Advertisement
Terpecah Belah saat Pilpres, Indonesia Krisis Selera Humor
Wayang humor Dewa Ruci, Sabtu (21/4/2018). - Harian Jogja/Desi Suryanto
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN-- Humor dinilai diperlukan untuk mengkritisi pemerintah yang berkuasa. Hal itu disampaikan komedian sekaligus peneliti humor dan komedi Sakdiyah Ma'ruf, dalam seminar bulanan yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Senin (21/10/2019).
Dia mengatakan saat ini Indonesia mengalami krisis selera humor. Hal itu dibuktikan dalam kampanye pada Pemilu 2019, sehingga masyarakat terbelah. "Rakyat terbelah, seolah-olah tidak ada titik temu," kata Sakdiyah Ma'ruf, di Gedung PSKK UGM.
Advertisement
Menurutnya tradisi humor terkait dengan politik mengalami masa keemasan di era pemerintahan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Itu sebabnya kata dia, komedian perlu lebih berani mengkritisi pemerintah terlepas dari jenis lawakannya. Mereka juga diharapkan terbuka untuk membicarakan aspirasi politik.
Adapun di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ia membandingkan, ada program televisi swasta yang mengkritisi pemerintah namun tetap baik-baik saja. "Acara Sentilan Sentilun yang dibawakan oleh budayawan Butet Kertaradjasa dan Slamet Rahardjo," kata dia.
BACA JUGA
Dikatakannya pula untuk lima tahun ke depan, satir atau sindiran terhadap kondisi politik di Indonesia harus dikedepankan sebagai kontrol terhadap pemerintah. Baginya, satir adalah pilar kelima dalam demokrasi.
"Setelah pers di pilar keempat baru satir dan humor," ungkapnya. Fungsi humor dan satir adalah untuk mengkritisi sebuah keadaan. Masyarakat perlu wadah untuk mengkritisi kondisi bangsa.
Adapun persoalan-persoalan yang bisa dikritisi antara lain sentimen nasionalisme, populisme, atau pemimpin yang tidak berpihak kepada rakyat. Ia mengklaim masih banyak negara yang menghadapi masalah jauh lebih pelik daripada Indonesia tetapi tidak akan mudah menghadapi masalah seperti itu bila tradisi humor berkembang dengan baik. "Akan lebih membantu jika masyarakat punya ruang terkait dengan humor guna membicarakan hal itu [kritik]," jelas dia.
Komedian yang berani mengkritisi pemerintah sejatinya kata dia banyak, namun ada kekhawatiran mereka bakal dijerat pasal tertentu.
Di sisi lain, tradisi menyampaikan aspirasi yang dibalut dengan komedi dan dibekali pengetahuan serta refleksi terhadap persoalan kebangsaan belum banyak dilakukan.
Kondisi pada saat ini lanjut dia berbeda dengan Orde Baru, karena masyarakat saat itu tidak mempunyai ruang untuk mengkritik pemerintah. "Harus diperjelas juga target satir, apakah pemerintah atau organisasi masyarakat [ormas]," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Desa Wisata Adat Osing Kemiren Banyuwangi Masuk Jaringan Terbaik Dunia
Advertisement
Berita Populer
- Raperda Riset DIY Masuki Tahap Akhir dan Segera Disahkan
- Berkisah, Game Karya Dua Siswi SMAN 5 Jogja Latih Anak Kelola Emosi
- Cerita Penerima Ganti Rugi Tol di Kulonprogo, Didatangi Sales dan Bank
- Dendam Lama, Nelayan Tusuk Warga Parangtritis Pakai Cula Ikan Pari
- Terjadi Lagi, Puluhan Siswa dari 3 Sekolah di Sleman Keracunan MBG
Advertisement
Advertisement




