Advertisement

Upaya Mardiyanto Melestarikan Warangka, Pernah Beli Balok Kayu Rp5 Juta

Rheisnayu Cyntara
Minggu, 25 Februari 2018 - 09:20 WIB
Nina Atmasari
Upaya Mardiyanto Melestarikan Warangka, Pernah Beli Balok Kayu Rp5 Juta

Advertisement

Berbagai tantangan dihadapi pengrajin warangka keris

 
Harianjogja.com, BANTUL- Berbagai tantangan dihadapi pengrajin warangka keris di masa kini, saat budaya Jawa makin tergerus modernitas. Salah satunya sulit dan mahalnya bahan baku pembuatan warangka.

Advertisement

Hari masih pagi, namun sudah terlihat aktivitas pada bangunan di sudut halaman salah satu rumah Padukuhan Teruman RT 01, Dusun Kresen, Desa Bantul. Bangunan permanen berdinding terbuka tersebut dipenuhi dengan potongan berbagai macam jenis kayu di salah satu sisinya.

Sementara di sisi lain, alat-alat pertukangan seperti gergaji kecil dan alat serut kayu berjejer di rak tiga tingkat. Bunyi gesekan kayu dengan alat amplas dari besi terdengar nyaring. Mardiyanto, 48, kala itu berkaus merah sedang bersila sambil menghaluskan warangka keris jenis gayaman yang bentuknya bulat.

“Kalau yang ini kayu biasa. Saya pernah beli balok kayu Timo Rp5 juta,” ucapnya. “Panjangnya cuma segini,” imbuhnya sambil menunjukkan ukuran sekitar 30 centimeter dengan kedua tangannya.

Balok kayu Timo tersebut lantas ia jadikan bahan untuk membuat sekitar 20 warangka keris. Tiap-tiap warangka dihargai Rp500.000 hingga Rp1,5 juta. Harga yang cukup fantastis tersebut, menurut Mardiyanto masih tergolong wajar untuk ukuran kayu yang kini makin langka itu.

Pasalnya selain langka, kayu yang merupakan jenis lokal Bantul tersebut mempunyai kelir yang sangat bagus jika dipoles dengan benar. Warna khas kayu Timo yang kecoklatan mepunyai gradasi warna coklat tua kehitaman yang berbentuk seperti ukiran. “Kalau peletnya bagus, mapan, harganya bisa tambah mahal,” ujarnya menjelaskan.

Namun kini kayu jenis tersebut makin susah ditemui. Itu karena ada anggapan kuno di masyarakat jika pohon Timo seringkali dipakai untuk bersarang makhluk halus. Akibatnya meski masih kecil, pohon tersebut sudah banyak ditebangi warga.

Tapi tak hanya kayu Timo saja, Mardiyanto menyebut kayu Cendana dan Ndaru juga kini makin jarang ada. Padahal kayu-kayu jenis tersebut berkualitas tinggi dan cukup mahal harganya. Mau tidak mau, ia pun harus menyesuaikan diri.

Kini, mayoritas pelanggan yang ingin membuat warangka keris dari kayu jenis tersebut membawa bahan kayunya sendiri. Mardiyanto tinggal mengolahnya sesuai pesanan. Baik warangka bercorak ladrang ataupun gayaman daerah Jogja, Solo, Sumatera, ataupun Bali.

Semua mempunyai ciri khasnya masing-masing. Bahkan pesanan warangka senjata wilayah Filipina dan Malaysia yang pernah ia kerjakan pun tak sama dengan jenis-jenis yang ada di Indonesia, lebih simpel.

Ladrang Jogja dan Solo misalnya yang bentuknya sangat berbeda, meski daerahnya masih berdekatan. Mardiyanto menjelaskan ladrang Solo bentuknya lebih menukik daripada ladrang Jogja.

Panjang bagian yang menukik pun berbeda, lebih panjang ladrang Solo dibandingkan dengan Jogja. “Istilahnya luwih nylekentang,” katanya sambil menunjukkan mal (cetakan) warangka berbahan lembaran alumunium yang dibuat sendiri oleh ayahnya puluhan tahun yang lalu.

Usaha pebuatan warangka kering yang ditekuninya memang merupakan warisan dari ayahnya, Harjo Suwarno. Mardiyanto mengenang sebagai satu-satunya anak laki-laki ayahnya, sejak kecil ia sudah akrab dengan kayu dan gergaji kecil bikinan ayahnya yang digunakan untuk membuat warangka keris.

Ia fasih menggunakan alat yang bermacam-macam jenisnya tersebut. Mulai dari menggergaji kayu sesuai mal yang dicetak di atasnya, metel atau membentuk potongan kayu tersebut, matar atau menghaluskannya sedikit demi sedikit, hingga memeliturnya sampai gilap dan siap dirangkai dengan keris.

Ket alit pun damel warangka. Biasane malem minggu niko [Sejak kecil sudah membuat warangka. Biasanya malam Minggu],” imbuhnya.

Bapak dua anak ini pun masih mempertahankan profesi yang makin jarang ditekuni orang hingga kini. Pasalnya sudah banyak pelanggan dari jaman ayah hingga buyutnya dulu yang membutuhkan jasanya. Belum lagi bakul-bakul besar yang masih juga kulakan di tempatnya.

Sementara itu, Kasi kesejahteraan Masyarakat (Kesra) Desa Bantul, Kuswandi mendukung profesi yang ditekuni Mardiyanto tersebut. Sebab menurutnya Mardiyanto merupakan perajin warangka keris satu-satunya di desanya.

Kuswandi berjanji bakal mengembangkan potensi itu sebagai industri kreatif agar dapat bersaing dengan produk-produk lainnya di pasaran. “Kami akan coba bantu membukakan peluang pasar dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki Pemdes,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Ditanya soal Kemungkinan Maju di Pilkada, Kaesang Memilih Ini

News
| Jum'at, 26 April 2024, 19:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement