Advertisement
Kemiskinan Masih Menganga Jadi Celah Memuluskan Paham Radikal

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA- Sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hingga kini tidak kunjung bisa diwujudkan oleh Pemerintah. Ketimpangan antara yang kaya dan miskin tetap menganga. Celah ini kerap dijadikan senjata oleh kaum teroris untuk mengambil hati anak muda agar mau bergabung dengan kelompoknya.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa Buya Syafii mengatakan, meskipun sempat ada pergantian undang-undang dasar, tapi Pancasila selalu terdapat dalam konstitusi Indonesia sejak merdeka hingga kini. Hanya saja, setelah Kemerdekaan yang hampir berusia 73 tahun, sila kelima tidak jua 'turun ke bumi'.
Advertisement
"Bahwa ada Kemajuan iya. Tahun 1945, masyarakat yang buta huruf di atas 90 persen. Sekarang yang melek huruf sudah 95 persen. Hebat itu. Tapi kehebatan kita masih jauh dibandingkan dengan Korea Selatan, padahal kita punya Pancasila," kata Buya saat jumpa pers Bulan Pancasila, Kita Pancasila di Kompleks Kepatihan, Rabu (6/6/2018).
Soal rumus merumuskan, sambung Buya, Bangsa Indonesia adalah juaranya. Pancasila adalah puncak dari keahlian tersebut. Tapi, kemampuan merumuskan tidak menular ke dalam kemampuan mempraktikkan yang telah dirumuskam. Saat waktunya melaksanakan, orang Indonesia kerap berbeda antara kata dan perilaku.
BACA JUGA
Padahal sila kelima, jika dijalankan, ujar Buya, akan jadi alat yang efektif untuk membendung radikalisme, yang merupakan adik dari terorisme. Karena itu Pemerintah harus benar-benar serius dalam mengupayakan terwujudnya keadilan sosial. Dari data yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2017, rasio gini Indonesia masih cukup tinggi, yakni 0,391.
"Kalau negara enggak serius untuk menurunkan sila kelima dan pasal 33, pada akhirnya kita juga akan lelah [untuk berusaha]. Sistem ekonomi kita ini masih neoliberal. Para menteri harus sadar betul, kalau enggak mau jadi bumerang untuk kesekian kalinya. Harus dikoreksi perilaku kita, tanpa menyalahkan siapa-siapa," tegas Buya.
Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono mengungkapkan, kaum radikal yang ingin mengubah dasar negara kerap kali memanfaatkan tingginya ketimpangan sebagai strategi untuk menarik pengikut baru. Para kaum radikal selalu menunjukkan kepada mahasiswa sasarannya bahwa demokrasi dan Pancasila sudah terbukti tidak bisa memberikan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat.
Mereka, kata Panut, juga menyebut demokrasi dan Pancasila adalah hukum buatan manusia. Peradaban yang telah ambruk dijadikan contoh dari kegagalan hukum yang dibuat oleh manusia. Saat mahasiswa sudah terlena, mulailah para radikalis menawarkan alternatif baru yakni negara yang berdasarkan hukum Islam.
Panut mengatakan, untuk membendung radikalisme di UGM, dirinya menggunakan pendekatan dialog dengan menekankan pada kedalaman argumen dan logika. Selain itu, pemahaman mengenai sejarah sangat penting untuk disampaikan kepada mahasiswa.
"Bagaimana para kiai [ikut serta] membentuk Negara Pancasila banyak yang tidak tahu. Dalam membangun negara, para kiai juga meminta petunjuk yang Maha Kuasa, sehingga [inilah] paling baik untuk kita. Bukan bentuk negara yang salah, tapi proses untuk menjadikan negara ini makmur dan adil yang harus diperbaiki," terang Panut.
Sebagai bagian dari partisipasi dalam upaya membumikan Pancasila, Pengurus Pusat Alumni Gadjah Mada (PP Kagama), ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA) UII dan Kwarda DIY akan menyelenggarakan rangkaian kegiatan Bulan Pancasila dengan tajuk Kita Pancasila.
Bulan Pancasila akan berlangsung dari Juni hingga Agustus 2018. Rangkaian kegiatan ini terdiri dari beragam acara seperti sarasehan, pemilihan figur inspiratif, lomba mural, lomba vlog, menulis berita dan lain-lain. Semua kegiatan tentu berkaitan dengan Pancasila.
Gubernur DIY Sri Sultan HB X menjelaskan, Acara Bulan Pancasila didesain agar menjadi peristiwa budaya. Kegiatan ini juga diusahakan secair mungkin, sehingga tidak ada sekat antara elit dan masyarakat kebanyakan. "Kalau masyarakat duduk di bawah, ya pejabatnya duduk di bawah. Jangan memisahkan pejabat dan rakyatnya karena acara ini adalah dari kita untuk kita," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Berawal dari Mimpi tentang Nabi Nuh, Sepanjang Hidup Mencintai Sungai
Advertisement

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement