Advertisement
Bukan Sultan Grond, Ini Asal Usul Tanah Tutupan yang Jadi Polemik di Parangtritis

Advertisement
Harianjogja.com, BANTUL- Tanah tutupan yang terkena proyek Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) di Parangtritis, Kretek, Bantul menuai konflik, lantaran warga yang mengklaim ahli wris menuntut ganti rugi ke pemerintah. Lahan tutupan saat ini menjadi polemik karena dianggap tidak jelas kepemilikannya.
Pengelola tanah tutupan di kawasan Parangtritis, bahkan mengancam akan menempuh jalur hukum jika pemerintah tidak memberikan ganti rugi.
Warga yang terdampak pembangunn Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) itu heran dengan langkah Pemda DIY yang kebingungan dengan ganti rugi dari lahan tersebut.
Koordinator Masyarakat Pengelola Tanah Tutupan Parangtritis (MPT2P), Sardjija berharap pemerintah segera menyelesaikannya dengan memberikan SHM.
Jika upaya itu tidak terselesaikan ia berencana menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Soal sikap Pemda DIY yang bingung mengganti rugi atau tidak, Saddjija justru heran. "Kok bingung? Kan ada aturannya. Kalau sudah mengelola tanah lebih dari 15 apa 20 tahun bisa diusulkan jadi hak milik. Kami keturunan kedua [cucu] sudah mengelola tanah itu dari tahun 1945 sampai sekarang," ujar Sardjija, mengomentari pernyataan Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji, Jumat (13/12/2019).
Sebelumnya, Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji mengaku kesulitan memberikan ganti rugi pada pengelola tanah tutupan karena tidak ada dasar hukumnya. "Kalau mau memberikan ganti rugi iti harus ada yang berhak untuk menerima.
Sardjija menjelaskan tanah tutupan sudah jelas kepemilikannya. Tinggal legalitasnya yang seharusnya diberikan oleh negara. Tanah tutupan, kata dia, merupakan bekas rampasan Jepang atau tanah rakyat yang dirampas Jepang dan bukan Sultan Grond (SG).
"Itu milik rakyat dan digarap rakyat. Maka tanah itu harus kembali ke pemilik atau pengelola atau ahli waris. Yang terkena JJLS harus diganti rugi oleh pemerintah. Rakyat tidak merelakan kalau dipakai untuk kepentingan umum tanpa diganti rugi," kata Sardjija.
Menurut dia, ada sekitar 118 hektare tanah tutupan di Parangtritis, tetapi yang terdampak JJLS hanya sekitar 10 hektare-11 hektare. Saat ini tanah tersebut dikelola oleh sekitar 1.000 orang anak dan cucu keturunan pemilik aslinya yang berjumlah 256 orang.
Rata-rata setiap orang menggarap sekitar 1.000-5.000 meter persegi. Sardjija merupakan salah satu cucu pemilik awal tanah tutupan. Tanah itu digarap warga sejak 1945 lalu atau sejak Jepang meninggalkan Indonesia.
Merujuk ke asal usulnya, tanah tersebut mulanya dimiliki oleh warga setempat sebelum Jepang menjajah negeri ini.
Bukti kepemilikan itu berupa dokumen Letter C yang tersimpan di kantor desa. Saat Jepang masuk ke Tanah Air, dokumen Letter C itu dicoret atau ditutup dengan tinta merah karena dikuasai oleh Jepang. Warga lalu menamainya tanah tutupan.
Setelah Jepang hengkang dari Tanah Air dan Indonesia merdeka, status kepemilikan tanah tersebut tidak jelas karena tidak pernah dikembalikan ke warga atau diklaim milik pemerintah. Namun ahli waris pemilik lahan sampai sekarang menggarap tanah tersebut dengan menanaminya berbagai tanaman pangan. Sampai saat ini belum diputuskan siapa pemilik tanah tersebut secara hukum.
"Ketika Jepang datang status tanah tutupan itu leter C dan ada nama-nama pemiliknya jelas. Itu tidak terbantahkan ada di buku tanah desa. Jepang datang ditutup untuk pertahanan perang tanpa ganti rugi," kata dia.
Yang ditutup itu, kata Sardjija adalah persilnya, sementara letter C masih tercatat jelas. Ia heran jika ada yang mengatakan tanah itu tidak jelas pemiliknya.
Warga sudah berupaya memperjuangkan hak milik sejak 2001 sampai 2018 dengan mendatangi Kantor Badan Pertanahan Bantul dan DIY, Pemda DIY hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Namun jawabannya baru dijanjikan akan diberikan sertifikat hak milik (SHM). Menurut dia, solusi penyelesaian status tanah tutupan adalah pemerintah segera merealisasikan pemberian SHM,
"Kemarin mau digarap 2019 [proses SHM] dan sekarang katanya akan direalisasikan 2020," ujar Sardjija.
Lebih lanjut Sardjija menyatakan tanah tutupan berbeda dengan SG. "Buktinya ada di pemperintah desa. Ada tandanya ini tanah SG, ini bukan. Bahkan di sekitar tanah tutupan juga ada tanah SG dan buktinya jelas," kata dia.
BACA JUGA: Laptop Harga 6 Jutaan Terbaik, Mulai Axioo Mybook Hingga Acer Aspire
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
- Kemeriahan Parade Bunga dan Budaya Peringatan Hari Jadi ke-730 Kota Surabaya
- Menebak Makna di Balik Pertemuan Puan dengan Gibran di Solo, Begini Ulasannya
- Pasokan Menipis, Harga Ayam di Pasar Suruh Kabupaten Semarang Melonjak
- Fantastis! Bayern Munchen Juara Bundes Liga 11 Kali Berturut-turut Sejak 2013
Berita Pilihan
Advertisement

BUJK Tingkatkan Kompetensi Jasa Konstruksi, Ini Penjelasan Kementerian PUPR
Advertisement

Kuliner Unik, Restoran Ini Sajikan Ramen dengan Kutu Laut Raksasa
Advertisement
Berita Populer
- Dibanding Kota Lain, Pengetahuan Masakan Guru SMK di Jogja Dinilai Tertinggal
- Tata Ruang Kulonprogo, DPRD: Maksimalkan Keberadaan YIA!
- Hebat! RDTR Kawasan Sekitar YIA Terintegrasi dengan OSS, Ini Kelebihannya
- Ribuan Warga Serentak Minum Jamu Tradisional di Alun-Alun Selatan Jogja
- Begini Desain Erection Girder Tol Jogja Bawen untuk Selamatkan Aliran Selokan Mataram
Advertisement
Advertisement