Advertisement

Sebelum Gelar Lomba, Kodim Jogja Adakan Workshop Jemparingan

Abdul Hamied Razak
Jum'at, 26 Oktober 2018 - 17:20 WIB
Arief Junianto
Sebelum Gelar Lomba, Kodim Jogja Adakan Workshop Jemparingan Suasa Workshop Jemparingan Mataraman di Aula Makodim 0734 Jogja, Jumat (26/10/2018). - Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA--Jemparingan atau tradisi memanah dalam budaya Mataram terus dikembangkan di DIY. Tahun ini saja, banyak event jemparingan digelar di sejumlah wilayah. Hal ini menegaskan tradisi panahan kuno tersebut menjadi ciri khas DIY.

Tidak hanya dilombakan, lokakarya jemparingan juga digelar agar para atlet bisa memahami sejarah, makna dan filosofi yang terkandung dalam olahraga tradisional tersebut. "Workshop kami gelar sebelum nanti digelar Lomba Jemparingan Mataram di Lapangan Panahan, Jl. Kenari Jogja," kata Tri Setya Admi, Kasi Adat Seni dan Tradisi Sejarah, Dinas Kebudayaan (Disbud) Jogja di Aula Makodim 0734 Jogja, Jumat (26/10).

Advertisement

Dia mengatakan Lomba Jemparingan Mataram tahun ini mengambil tema Bersatunya TNI dan Rakyat Dalam Gelar Wadah Sosial Seni Budaya Dari Jogja Menuju NKRI. Lomba itu, kata dia juga digelar dalam rangka HUT ke-73 TNI; HUT ke-68 Kodam IV Diponegoro; dan HUT ke-262 Kota Jogja ke 262.

pengajeng Paguyuban Jemparingan Mataraman Gandhewa Mataram Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Jatiningrat sekaligus salah satu kerabat Kraton mengatakan tradisi jemparingan gagrak Mataraman ini tidak lepas dari awal mula berdirinya Kraton Jogja pada Kamis Pon, 29 Jumadil Awal 1686/13 Maret 1755. "Itu muncul semenjak perjuangan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan HB I) dalam melawan penjajah Belanda. Jemparingan tidak asal memanah tetapi penuh dengan filosofi," katanya.

Dia menjelaskan dalam Jemparingan Gagrak Mataraman proses membidik sasaran tidak hanya dengan mata tetapi dengan hati. Ini merupakan ajaran dari Sri Sultan HB I terkait dengan menyatukan jiwa. “Jiwa yang nyawiji merupakan tanda komitmen dari sosok seorang ksatria,” ujar dia.

Dalam memanah, pemanah harus duduk dengan posisi bersila dengan jarak 30 meter dari sasaran, kemudian pemain harus menembakkan anak panah ke bandul putih yang menggantung dengan panjang kira-kira 30 sentimeter. Biasanya, pemanah diberi kesempatan menembak dalam 20 rambahan (ronde), dengan empat anak panah per rondenya. "Jadi busur di letakkan di depan dada (bukan di depan kepala) dan posisi vertikal atau mendatar. "Mata hanya untuk menerka dan mengarahkan, sedangkan membidiknya dengan rasa- atau hati," katanya.

Adapun filosofi dari jemparingan, kata dia lebih pada pamenthanging gandewa, pamanthenging cipto atau ketika menthang gandewa yang dipakai untuk membidik itu hati, bukan mata. Bisa dikatakan hal itu untuk mencapai sasaran, dengan sistem kira-kira. Hal ini dimaksudkan untuk melatih konsentrasi. “Sri Sultan HB I kala itu berharap agar para abdi dalem, sederek, keluarga, dan rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat dapat menjadi ksatria yang memiliki sifat sawiji (konsentrasi), greget (semangat), sengguh (jatidiri) dan ora mingkuh (bertanggung jawab)," kata pria yang akrab disapa Romo Tirun itu.

Kepala Staf Kodim 0734 Jogja Mayor Inf M. Munasik mengatakan bersatunya TNI dan rakyat dalam wadah jemparingan tidak lepas dari semangat TNI dan rakyat mencintai kebudayaan Indonesia. "Tradisi budaya yang ada di masyarakat harus dijaga dan dilestarikan. Mari bersama-sama mengembangkan budaya yang ada di negeri kita," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Militer Madagaskar Bentuk Komite Pemerintahan

Militer Madagaskar Bentuk Komite Pemerintahan

News
| Selasa, 14 Oktober 2025, 23:37 WIB

Advertisement

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA

Wisata
| Senin, 13 Oktober 2025, 10:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement