Sejarah Pabrik Gula di Sleman yang Sempat Berjaya
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN — Kabupaten Sleman pernah menjadi sentra penghasil gula di DIY. Hal ini ditandai dengan banyak pabrik gula yang didirikan di awal abad ke-20. Namun kejayaan tersebut tinggal menyisakan cerita.
Sentra industri gula di Kabupaten Sleman memiliki sejarah panjang karena berkembang di era Kolonial. Secara umum, kemunculan pabrik gula di Indonesia berlangsung pada masa tanam paksa antara 1830-1870.
Advertisement
Kendati demikian, di wilayah Sleman pengenalan terhadap tanaman tebu baru di akhir masa tanam paksa. Di sisi lain, proses pendirian pabrik baru muncul pada zaman politik liberal yang terjadi dalam kurun waktu 1870-1900.
Budidaya ini juga tidak lepas adanya Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet yang dikeluarkan pada 1870. Di sinilah menjadi momentum kemunculan pabrik gula di Bumi Sembada.
Sama seperti dengan Kabupaten Bantul, pabrik gula di Sleman tercatat ada sembilan yang tersebar di sejumlah kapanewon. Data dari Dinas Kebudayaan atau Kundha Kabudayan Sleman, sembilan pabrik ini terdiri dari Pabrik Gula Beran di Kalurahan Tridadi dan Medari di Kalurahan Triharjo, Sleman; Demakidjo (Demakijo) di Kalurahan Banyuraden, Gamping; Klatjie (Klaci) di Kalurahan Sidoagung dan Rewoeloe (Rewulu) di Kalurahan Sidomulyo, Godean. Selanjutnya ada Pabrik Randoegoenting (Randugunting) di Kalurahan Tamanmartani, Kalasan; Sendangpitoe (Sendangpitu) di Kalurahan Sendangrejo, Minggir; Tandjong Tirto (Tanjung Tirto) di Kalurahan Kalitirto, Berbah dan Tjebongan (Cebongan) di Kalurahan Tlogoadi, Mlati.
Pabrik Sendangpitu di Kalurahan Sendangrejo merupakan yang paling muda karena berdiri di awal 1920. Hal ini dikarenakan pabrik lainnya seperti Beran didirikan 1880; Pabrik Klaci berdiri 1886 dan Pabrik Gula Cebongan berdiri 1979 atau Randugunting yang didirikan pada 1870.
BACA JUGA: Jadi Sentra Produksi Gula di Zaman Belanda, Ini 9 Pabrik Gula Pernah Ada di Sleman
Keberadaan pabrik ini bermula dari akuisisi Perkebunan Tembakau (Tabaksonderneming) milik N.V. Vereenigde Klatensche Cultuur Maatschappij oleh Koloniaale Bank di awal 1920. Koloniaale Bank diketahui memiliki beberapa Pabrik Gula di Jateng dan DIY, yang salah satunya Pabrik Gula Medari.
Setelah proses akusisi selesai, Perkebunan yang ada langsung ditanami komoditas tebu. Ekpansi lahan ini dengan tujuan menjadi auxiliary-factory untuk mendukung peningkatan produksi di Pabrik Gula Medari yang telah beroperasi sejak 1909.
Pemilihan lokasi Perkebunan ini juga tepat karena Koloniale Bank tidak perlu khawatir dengan urusan irigasi. Hal ini dikarenakan sudah ada Saluran Van Der Wijck yang dibangun oleh N.V. Vereenigde Klatensche Cultuur Maatschappij dan mulai beroperasi pada 1910.
Oleh karenanya, pembangunan pabrik ini tidak ada kendala sehingga pada Mei 1922, Pabrik Gula Sendangpitu mulai beroperasi setelah diresmikan pada bulan sebelumnya dengan J.G. Hellendorn sebagai Administratur. Kendati demikian, sejarah produksi gula di Sendangpitu tidak bertahan lama.
Setelah delapan tahun beroperasi atau tepatnya pada 1930 menjadi musim giling terakhir hingga akhirnya tutup selama-lamanya. Krisis ekonomi global di akhir 1929 atau dikenal dengan istilah The Great Deppresion menjadi pemicu bangkrutnya pabrik gula ini.
Sisa-sisa dari bekas pabrik masih bisa dilihat. Keberadaannya tidak jauh dari Pemerintah Kalurahan Sendangrejo, saat ini. Yakni hanya berjarak sekitar 200 meter ke timur atau tepatnya sekarang berubah menjadi Lapangan Sendangrejo.
Jejak dari pabrik terlihat dari bangungan tembok terbuat dari bata yang tak lagi utuh. Oleh pemerintah setempat, bekas bangunan ini diperbaiki untuk kemudian menjadi panggung hiburan untuk dipergunakan setiap ada acara di Lapangan Sendangrejo.
Founder Komunitas Roemah Toea, Aga Yurista Pambayun mengatakan, di Sleman terdapat sembilan pabrik gula. Pabrik Sendangpitu merupakan yang termuda setelah adanya akuisisi perekebunan tembakau oleh Koloniaale Bank pada 1920.
Total lahan yang dimiliki seluas 700 bahu, dengan perhitungan per bahunya sama dengan 0,7 hektare. Di panen perdana pada Juli 1923 bisa mendapatkan tebu seberat 990 pikul, dengan perhitungan per pikulnya sama dengan 60,479 kilogram.
“Setelah diolah bisa menjadi gula seberat 112 pikul,” kata Aga, Senin (14/10/2024).
Untuk memperlancar pengangkutan hasil produksi gula dilakukan kerja sama dengan Maskapai Kereta Api NIS untuk membangun jalur yang terhubung antara Sendangpitu dengan Stasiun Tempel. Hal ini tak lepas dari produktivitas yang terus meningkat di setiap tahunnya.
“Pada 1926 dan 1927, PG Sendangpitu berhasil menggiling 10.954 ton dan 11.833 ton tebu,” ungkapnya.
Meski demikian, masa emas pabrik gula ini tak berlangsung lama. Pada Juni 1930, Koloniale Bank terpaksa menutup Sendangpitu dengan alasan efisiensi operasional karena memiliki beberapa pabrik gula di Jateng dan DIY.
Hasil perkebunan tebu yang sudah siap panen pada musim giling 1931, dipanen oleh induknya, yaitu PG Medari. “Apa yang terjadi di Pabrik Sendangpitu juga terjadi di pabrik-pabrik lainnya di Sleman yang berjatuhan hingga akhirnya tutup,” ungkap Aga.
Berdasarkan penelusuran sejarah yang dilakukannya, ia mengakui di awal abada 20 menjadi masa emas produksi gula. Pasalnya, pabrik gula tumbuh subur di Sleman hinga tercatat ada sembilan pabrik.
Hanya saja, lanjut dia, produksi gula yang sempat jaya akhirnya mengalami kemunduran sekitar 1920an. Hal ini terjadi karena jumlah produksi lebih tinggi ketimbang kebutuhan di pasaran.
Krisis ini makin menjadi saat terjadi resesi ekonomi di era 1930an. “krisis ini dikenal dengan the great depression yang banyak pabrik gula yang bangkrut hingga akhirnya tutup. Pada saat Jepang masuk kondisi pabrik di Sleman sudah tutup semua,” katanya.
Di sisi lain, banyaknya pabrik juga membuat pasokan gula di pasaran menjadi melimpah. Hal ini pun berpengaruh terhadap harga jual yang anjlok.
“Keberadan pabrik gula murni untuk bisnis,” katanya.
Pascatutup, Aga tidak menampik bekas pabrik gula seperti Medarie, Cebongan, Beran masih terlihat di 1940an. Tapi, sambung dia, memasuki 1950an mulai menghilang.
“Kalau sekarang, hanya sedikit sisa dari kejayaan pabrik gula di Sleman,” katanya.
Kepala Bidang Sejarah Bahasa Sastra dan Permuseuman, Dinas Kebudayaan Sleman, Anas Mubakkir mengatakan, jejak atau bekas pabrik gula wilayah Sleman sudah didokumentasikan menjadi sebuah buku di 2022. “Judulnya Yang Tersisa dari Pabrik Gula di Wilayah Sleman. Ini yang mendanai Dinas Kebudayan Sleman melalui Dana Keistimewaan,” kata Anas.
Dia menjelaskan, pembuatan buku dilakukan untuk melacak jejak dari Pabrik Gula di Sleman. Terlebih lagi, sambungnya, sekarang masih ada sisa peninggalan dari pabrik tersebut.
“Sisa peninggalan ini adalah Kantor Disdukcapil Sleman yang dulu merupakan bekas perkantoran dari Pabrik Gula Beran. Kami buat buku untuk bahan referensi generasi muda, khususnya di Sleman agar paham Sebagian sejarah dari Sleman,” katanya.
Kepala Bidang Warisan Budaya, Dinas Kebudayaan Sleman, Esti Listyowati mengatakan, di masa kependudukan Belanda, di Kabupaten Sleman terdapat sembilan pabrik gula yang tersebar di sejumlah kapanewon. Meski demikian, hingga saat ini tinggal menyisakan sedikit peninggalan karena semua lokasi pabrik sudah tidak tersisa.
“Kalau pabriknya sudah tidak ada sisanya, tapi ada beberapa peninggalan yang masih tersisa hingga sekarang,” kata Esti, Senin (29/7/2024).
Menurut dia, upaya penyelamatan dari sisa-sisa pabrik gula dilakukan dengan menetapkan sebagai cagar budaya. Untuk lokasi pabrik, Esti mengakui tidak masuk dalam kategori, tapi menyasar ke rumah administratur dan lainnya.
Sebagai contoh, beberapa peninggalan yang dijadikan cagar budaya seperti gedung di SMP Negeri 1 Sleman, dulunya bekas untuk pegawai Pabrik Medari. Selanjutnya ada bangunan SMP Negeri 1 Berbah, Polsek Berbah yang dulunya sebagai rumah pegawai Pabrik Tanjungtirto (Tandjongtirto).
Hal yang sama juga terlihat di bangunan Puskesmas Mlati 2 ditetapkan sebagai cagar budaya dikarenakan dulunya sebagai klinik kesehatan di Pabrik Gula Cebongan (Tjebongan). Adapun sisa dari Pabrik Randugunting (Randoegoenting) di Kalurahan Tamanmartani, Kalasan ada klinik Kesehatan dan cerobong asap pabrik yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Sleman.
“Dengan ditetapkan sebagai cagar budaya sebagai upaya melindungi jejak sejarah yang ada,” katanya.
Esti menambahkan, upaya penyelamatan terus dilakukan. Salah satunya dengan rencana penetapan cagar budaya di Kawasan bekas Pabrik Gula Sendangpitu (Sendangpitoe) di Kalurahan Sendangrejo, Minggir.
Rencananya penetapan juga sebagai upaya mendukung penguatan desa budaya di Kalurahan Sendangrejo. Selain itu, juga ada kantor Disdukcapil Sleman yang dulunya menjadi bekas kantor Pabrik Gula Beran.
“Masih dikaji dan mudah-mudahan bisa ditetapkan sebagai cagar budaya di tahun ini,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Bawaslu Bakal Terapkan Teknologi Pengawasan Pemungutan Suara di Pilkada 2024
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Kemiskinan Sleman Turun Tipis, BPS Sebut Daya Beli dan Inflasi Jadi Biang
- Relawan Posko Rakyat 45 Kerahkan Dukungan ke Pasangan Afnan-Singgih
- Hiswana Migas DIY Dorong Pemilik 4 SPBU yang Ditutup agar Lakukan KSO untuk Kelancaran Distribusi BBM
- Difabel Merdeka Dukung Hasto-Wawan di Pilkada Kota Yogyakarta
- KPU Larang Pemanfaatan Lapangan Denggung, 2 Paslon Pilkada Sleman Urung Gelar Kampanye Akbar
Advertisement
Advertisement