Advertisement

Mengenal Gerry Utama, Peneliti Muda Indonesia yang Susun Atlas Pertama King George Island di Antartika

Catur Dwi Janati
Selasa, 04 Februari 2025 - 06:57 WIB
Ujang Hasanudin
Mengenal Gerry Utama, Peneliti Muda Indonesia yang Susun Atlas Pertama King George Island di Antartika Alumnus Fakultas Geografi UGM, Gerry Utama saat menjalankan ekspedisi di Antartika. - Istimewa 

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN -- Menjelajahi daratan es beku Antartika, tentu tak mudah ditempuh oleh peneliti asal negara Tropis seperti Indonesia. Namun anggapan itu nampaknya tak berlaku bagi Alumnus Fakultas Geografi UGM, Gerry Utama.

Seperti anomali, Gerry justru menembus suhu dingin Antartika di minus puluhan derajat celsius untuk menyibak temuan fosil kayu ratusan juta tahun dan menyusun atlas pertama di King George Island.

Advertisement

Medio Februari-Juli 2024, menjadi periode waktu yang sepertinya tak akan dilupakan dalam hidup Gerry. Pria bertinggi sekitar 170 senti itu melawan dinginnya angin Antartika yang diselimuti hawa beku untuk satu tujuan, yakni pengetahuan. 

Gerry yang saat itu sedang menempuh studi Magister Paleogeografi di Saint Petersburg State University, Rusia melakukan ekspedisi Antartika sebagai bagian dari misi Russian Antarctica Expedition (RAE). Gerry menjadi orang Indonesia dan ASEAN pertama yang mengikuti program RAE yang sudah berjalan sebanyak 69 kali. Selain itu Gerry juga tercatat sebagai peneliti Indonesia termuda yang pernah menapakkan kakinya di Antartika. 

"Saya termuda dalam sejarah misi Antartika yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bukan termuda dalam sejarah dunia. Tapi dalam misi Antartika yang pernah dijalankan oleh pemerintah Indonesia," kata Gerry pada Senin (3/5/2025).

Beberapa orang Indonesia sebelumnya juga telah melakukan misi ke Antartika itu dari tahun 2002 dengan kapal Aurora Australis dari kapal Australia. Kemudian tahun 2016 juga peneliti Indonesia lainnya dengan kapal riset milik Jepang. Selanjutnya Gerry dengan tahun 2024 dengan kapal riset milik Rusia Tyroshnikov. Tercatat dari tujuh peneliti Indonesia yang pernah ke Antartika, Gerry menjadi yang termuda dalam sejarah. Kala menginjakkan kaki ke Antartika, Gerry saat itu berusia 30 tahun.

"Jadi dalam sejarah misi Indonesia saya yang termuda dan itu sudah kita verifikasi usia-usianya dan memang memang termuda dalam sejarah misi Antartika yang pernah dijalankan oleh keterlibatan pemerintah Indonesia dalam misi Antartika," ungkapnya. 

BACA JUGA: Kisah Sukses Pemilik Rocket Chicken, Dapat Nama Brand saat Mandi

Tak sekadar muda keterlibatan Gerry dalam misi ini tak main-main. Sebagai ahli di bidang geomorfologi dan juga memiliki kemampuan dalam membaca radar, keikutsertaan Gerry dalam ekspedisi memang penting. Bersama, peneliti Rusia, Gerry menyusun atlas area Antartika yang bahkan sebelumnya belum pernah dipetakan oleh peneliti manapun, yakni di area King George Island. 

"Sepengetahuan saya dari profesor saya, itu baru. Mendetailkan belum, membuat informasinya belum. Baru, peta geomorfologinya baru," tegasnya. 

Peta geomorfologi ini akan disusun menjadi atlas khusus. Besar kemungkinan bila dibuka ke publik nantinya, atlas ini bisa menjadi rujukan orang di seluruh dunia. 

"Saya sudah menyusun yang bahasa Inggris tapi ini baru konsumsi pemerintah Rusia dulu," ujarnya. 

Bocorannya atlas tersebut akan memuat gambaran lanskap King George Island. Hasil ekspedisinya mengemukakan adanya aktivitas tektonisme di sana. Di mana ditemukan patahan yang naik membentuk puncak (horst) dan patahan yang turun membentuk lembah (graben).

"Ada graben, kaya horst yang di Bantul, itu yang menjadi unik bahwa ada tektonisme. Kemungkinan ketika ada proses tektonisme ada potensi munculnya material aktivitas vulkanik," ungkapnya. 

Gerry mendesain pemetaan geomorfologi di Island King George. Di sana gerry juga menemukan bagaimana perubahan proses geomorfologi yang terjadi di King George Island. 

"Temuan-temuan kami, saya berapa kali sudah sampaikan, ada temuan fosil kayu, kalau bahasa Rusianya pusok, yang estimasi usia itu 130 juta tahun yang lalu dan itu menjadi indikasi bahwa Pulau King George di zona Antartika Barat itu, pernah mengalami proses tektonisme dan juga berada pada fase di mana vegetasi berkambrium. Artinya dengan pohon-pohon besar itu pernah menetap, pernah ada di Pulau King George," terangnya. 

Temuan ini menjadi indikasi untuk mengetahui perubahan iklim, fenomena-fenomena yang terjadi pada masa lampau. Bagi Gerry, Antartika layaknya flash disk beku yang menyimpan data proses geologi dan geomorfologi yang pernah terjadi di muka bumi.  

"Antartika itu menjadi sebuah memori, atau kalau saya bilang flash drive, flash disk yang menyimpan informasi tentang sejarah terjadinya proses geologi atau geomorfologi yang ada di muka bumi," imbuhnya. 

"Tidak hanya fosil kayu, temuan kami banyak sekali temuan-temuan terkait pemetaan. Kami mengerjakan juga licin, licin itu lumut. Kerjaan saya juga memetakan lumut," ujarnya. 

BACA JUGA: Kisah Sukses Mahasiswa Jogja Berbisnis Fesyen dengan Omzet Ratusan Juta, Bawa Isu Ramah Lingkungan

Lumut bukan sembarang lumut, lumut ini kata Gerry menjadi indikator terkait perubahan iklim yang terjadi di dunia. Dengan identifikasi lumut yang ada di Antartika fenomena perubahan iklim juga bisa diungkap.

"Jadi kami juga menemukan lumut dengan variasi warna dan ini menjadi indikator penting dalam memahami dinamika iklim global di Antartika dan juga di dunia," terangnya. 

"Selain itu, kami juga beberapa temuan-temuan penelitian-penelitian sebelumnya, kita menemukan material vulkanik yang diperkirakan itu dari erupsi gunung api," lanjutnya. 

Menurut Gerry beberapa-beberapa peristiwa quarter besar di Indonesia yang mengalami periodisasi vertikal vulkanik V yang sangat tinggi, Volcanic Exploration Index yang tinggi. Beberapa di Gunung Samalas dan di Gunung Tambora.

"Kami masih menganalisis terkait temuan material tepra. Belum tahu ini dari gunung api siapa, cuman di Antartika itu semua informasi tersimpan dengan baik mengenai sejarah perubahan iklim, dinamika perubahan iklim," jelasnya. 

Temuan fosil kayu bukan temuan pertama dan bukan temuan yang sangat baru. Hanya saja verifikasi ulang akan mengungkap fenomena apa yang terjadi di Antartika. 

"Merekonstruksi batas deliniasinya, batas vegetasi apa. Itu yang menjadi catatan kami untuk merekonstruksi vegetasi apa yang pernah bermungkim di Pulau King George," kata Gerry.

"Bagaimana mendorong kami untuk menganalisis, merekonstruksi dinamika perubahan geomorfologi yang terjadi di Antartika secara keseluruhan," lanjutnya

Segala pengetahuan yang disibak Gerry dari misteriusnya Antartika tak ia dapat dengan perjuangan yang mudah. Datang di Antartika saat musim dingin tengah berlangsung, Gerry harus menembus angin Antartika yang begitu dingin. 

Gerry berangkat bersama dengan tim RAE menggunakan kapal riset Tyroshnikov menuju Cape Town, Afrika Selatan dengan waktu tempuh tiga pekan. Setalah berhenti beberap hari dari Cape Town kapal melanjutkan ke perjalanan ke Stasiun Mirny yang merupakan salah satu stasiun pemantauan tertua di Antartika.

"Stasiun kami yang pertama itu stasiun Mirny dan itu letaknya dekat dari Indonesia. Memakan waktu kurang lebih 12 hari dari Cape Town ke stasiun Mirny," ujarnya. 

Dari kapal yang bersandar, Gerry dan tim RAE kemudian diterbangkan menggunakan helikopter ke stasiun tujuan. Penggunaan helikopter ini menjadi susah menjadi SOP yang diterapkan bagi peneliti di Antartika di mana peneliti tidak boleh bergeser dari kapal ke stasiun maupun arah sebaliknya secara jalan kaki. 

Selanjutnya dari stasiun di Antartika, Gerry akan menjelajah hamparan lanskap es untuk mengumpulkan segala informasi yang ditemuinya. Termasuk membuat pemetaan area sebagai bahan atlas nanti. Bila data telah terkumpul Gerry akan berpindah ke stasiun lainnya menggunakan kapal begitu seterusnya. 

"Menggunakan alat khusus [pemetaan] kemudian menggunakan teknologi seperti pemetaan Geographic Information System (GIS). Cuma yang jadi susah kan mengklasifikasikan dan itu harus dicek temuan-temuan di kami. Tertutup es tadi, kami harus memetakan pelapisannya," imbuhnya. 

Sebagai orang yang tumbuh dan besar di begara tropis, penyesuaian dengan iklim Antartika kudu dijalani Gerry. Seperti perubahan waktu yang setiap hari diumumkan lewat pengeras suara, hingga arah kiblat yang terus berubah-ubah sesuai letak stasiun dan kapal berlabuh. Selain itu angin musim dingin di salah satu wilayah paling dingin bumi itu membuatnya cepat lelah saat menjelajah.

"Pada dasarnya [badai] sudah menjadi bagian kehidupan kita di Antartika, dengan kondisi badai, karena di beberapa stasiun kecepatan badai itu kecepatan angin ya itu hampir 300 km per jam, jadi kita tidak bisa beroperasional, itu salah satu tantangannya," ujarnya. 

Belum lagi temperatur yang pada dasarnya sudah rendah. Suhu paling panasnya saja di Antartika berkisar di antara minus 10 atau minus 20 derajat celsius. 

"Jadi masih panas itu yang minus. Apalagi ketika masuk pada musim dingin itu estimasi bisa minus 80 derajat celsius. Bahkan di Stasiun Vostok itu bisa minus 100 atau minus 120 derajat celsius,"

Bekerja dengan kondisi tubuh itu yang tidak berkeringat benar-benar berpengaruh kepada fisik Gerry. Kondisi dingin itu juga bisa membuat Gerry cepat lelah.

"Bagaimana mencoba hidup di kondisi yang sangat ekstrem dan membentuk suatu aktivitas seperti lainnya, hidup seperti biasa. Cuma beda temperatur aja dan kalau keluar ya pakai jaket, itu aja bedanya," jawabnya. 

Dengan banyaknya misteri yang masih belum tersibak dalam selimut es Antartika, menurut Gerry peluang peneliti Indonesia untuk menjamah pengetahuan Antartika begitu besar. Mungkin setelah Gerry, akan ada banyak peneliti Indonesia yang akan tertarik membuka tirai misteri Antartika.

"Secara keseluruhan peluangnya besar ya, tidak menutup kemungkinan siapapun. Yang terlibat dalam penelitian Antartika, asal mumpuni dan berkapasitas, itu tidak menutup kemungkinan untuk berpartisipasi," tegasnya. 

Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Ova Emilia menanggapi kiprah alumnusnya yang berhasil menjelajah lantai beku Antartika. Bagi Ova, ekspedisi ini menunjukkan bila penelitian bisa dilakukan di mana saja. 

"Ini Indonesia menjadi kontributor," ungkapnya. 

Ova akan mendorong bagiamana keterlibatan kampus dalam isu Antartika ini makin tegas di kancah internasional. Tak menutup kemungkinan UGM akan membangun lembaga, program studi atau pusat studi mengenai Antartika. 

"Itu suatu hal yang sangat dinamis pembuatan suatu program studi ataupun pusat studi. Dengan adanya kebutuhan ini pasti akan ada sesuatu yang harus kita buat. Mungkin laboratorium, mungkin pusat studi, artinya ini menjadi potensi yang harus kami manfaatkan untuk kepentingan bangsa dan global," tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Presiden AS Donald Trump Angkat Elon Musk Jadi Staf Khusus Pemerintahan

News
| Selasa, 04 Februari 2025, 08:27 WIB

Advertisement

alt

Hindari Macet dengan Liburan Staycation, Ini Tipsnya

Wisata
| Senin, 27 Januari 2025, 18:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement