ini kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Listrik didapat dari kabel yang ditarik sejauh satu kilometer. Air bersih tidak mudah didapat. Tupan harus menyambungkan 100 pipa paralon agar air dari Gunung Gambar sampai ke rumahnya. Winarno membuat sumur di sungai yang mengalir di bawah rumahnya.
“Hidup di sini sangat sulit,” kata Sugiyanti, istri Winarno.
BACA JUGA: Kampung Mati di Kulonprogo Benar-Benar Mati, Penghuni Terakhir Pergi
Saat musim hujan, air mengalir dengan lancar, bahkan banyak terbuang karena dua keluarga itu tidak memiliki penampungan air.
Kondisi berbeda terjadi saat kemarau. Air hanya mengalir tetes demi tetes yang keluar. Keran tidak pernah dimatikan karena tetesan air langsung tertampung ke dalam bak batu alam di belakang rumah. Setelah bak terisi penuh, Tupan langsung memindahkan air ke bak di dalam rumah.
Tupan dan Winarno bekerja sebagai buruh serabutan. Jika tak ada yang memakai jasa mereka, keduanya mencari rumput untuk sapi dan kambing.
“Kalau sore harus sudah pulang karena istri dan anak saya takut di rumah sendirian. Saya tidak bisa bekerja jauh dan hanya menerima panggilan membantu memotong kayu atau memetik hasil panen,” katanya.
Lahan pertanian yang mereka miliki tidak bisa menjadi tumpuan karena kacang, kedelai, pisang, nangka, kelapa kerap menjadi jarahan kawanan monyet ekor panjang. “Hampir setiap hari monyet datang dan masuk rumah. Sekali datang puluhan ekor,” kata Tupan.
BACA JUGA: Pemburu Harta Karun Kali Oya Gunungkidul: Temukan Keris Emas, Jadi Buruh Bangunan Saat Hujan
Tupan dan kakaknya sudah membeli lahan di bawah bukit dengan menjual sapi. “Saya juga membantu merawat orang tua pemilik lahan yang tinggal sendirian. Saya menyanggupinya karena ingin segera pindah agar aman dari longsor maupun serangan monyet,” katanya.
Tupan masih memiliki anak yang bersekolah di SMK Negeri Nglipar yang tiap hari harus diantar dan dijemput. “Kami berjalan 300 meter kemudian naik motor yang saya letakan di jalan. Tiap hari sekitar 05.30 WIB sudah mengantar anak sekolah ke Nglipar,” katanya.
Tupan sudah mendapat tawaran bantuan pembangunan rumah di lahan barunya sebesar Rp10 juta dari pemerintah. Namun, tawaran itu belum dia terima karena uang untuk menyelesaikan pendirian rumah masih kurang.
“Kakak saya juga secepatnya ingin pindah. Tapi kami tidak ada biaya meski lahan di bawah sudah tersedia,” katanya.
BACA JUGA: Kisah Keluarga Sumiran Penghuni Kampung Mati di Kulonprogo, Jalan 2 Km ke Rumah Tetangga
Lurah Kampung, Ngawen, Suparna, mengatakan kesulitan ekonomi memaksa keluarga Tupan dan Winarno menetap di Bukit Kembang.
“Yang lain sudah pada pindah ke bawah,” kata Suparna.
Pemerintah Kalurahan Kampung sudah berupaya mencarikan solusi agar keduanya bisa pindah. Namun, bantuan pembangunan rumah hanya tersedia Rp10 juta. Sementara, memindahkan rumah dan mendirikannya di lahan baru butuh biaya tak sedikit.
“Lahannya sudah ada, tapi biaya untuk membangun ini yang belum ada. Kami tetap berupaya dan salah satunya mencoba meminta bantuan ke Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Energi Sumber Daya Mineral DIY. Mudah-mudahan segera ada solusi sehingga keduanya bisa pindah ke lokasi yang lebih aman,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Kejaksaan Tahan Panglima Komando Pertahanan Korsel, Diduga Terlibat Kudeta
Advertisement
Mingguan (Jalan-Jalan 14 Desember) - Jogja Selalu Merayakan Buku
Advertisement
Berita Populer
- Belasan Kalurahan di Kulonprogo Dirancang Bersih Narkoba
- KTB Sudah Terbentuk di Semua Kampung, Tahun Depan Mulai Pembinaan
- Kemenkumham DIY Libatkan Ahli Madya sebagai Penguji di Seleksi CPNS
- TPID DIY Jamin Pastikan Stok dan Harga Pangan Jelang Natal dan Tahun Baru Aman
- Sempat Dilaporkan Hilang, Belasan Pencari Kerja Jadi Korban Penipuan, Begini Modusnya
Advertisement
Advertisement