Advertisement

Mendobrak Masyarakat Urban dengan Kethoprak Tobong

Media Digital
Rabu, 11 Oktober 2023 - 19:47 WIB
Arief Junianto
Mendobrak Masyarakat Urban dengan Kethoprak Tobong Pementasan Kethoprak Mangir in Love di SCH. - Istimewa

Advertisement

SLEMAN—Pergelaran seni kethoprak tobong sukses menyambangi Sleman City Hall (SCH).

Membawakan kisah berjudul Sang Primadona: Mangir in Love, Sanggar Sosrobahu berkolaborasi dengan penulis sekaligus budayawan Jogja, Joko Santosa, menampilkan pertunjukan kethoprak tobong berformat anyar di Atrium Rama SCH, Selasa (10/10) malam.

Advertisement

Pertunjukan ini berawal dari novel Sihir Pembayun karya sastrawan Joko Santosa yang diadaptasi Nano Asmorodono dkk menjadi karya silang media: sinema-ketoprak-tari (Seketi). Ini sekaligus menandai peristiwa budaya kali pertama di Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni masuknya kethoprak tobong ke tengah pengunjung mal yang notabene simbol masyarakat urban.

Manusia, kata kritikus sastra Prof Teeuw, adalah homo fabulans: makhluk yang bertutur, yang bersastra—dengan bahasa dan imajinasi yang absurd, tak pasti, mungkin labil, namun dengan demikian selalu aktual dan “reborn” berkali-kali dalam ujud yang berlainan.

Adalah Nano Asmorodono, “makhluk bertutur” yang melimbang jagat kethoprak sejak 1990-an, tanpa sayah lelana dari satu tobong ke tobong lain, ngangsu kawruh dengan Widayat, seniman kembar Gita-Gati, group-group kethoprak DIY, hingga sang empu Siswondo HS di Tulungagung dengan Siswo Budoyonya yang kondhang kaloka. Tanpa sayah tanpa lelah itulah yang mengantarkan Nano menjadi maestro kethoprak dan terus beranjaya sampai sekarang. Nano boleh dibilang satu-satunya maestro kethoprak sepeninggal Bondan Nusantara.

“Kethoprak perlu kualitas puitik. Sastra, dialog, dan akting idealnya harus beririsan. Kita tahu, susastra jawa abad 18-19, Wulangreh, Wedhatama, juga Kalatida, merupakan ikon di mana kita menaruh tabik. Namun tembang-tembang itu, era Ranggawarsita, Mangkunegara IV, dan Yasadipura, terasa ajek. Beda misalnya dengan karya Mpu Panuluh di abad 12 yang bahkan lebih kuno 600 tahun sebelumnya. Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya benar-benar sangar,” ujar Nano Asmorodono pada perbincangan jelang petang ditemani secangkir kopi.

BACA JUGA: Ketoprak Tobong Mangir in Love Hadir di Sleman City Hall

Wedhatama, atau apalagi Wulangreh, adalah tembang macapat yang memiliki beban didaktis sehingga terasa seperti khotbah. Yang satu, begitu banyak how to pedoman remaja dalam titilaku rohani yang becik, sedangkan satunya lagi rangkuman kawruh bagi anak priyayi.  “Kekuatan literer Wedhatama maupun Wulangreh, jika toh diada-adakan, hanya elok pada bunyi, dan kejembaran sinonim; bukan pada esensi. Pada Wulangreh kita gagal mendapat keleluasaan membangun deskripsi imajinatif sebagaimana Bharatayudha,” ujar Nano.

Seperti darah merendam pakaian merah pengantin yang diperkosa. “Diksi puitik macam itu menghadirkan suasana erotik, halusinasi sensual, juga brutal. Pergumulan antara yang natural dan seksual begitu dahsyat. Di sinilah “ngenggg” daya puitik yang tidak ada dalam wejangan formal,” tambahnya.

Apa yang diharapkan kethoprak Mangir in Love masuk Mal?

“Saya ingin mengangkat kesenian tradisi, utamanya kethoprak tobong, yang notabene kesenian pinggiran. Sebagai praktisi seni khususnya kethoprak, saya berharap kesenian marginal tidak dipandang sebelah mata. Maka lahirlah seketi, dengan format yang tak lazim dilakukan kethoprak tobong dengan pola konvensionalnya.”

Seketi meski formatnya kekinian tapi ruh tetap tradisi. Contoh, unggah-ungguh etika dan setting kethoprak tobong tetap dipertahankan. Ada tatakrama tersendiri sembah terhadap sang junjungan, dan sujud terhadap Gusti kang Wisesa,” Nano menjelaskan. “Layar naik turun a la tobong masih kami pakai.”

Dangdut dan kethoprak memiliki akar sama. Mereka tumbuh ngrembaka dari kawula agraris, kadang dengan keasyikan tuak dan oplosan. Nano yang terobsesi muruah kethoprak, pada akhirnya memiliki paritas sama sebagaimana dangdut, yang bukan lagi sekadar hiburan orang pinggiran namun mampu menggedor pintu Mal dan masyarakat urban.

“Bagi saya, seketi menjadi karya bersama. Ada sastra yaitu novel yang dikonversikan menjadi kethoprak. Ada penyair, penata tari sekaligus penari, pantomimers, penata karawitan, pelawak, aktor teater dan film. Saya sangat berterima kasih kepada BRI, bank milik rakyat, yang concern terhadap kesenian tradisional. Mungkin BRI satu-satunya bank yang berupaya dekat dengan rakyat,” kata Nano Asmorodono menutup pembicaraan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Hari Kedua Perundingan Gencatan Senjata, Perang Israel-Hamas Masih Buntu

News
| Minggu, 05 Mei 2024, 21:17 WIB

Advertisement

alt

Mencicipi Sapo Tahu, Sesepuh Menu Vegetarian di Jogja

Wisata
| Jum'at, 03 Mei 2024, 10:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement