Advertisement

ARTJOG 2024: Telinga, Padi, hingga Gema Spirit Kesetaraan

Media Digital
Jum'at, 28 Juni 2024 - 20:47 WIB
Arief Junianto
ARTJOG 2024: Telinga, Padi, hingga Gema Spirit Kesetaraan Heri Pemad dan seniman komisi Artjog membuka Artjog 2024 dengan pose Love Artjog (tiga jari) sebagai simbol inklusivitas di Jogja Nasional Museum, Jumat (28/6/2024). - Harian Jogja/Lugas Subarkah

Advertisement

JOGJA—Gelaran Artjog tidak hanya hadir sebagai sebuah festival seni kontemporer, tetapi juga sebuah perayaan yang mengajak seluruh masyarakat untuk terlibat dalam Lebaran Seni secara bersama-sama. Artjog 2024 yang mengusung tema Motif: Ramalan, digelar di Jogja National Museum Kota Jogja mulai 28 Juni-1 September 2024.

Artjog 2024 Menampilkan karya dari 48 seniman dewasa, individu maupun kelompok dari dalam dan luar negeri yang terdiri dari 30 seniman undangan dan 18 seniman panggilan terbuka, serta 36 seniman anak dan remaja yang lolos seleksi.

Advertisement

Kurator Artjog, Hendro Wiyanto menjelaskan tema Ramalan mencakup pengertian yang cukup luas. Ramalan merupakan pola imajiner yang menghubungkan persilangan antara waktu lampau, hari ini, dan esok. Sebagai motif imajiner, pemaknaan atas suatu peristiwa tidak sepenuhnya ditentukan oleh sesuatu yang mendahuluinya, layaknya sebuah hipotesis di dalam bidang keilmuan.

Bagi seniman, ramalan adalah imajinasi dan daya prediksi yang menggerakkan kreativitas dalam proses mencipta. “Gagasan tema ramalan ini juga tidak hanya bermaksud untuk memastikan nujum atau ramalan para peramal di masa lalu, akan tetapi, tema ini menawarkan kesempatan untuk membayangkan kembali gambaran peristiwa dan harapan menuju hari esok,” ujarnya dalam pembukaan Artjog 2024, Jumat (28/6/2024).

Tahun ini Artjog secara khusus mengundang Agus Suwage dan Titarubi sebagai seniman komisi dengan karya berjudul Suara Keheningan untuk merespons tema tersebut, dengan menghadirkan sebuah gagasan yang saling berkaitan melalui karya instalasi interaktif dengan berbagai dimensi dan media.

Agus Suwage menjelaskan karyanya berupa instalasi di dalam bangunan khusus, sebuah lorong tertutup dengan suara, objek-objek trimatra, gambar, benih, tanaman dan bulir padi. Kesatuan karya yang menggabungkan berbagai wahana dan organisme hidup ini menempati lorong sepanjang 26 meter, lebar 11 meter dan ketinggian langit-langit antara 3-6,3 meter.

Koridor ini memiliki tujuh ruangan yang luasnya berbeda-beda, menghadirkan berbagai konfigurasi dan pesan dari pasangan seniman sebelum berujung pada hamparan berbagai tanaman padi di bagian belakang. Berada di dalam lorong ini adalah mengalami sebuah keheningan yang terpisah dari dunla luar. Koridor dengan ruang-ruang di dalamnya memberi rasa kedalaman bagi pengunjung.

Dia menghadirkan sembilan karya trimatra dengan berbagai wahana yang mengedepankan objek-objek telinga manusia. Instalasi objek telinga ditempatkan sejak arena depan selasar dan mengisi tujuh ruangan di dalam koridor, memperoleh bentuk sebagai tiang pelantang, pohon, lemari, dinding, rak, cermin dan beronjong. “Pada satu sisi objek telinga merepresentasikan ruang sosial kita yang sangat toleran pada kebisingan dan lenyapnya keheningan. Pada sisi lain, hanya dengan indera pendengaran itulah kita dapat menguji pengalaman kebertubuhan dan mengalami keheningan,” katanya.

Sementara Titarubi menghadirkan hasil penelitiannya yang berfokus pada tanaman padi. la menggali narasi kearifan lokal dan mitos yang menyertai kesucian padi. Dalam budaya Sunda, ada mitos sangat tua tentang Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang memuliakan tanaman padi.

“Semua tumbuhan yang berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Padi: pohon kelapa dari kepala, rempah-rempah dari telinga, bunga-bunga dari rambut, buah-buahan dari payudara, pohon jati, cendana dari lengan, dan aren serta enau dari alat kelamin, bambu dari paha, dari kaki tumbuh umbi-umbian dan ketela, dan dari pusaranya tumbuh padi,” kata Titarubi.

Mitos ini dikisahkan selama berabad melalui tradisi lisan. Ada tradisi di Jawa saat petani mulai panen padi, mereka membacakan doa dalam prosesi yang disebut "Mboyong Mbok Dewi Sri". Itu adalah penanda bahwa kesejahteraan para petani mesti pulang ke kediaman mereka sendiri.

Di dalam koridor ini Tita menghadirkan berbagai rekaman doa pengiring ritual dan berbagai bentuk sastra puja yang memuliakan spiritualitas bumi dan tanaman padi. Punahnya benih, hilangnya keanekaragaman berarti tidak utuhnya pengetahuan kita tentang jalinan organisme dan akibat-akibat dari hal ini tidak dapat diramalkan.

Selain karya komisi, Artjog 2024 - Motif: Ramalan juga menampilkan karya-karya dari Jun Kitazawa (Jepang), Kolektif Menyusur Eko Prawoto, kolaborasi antara Nicholas Saputra, Happy Salma, & (alm) Gunawan Maryanto, serta On Kawara (Jepang, 1932-2014).

Secara singkat, Jun Kitazawa menghadirkan kembali gumpalan besi pesawat tempur Hayabusa, yang artinya falcon atau elang, menjadi sebuah layang-layang berekor panjang yang dapat diterbangkan. Melalui layang-layang ini, Kitazawa menghadirkan kembali fragmen sejarah pendudukan Jepang di Indonesia di era 1942-1945.

Pada ekor layang-layang ini dia menampilkan kumpulan ingatan orang-orang tua yang mengalami masa penjajahan tersebut. Secara mendalam, ia ingin membaca peristiwa masa lampau untuk memberi kemungkinan pilihan bagi masa depan yang lebih baik.

Sementara itu, Kolektif Menyusur Eko Prawoto menyuguhkan sebuah instalasi bambu berjudul Leng (2008), karya yang menandai (alm) Eko Prawoto di ranah seni rupa. Karya ini terdiri dari susunan bambu yang berada dalam posisi ambang atau di antara, yang memadukan teknik/praktik ketukangan dan keindahan, mendekatkan kerasnya material dan ungkapan puitis, serta melahirkan kesinambungan antara kedekatan dan jarak.

Sementara Kolaborasi antara Nicholas Saputra, Happy Salma, dan (alm) Gunawan Maryanto menghadirkan sebuah karya alih wahana dari pembacaan Serat Centhini khususnya dalam bagian Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, terjemahan Elizabeth D. Inandiak (2002) dalam bahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 2004.

Secara visual, instalasi ranjang dan kelambu dihadirkan melalui kolaborasi dengan Iwan Yusuf. Dalam Serat Centhini yang asli, dikisahkan bahwa Amongraga dan istrinya, Tambangraras melewatkan empat puluh malam di dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh.

Empat puluh malam itu mengisi enam pupuh terakhir jilid ke-VI dan empat belas pupuh pertama jilid ke-VII. Melalui karya ini, kita diajak untuk memaknai isi dari percakapan antara Amongraga dan Tambangraras sebagaimana sebuah suluk dipresentasikan kembali di era kontemporer hari ini, seperti halnya memaknai sebuah ‘ramalan’ dari masa lalu.

Di sisi lain, On Kawara menyajikan salah satu karyanya yang berjudul One Million Years, sebuah seri monumental yang mencakup 2 juta tahun dan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama One Million Years (Past) diciptakan pada 1970-1971. Bagian kedua One Million Years (Future) diselesaikan antara 1980-1998.

Kedua bagian ini akan dibaca secara bergantian oleh satu pembaca laki-laki untuk tahun-tahun ganjil dan satu pembaca perempuan untuk tahun genap. Pembaca di luar kriteria gender itu dapat memilih secara manasuka. Sistem pembacaannya melanjutkan bagian terakhir dari lokasi pembacaan sebelumnya yang telah diselenggarakan di berbagai tempat dan negara.

BACA JUGA: ARTJOG 2024 Angkat Tema Motif: Ramalan

Direktur Artjog, Heri Pemad menuturkan selain di dalam gedung pameran, program performa Artjog yang didukung sepenuhnya oleh Bakti Budaya Djarum Foundation akan hadir di panggung Artjog untuk memeriahkan penyelenggaraan festival sebagai sebuah platform bagi seni pertunjukan, seni performance, maupun seni peristiwa langsung lainnya.

Tahun ini Artjog mengundang penari Rianto dan musikus Risky Summerbee & The Honeythief beserta 57 seniman penampil lainnya untuk mempresentasikan gagasan dan ide karyanya. Rianto menampilkan sebuah karya bertajuk Perjalanan Tubuh Jawa bersama Cahwati Sugiarto, seorang penari, penyanyi, komposer, dan koreografer asal Banyumas, untuk menciptakan gerakan transisi yang dialami tubuh melalui pertunjukkan tarian dan iringan musik.

Sementara Risky Summerbee & The Honeythief menyuguhkan pertunjukkan musik yang intim dan eksploratif bersama skenografer Andi Seno Aji dengan eksplorasi tata lampu serta mengajak penonton menjadi bagian dari panggung dan penampil.

Selama penyelenggaraan, Artjog 2024 - Motif: Ramalan akan menghadirkan program-program khas pendukungnya, yaitu Young Artist Award, ARTJOG Kids, performa ARTJOG, Exhibition Tour, Meet the Artist, Merchandise Project, Artcare Indonesia, Jogja Art Weeks, dan yang terbaru Love ARTJOG.

Love Artjoog merupakan program yang mengusung semangat kesetaraan bagi semua penikmat seni khususnya difabel. “Kami mengkampanyekan kepedulian, ksetaraan, dengan mengundang Pusat Layanan DIfabel (PLD) untuk mengajari kita semua bahasa isyarat dan sebagainya,” katanya.

Walau ada keterbatasan dalam mengakomodasi kebutuhan difabel, tetapi dengan program ini diharapkan upaya untuk mewujudkan kesetaraan dapat terus dilakukan. “Kita ada keterbatasan infrastruktur, kita taidak ounya lift, tapi kita punya energi untuk menghapus sekat sekat itu,” ungkapnya.

Artjog 2024 - Motif: Ramalan dapat dikunjungi dari pukul 10.00-21.00 WIB dengan harga tiket masuk Rp75.000 untuk dewasa dan Rp 50.000 untuk anak-anak usia 6-16 tahun. Tiket bisa didapatkan melalui website dan loket di lokasi. Informasi mengenai jadwal kunjungan, agenda program, dan pendaftaran tur dapat diakses melalui situs web www.artjog.id.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Arab Saudi Buka Peluang Kontrak Jangka Panjang 3 Tahun untuk Layanan Haji

News
| Senin, 01 Juli 2024, 02:57 WIB

Advertisement

alt

Harga Tiket Masuk Museum Benteng Vredeburg dan Jam Buka

Wisata
| Sabtu, 29 Juni 2024, 16:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement