Advertisement

Antara Perang Diponegoro dan Konflik Timah di Bangka

Bhekti Suryani
Senin, 09 Oktober 2023 - 07:17 WIB
Mediani Dyah Natalia
Antara Perang Diponegoro dan Konflik Timah di Bangka Sejarawan yang juga Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Provinsi Bangka Belitung, Akhmad Elvian - Harian Jogja/Bhekti Suryani

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJAPerang Diponegoro (1825-1830) merupakan salah satu perang terbesar antara pribumi melawan penjajah Belanda yang menewaskan ratusan ribu jiwa. Ada benang merah antara perang yang ada di Pulau Jawa tersebut dengan perang akibat konflik timah di Pulau Bangka. Bangka menjadi medan pertama bagi Legiun Mangkunegaran berlatih perang gerilya sebelum melawan Diponegoro di Tanah Jawa. 

Syahdan, Mei 1820, sebuah kapal bertolak dari Pelabuhan Semarang menuju Pelabuhan Muntok di Pulau Bangka. Kapal bernama Minerva ini mengangkut 151 personel infanteri dari kontingen Legiun Mangkunegaran.

Advertisement

Ini bukan pasukan perang sembarangan. Legiun ini dibentuk secara resmi oleh Gubernur Jenderal Daendels pada 29 Juli 1808 sebagai pasukan gabungan Prancis, Belanda dan Jawa. Di Jawa, legiun ini membawahi pasukan sebanyak 800 serdadu infanteri, 100 prajurit pelopor, 200 kaveleri berkuda dan 50 orang prajurit artileri.

Penugasan ke Bangka merupakan pengalaman pertama pasukan elite ini bertempur di luar Pulau Jawa. Tujuannya untuk mengamankan perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Bahrin di daerah Jeruk, Bangka melawan Belanda.

Sejarawan yang juga Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Provinsi Bangka Belitung, Akhmad Elvian, menceritakan awal mula pecah perang antara rakyat Bangka melawan Belanda terjadi pada medio 1819. Perang ini dipicu kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan monopoli atas pengelolaan tambang timah di Pulau Bangka.

Timah sudah gencar dieksploitasi rakyat Bangka sejak 1724 di era Kerajaan Palembang yang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin I, setelah komoditas ini ditemukan menghampar di permukaan sungai di Bangka pada 1709. Penambangan timah awalnya dikelola para pemimpin lokal atau Depati dengan melibatkan pekerja yang didatangkan dari Tiongkok. Awalnya, komoditas ini menjadi upeti dan dijual ke Sultan Palembang.

Semuanya berubah setelah Hindia Belanda berkuasa di Tanah Air. Puncaknya pada 1819, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perundang-undangan tentang timah (Tin Reglement). Salah satu poin penting dari regulasi ini, tambang-tambang timah yang dikelola oleh para partikelir atau swasta dilarang beroperasi di Bangka. Pekerja China dikenakan sistem kerja kontrak.

Semua yang berhubungan dengan timah menjadi kewenangan Pemerintah Hindia Belanda. Timah hasil penambangan yang sebelumnya dijual ke Kesultanan Palembang hanya boleh dijual ke Belanda. Kebijakan itu memicu perlawanan elite-elite politik di Bangka mulai dari Depati, para Batin, Ngabehi, Gading dan Lengan (ragam jabatan pejabat birokrasi di Bangka era Kesultanan Palembang). “Awalnya mereka [para Depati] punya kewenangan membuka tambang, mereka kehilangan sumber pendapatan atau kekayaan. Termasuk kongsi-kongsi penambangan timah yang dikelola orang-orang Tionghoa,” ungkap Ahkamd Elvian ditemui di Bangka, akhir September lalu.

Perang pun pecah tahun itu. Letnan Kolonel Aukes dalam bukunya Het Legioen Van Mangkoe Nagara mencatat, Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Van der Capellen pada 28 Maret 1820 akhirnya mengeluarkan besluit Nomor 10 yang memerintahkan pengiriman Detasemen Kaveleri Legiun Mangkunegaran ke Pulau Bangka.

Dalam catatan tersebut dikatakan Legiun Mangkunegaran Jawa Tengah dikirim ke Pulau Bangka untuk mengamankan perairan Pulau Bangka dari keganasan bajak laut yang terkait dengan perlawanan rakyat Bangka, yang dipimpin Depati Bahrin. “Sampai di Bangka mereka [pasukan Belanda] berperang melawan Depati Bahrin. Tetapi dalam catatan Belanda dikatakan, Bahrin adalah tokoh perang gerilya yang ulung. Disebut orang Belanda seperti Napoleon, ahli gerilya yang ulung. Sehingga Legiun Mangkunegaran tidak bisa menerapkan perang infanteri karena yang terjadi perang gerilya,” ungkap Akhmad Elvian. Kisah keulungan Depati Bahrin dalam perang gerilya juga tercatat dalam Arsip Nasional (Arnas-RI) Arsip Daerah Palembang. Dalam peperangan, Depati Bahrin selalu berpindah-pindah dengan taktik gerilya dari Bangkakota, Kotawaringin, Jeruk dan Menareh/Mendara.

Perlawanan Belanda terhadap Depati Bahrin yang berperang secara gerilya berlangsung bertahun-tahun tanpa ada kekalahan atau kemenangan di kedua belah pihak. Sementara pada saat yang sama, sejak 1825 perang Diponegoro berkecamuk di Pulau Jawa. Akhirnya pada 1828, Belanda menawarkan perundingan dengan Depati Bahrin agar menghentikan perang dengan sejumlah kompensasi yang ditawarkan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda berjanji memberikan kompensasi gaji atau tunjangan sebesar 600 gulden setahun kepada Depati Bahrin apabila menghentikan perlawanan kepada Pemerintah Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda memilih opsi perundingan karena ingin fokus menghadapi perang Diponegoro di Pulau Jawa. Tawaran Belanda diterima Depati Bahrin. Perang Bangka pertama itu pun akhirnya selesai. Setelah itu, pasukan Legiun Mangkunegaran dipulangkan ke Pulau Jawa untuk fokus melawan Diponegoro.

“Jadi, veteran-veteran perang Legiun Mangkunegaran [yang melawan Diponegoro] adalah mereka yang dulu berperang melawan Depati Bahrin di Bangka. Ini pengalaman perang pertama mereka di luar Jawa. Mereka punya pengalaman perang [gerilya] di Bangka untuk dibawa berperang melawan Diponegoro [yang juga menerapkan perang gerilya],” kata sejarawan yang telah menerbitkan sejumlah buku terkait sejarah timah di Bangka tersebut.

Elvian meyakini perang di Bangka adalah pengalaman pertama Legiun Mangkunegaran berlatih perang gerilya sebelum melawan Diponegoro. “Karena kalau melihat sejarah, perang [gerilya] di Aceh misalnya pada 1873, jauh setelah di Bangka. Perang Padri 1821, di sini sudah dimulai sejak 1819,” katanya. Ia meyakini, kemenangan Belanda melawan Diponegoro di Jawa sedikit banyak terkait dengan kemampuan Belanda yang telah berpengalaman menghadapi perang gerilya selama di Bangka.

Catatan Redaksi:

Reportase ini merupakan bagian dari kegiatan fieldtrip mahasiswa program magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM bekerja sama dengan Norwegian University of Science and Technology (NTNU).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

AHY Akan Deklarasikan Bali sebagai Pulau Lengkap

News
| Jum'at, 03 Mei 2024, 12:37 WIB

Advertisement

alt

Jadwal Agenda Wisata Jogja Sepanjang Bulan Mei 2024, Ada Pameran Buku Hingga Event Lari

Wisata
| Rabu, 01 Mei 2024, 17:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement