Advertisement

SETARA Institute Minta Masyarakat Memahami Konteks dan Metafora Mbah Benu

Andreas Yuda Pramono
Sabtu, 06 April 2024 - 19:17 WIB
Mediani Dyah Natalia
SETARA Institute Minta Masyarakat Memahami Konteks dan Metafora Mbah Benu Setara Institute. - Ist

Advertisement

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—SETARA Institute meminta masyarakat untuk memahami konteks dan makna metafora dibalik pernyataan KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo perihal menelepon Allah untuk menentukan waktu Salat Id. Sebagai latar belakang, KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo atau akrab dipanggil Mbah Benu merupakan Imam Jemaah Masjid Aolia di Padukuhan Panggang III, Giriharjo, Panggang, Gunungkidul.

Dalam perayaan ibadah Salat Id pada Jumat (6/4/2024), Mbah Benu sempat mengatakan penentuan waktu Salat Id dilandaskan pada perjalanan spiritualnya. Hanya, dalam menyampaikan pesan perjalanan spiritual tersebut, dia menggunakan metafora menelepon Allah.

Advertisement

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan mengatakan masyarakat perlu memahami pesan dibalik kalimat menelepon Allah. Kalimat tersebut tidak dapat dipahami secara kaku dan lepas dari konteks atau letterlijk.

“Kalimat tersebut bisa maknawi atau tidak sesuai lafaz. Jemaah Aolia juga memulai puasa lebih awal. Itu jika dibaca dari ijtihad masing-masing untuk mencari apa yang menurut keyakinan paling benar, sah-sah saja,” kata Halili dihubungi, Sabtu (6/4/2024).

Perbedaan penentuan waktu baik awal bulan Ramadan maupun Hari Raya Idulfitri sebagaimana dilakukan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan hal biasa. Begitupun dengan penetapan waktu tersebut oleh Jemaah Aolia yang berbeda.

Baca Juga

Profil Lengkap Mbah Benu Imam Jemaah Aolia Gunungkidul, Pernah Ditulis di Tesis

Khotbah Imam Besar Jemaah Aolia Gunungkidul, Mbah Benu: Jangan Mau Jadi Jangkriknya Setan

Jemaah Aolia Gunungkidul Gelar Salat Idulfitri Pagi Ini, Ikuti Perintah Mbah Benu

Selain itu, hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan telah dijamin dalam UUD 1945, terutama Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Halili juga menanggapi pernyataan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Fahrur Rozi atau akrab disapai Gus Fahrur mengenai Jemaah Aolia. Gus Fahrur mengatakan penetapan waktu bulan Ramadan oleh Jemaah Aolia termasuk metafora yang dipakai Mbah Benu menelepon Allah harus dicegah dan berkemungkinan masuk kategori pelecehan terhadap ajaran Islam.

Statement seperti itu punya kecenderungan memprovokasi atau memperkeruh keadaan. Pernyataan itu tidak perlu disampaikan kepada publik,” katanya.

Menurut Halili, pernyataan Gus Fahrur yang dapat berimplikasi pada kegaduhan dan memunculkan narasi pelecehan atau bukan pelecehan terhadap ajaran Islam tidak perlu disampaikan. Hal tersebut akan menimbulkan dampak lanjutan terhadap pola pikir dan tindakan publik mengenai upaya penyesatan oleh masyarakat atas kelompok minoritas Aolia.

Peran Media

Halili meminta kepada media agar menempatkan fenomena perbedaan kepercayaan mengenai penetapan bulan Ramadan dan Hari Raya Idulfitri sebagai bagian dari hak tiap warga negara yang dijamin konstitusi.

 

Dia menegaskan kelompok masyarakat tidak boleh dengan mudahnya memberi label sesat atas keyakinan warga minoritas yang berbeda dengan keyakinan mayoritas.

“Berkaitan dengan narasi publik yang belakangan mulai menguat misal mengenai penistaan atau penodaan agama, saya kira itu cara curang untuk mengkriminalisasi. Setiap upaya pelabelan penodaan agama akan mengundang negara untuk mengintervensi dan jatuhnya akan jadi kriminalisasi,” ucapnya.

Kepala Kankemenag Gunungkidul, Sa’ban Nuroni menyampaikan penetapan Hari Raya Idulfitri Jemaah Masjid Aolia tidak lazim di kalangan umat Islam Indonesia. Dia sebelumnya meminta Jemaah Masjid Aolia untuk mengikuti pengumuman pemerintah terkait penetapan hari raya tersebut.

Berbeda dengan Sa’ban, Manajer Program Yayasan LKiS, Tri Noviana mengatakan penetapan bulan Ramadhan dan Hari Raya Idulfitri merupakan hak dan keyakinan masing-masing. “Hal yang saya khawatirkan itu Mbah Benu akan mendapat tekanan dari Kelompok Islam Radikal,” kata Noviana.

Noviana mempertanyakan pihak yang mengunggah video Mbah Benu saat memberikan pernyataan dengan menggunakan metafora menelepon Allah. Video tersebut akan mengusik publik. Padahal, sebagaimana disampaikan Halili, publik perlu memahami konteks dan makna metafora tersebut sehingga dapat memahami pesan Mbah Benu secara baik dan bijaksana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

PKB dan PPP Kerja Sama Hadapi Pilkada Serentak 2024

News
| Selasa, 30 April 2024, 00:17 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement