Advertisement
Transformasi Wukirsari: Dari Buruh Batik ke Desa Wisata Unggul
Aktivitas warga dan wisatawan tampak di Kampung Batik Giriloyo, Desa Wisata Wukirsari, Imogiri, Bantul, belum lama ini. Kawasan yang ditetapkan sebagai Kampung Berseri Astra itu kini menjelma menjadi desa wisata berkelas dunia. Harian Jogja - Yosef Leon
Advertisement
Harianjogja.com, BANTUL—Di Desa Wisata Wukirsari, Imogiri, Bantul, para perempuan yang dulu hanya sebagai buruh batik kini menjadi perajin mandiri sekaligus pemandu wisata budaya batik tulis.
Bagi Istijanah, 56, membatik bukan sekadar pekerjaan. Aktivitas itu adalah napas kehidupan yang diwariskan turun-temurun di Desa Wisata Wukirsari. Ia mulai mencanting sejak 1980-an, saat upah membatik masih Rp50 per lembar kain. “Waktu itu mau dikerjakan tiga hari atau seminggu, ya upahnya tetap Rp50,” ujarnya saat ditemui di pendopo Kampung Batik Giriloyo belum lama ini.
Advertisement
Kala itu, para perempuan Wukirsari hanyalah buruh batik yang hasil karyanya diambil oleh juragan-juragan batik dari Jogja. Gajinya pun tak langsung cair, harus menunggu sebulan penuh. “Kadang kami ngembalikan 20 lembar batik ke Jogja, baru bulan depannya dikasih uang,” ungkapnya.
Kini, pemandangan berbeda terlihat di Giriloyo, Cengkehan, dan Karangkulon—tiga dusun pembatik di Wukirsari. Para ibu seperti Istijanah tak lagi sekadar buruh. Mereka tergabung dalam 12 kelompok batik, seperti Bima Sakti dan Berkah Lestari, yang memproduksi, menjual, sekaligus mengedukasi wisatawan yang datang belajar membatik.
BACA JUGA
“Sekarang alhamdulillah, sudah enggak jadi buruh lagi. Kami bisa jual sendiri, bahkan ada turis yang beli langsung dari sini,” kata Istijanah.

Sejarah Panjang dari Abdi Dalem hingga Kampung Wisata
Sejarah panjang batik di Wukirsari tak bisa dilepaskan dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Daerah ini sudah dikenal sejak 1634, saat pembangunan Makam Raja-raja Imogiri. Para abdi dalem laki-laki membangun makam, sementara para istrinya diajak ke kota untuk belajar membatik.
Dari sanalah warisan motif klasik seperti Sido Mukti, Sido Asih, Wahyu Temurun, dan Taruntum mengakar kuat di dusun-dusun pembatik Wukirsari. Ratusan tahun lamanya warga setempat hanya menjadi buruh batik. Baru pada 1980-an, mulai muncul kelompok-kelompok mandiri.
Titik balik desa itu menuju panggung dunia datang pascagempa besar Jogja tahun 2006. Daerah ini sempat lumpuh total—rumah-rumah hancur, kegiatan membatik berhenti. Namun setahun kemudian, semangat warga bangkit. Pada 2007, mereka mencatat sejarah dengan membuat selendang batik sepanjang 1.000 meter yang masuk Rekor MURI.
Ketua Desa Wisata Wukirsari, Nur Ahmadi, menyebut dari momentum itu warga sepakat menjadikan Wukirsari bukan sekadar kampung batik, melainkan desa wisata. Hasilnya nyata: sejak 2009, Wukirsari menjadi pusat eduwisata pelestarian budaya. Wisatawan bisa belajar membatik langsung dari perajin, menyewa homestay warga, hingga menikmati kuliner khas seperti wedang uwuh dan bakpia batik. Pada 2019, kunjungan wisatawan mencapai 29.000 orang, menjadikannya salah satu desa wisata tersukses di DIY.
Pandemi sempat menurunkan jumlah pengunjung hingga 73 persen, tetapi promosi digital dan kolaborasi dengan influencer lokal berhasil mengangkatnya kembali. Pada 2024, kunjungan melonjak ke 40.000 wisatawan, dengan sistem pemberdayaan yang kuat. “Setiap lima wisatawan yang belajar batik, satu perajin kami panggil kerja. Jadi sekitar 8.000 warga terbantu tiap tahun,” tambah Nur Ahmadi.
Kini, Wukirsari bukan hanya bertahan, tetapi juga melesat. Tahun 2024, desa ini menyabet Best Tourism Village versi UN Tourism dan Juara 1 Desa Wisata Maju ADWI. Bagi Nur Ahmadi, penghargaan itu bukan tujuan akhir. “Juara bagi kami adalah ketika warga bisa hidup layak dari pariwisata,” ujarnya.
Keberhasilan Wukirsari tak lepas dari kemitraan dan pemberdayaan lintas sektor. Salah satunya melalui penetapan desa ini sebagai Kampung Berseri Astra (KBA), program kontribusi sosial berkelanjutan dari Astra yang mengembangkan masyarakat melalui empat pilar: kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan.
Program KBA mendorong Wukirsari untuk terus menciptakan ekosistem desa yang bersih, sehat, cerdas, dan produktif—sejalan dengan semangat warga yang sejak lama hidup dari budaya dan kreativitas. Hasilnya, dari buruh batik, kini warga telah menjadi perajin, pelaku UMKM, hingga pemandu wisata.

Tugas Berat Menuntaskan Kemiskinan Ekstrem
Hanya saja, Wukirsari kini secara tak langsung mengemban tugas baru di pundak pelaku pariwisatanya. Sebab, Kapanewon Imogiri menjadi wilayah dengan jumlah penduduk miskin ekstrem terbesar kedua di Bantul dengan 998 jiwa pada 2024. Kue pariwisata dari desa itu diharapkan bisa tersebar ke desa-desa lain, sehingga menumbuhkan semangat pemerataan dan keadilan ekonomi.
Panewu Kapanewon Imogiri, Slamet Santoso, mengakui angka tersebut menunjukkan masih ada persoalan di wilayahnya. Menurutnya, data kemiskinan ekstrem selama ini dihitung dari pengeluaran per kapita tanpa mempertimbangkan konteks sosial ekonomi masyarakat desa. Padahal, warga pedesaan banyak yang hidup dengan sistem subsisten—memenuhi kebutuhan tanpa selalu melakukan transaksi uang.
Ia menilai indikator kemiskinan yang terlalu matematis bisa menimbulkan bias. Misalnya, warga yang memiliki lahan, tanaman produktif, atau hewan ternak tidak selalu tercatat sebagai aset dalam pendataan resmi. “Padahal itu bentuk kekayaan yang nyata, cuma tidak masuk hitungan statistik,” tambah Slamet.
Dengan populasi sekitar 64.000 jiwa, sebagian besar warga Imogiri bekerja sebagai petani dan pekerja harian. Namun kondisi geografis yang relatif terpencil membuat sebagian wilayah Imogiri sulit berkembang secara ekonomi. Meski begitu, sektor wisata mulai membuka peluang baru seperti di Desa Wukirsari yang kini tumbuh lewat wisata edukasi batik.
“Dulu warga hanya jadi buruh batik, sekarang mereka bisa menjual keterampilannya langsung ke wisatawan. Satu orang bisa dapat Rp50 ribu per kelompok untuk mendampingi wisata edukasi. Kalau sehari dapat beberapa kelompok, penghasilannya jauh lebih baik,” terang Slamet.
Efek domino pun mulai terasa. Muncul usaha kuliner, penjual suvenir, dan produk lokal yang ikut merasakan manfaatnya. “Efeknya memang belum besar, tapi sudah mulai terasa. Ekonomi warga mulai bergerak,” ujarnya.
BACA JUGA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Imbas Shutdown, Dana Perumahan Militer AS Dialihkan untuk Gaji Tentara
Advertisement
Desa Wisata Adat Osing Kemiren Banyuwangi Masuk Jaringan Terbaik Dunia
Advertisement
Berita Populer
- Dinpar DIY: Festival Lampion di Bantul Aman Tidak Ada Kebakaran
- Siswa SMP Kulonprogo Terjerat Judol, Ibunya Dapat Modal Usaha
- 695 Siswa dan Guru di Saptosari Gunungkidul Diduga Keracunan MBG
- 9.448 Siswa di Gunungkidul Siap Ikuti Tes Kemampuan Akademik
- Ular Sowo Kembang Masuk Kandang Ayam, Damkar Kulonprogo Turun Tangan
Advertisement
Advertisement



